Sepulang dari Bubble Lee, aku menuju bench chair trotoar untuk menemui Lee. Sampai sekarang dia masih belum mau datang ke kafe itu lagi. Bahkan Hera, yang masih percaya bahwa Lee memang si pemilik kafe, sempat bilang kalau Lee takut rahasianya terbongkar. Gadis itu tinggal dua hari saja bekerja di kafe ini. Lusa nanti penggantinya mulai masuk. Katanya tadi sih, karena acara pernikahannnya yang tinggal seminggu lagi, dia ingin fokus pada semua persiapannya.
“Aku semakin yakin deh, Li. Kalau manusia vampir itu pemilik kafe ini,” ucap Hera waktu itu. Tangannya sibuk meracik dua gelas Almond Roasted Bubble Milktea.
Aku mendengkus. “Bukannya lebih baik kalau lo mikirin persiapan nikah lo, daripada musingin si pemilik kafe.” Dan aku pun tidak punya cukup energi untuk membahas hal itu.
Gadis itu balik dari mengantar pesanan pembeli. Dia berkacak pinggang di depanku yang memasak bubble--mutiara hitam. “Kamu aneh deh, Li. Dan ini bukan pertama kalinya.” Dia tampak berpikir sebentar. “Kamu mulai aneh sejak... sejak laki-laki aneh itu nggak datang ke kafe. Maksudku, dulu kita sering sepemahaman, tapi sejak itu—–”
Dia mengambil sebuah paper cup kosong. “Sudahlah! Lupakan!”
Aku mulai kikuk dan tersinggung. “Nah kan, fitnah lagi.” Untuk mendukung ucapan itu, aku pura-pura tertawa riang. Padahal dalam hati aku mengumpat berkali-kali.
Mata Hera berbinar terang. “Ya udah, biar nggak disebut fitnah, gimana kalau kita taruhan?”
“Maksud lo?”
“Kita taruhan. Jika memang benar manusia vampir itu pemilik kafe ini, berarti aku menang dan kamu wajib membayarku. Begitu juga sebaliknya.”
Sebenarnya aku tidak begitu minat, tapi demi sebuah persahabatan, apalagi dia mau resign, jadi aku setuju saja. “Demi apa, coba? Lo sebegitu nafsunya sama hal gituan.” Aku menggeleng-geleng tidak habis pikir.
Hera terkekeh puas. “Demi kepuasan diri. Aku udah penasaraan selama hampir enam bulan. Sekarang waktunya untuk ngebuktiin rasa penasaranku.”
“Bukannya bentar lagi lo resign? Ngapain dipikirin juga, sih?”
Masih dengan wajah ceria, dia menjawab mantap. “Nah itu, karena kerja di sini tinggal beberapa hari lagi, aku pengin beresin rasa penasaran ini sebelum aku walk out.”
Dan ternyata gadis itu tidak main-main, dia memaksaku taruhan empat ratus ribu rupiah. Semula aku keberatan, tapi katanya supaya cukup untuk membeli satu stel pakaian. Ya sudah, aku pasrah, itung-itung demi teman!
Aku melihat Lee sudah duduk di bench chair dengan tangan memegang buku. Laki-laki itu terlihat serius hingga tidak memperhatikan kedatanganku.
“Woi, baca di lampu kayak gini. Bisa bikin sakit mata, tahu?” Aku menepuk bahu kurusnya.
Pria itu mendongak refleks dan menyengir lebar. “Kamu lupa, ya? Aku kan, nggak terbiasa dengan yang lebih terang.” Dia menutup bukunya. “Salah satu kelebihanku, heh?”
Aku duduk di sebelahnya. “Siapa bilang? Buktinya kamu berkacamata.” Aku tersenyum menang.
Lee memiringkan tubuhnya agar bisa menghadap ke arahku. “Kacamata ini kupakai gara-gara aku kebanyakan membaca, bukan karena pencahayaan. Bukannya orang normal pun kalau kebanyakan membaca juga pakai kacamata?”
“Untungnya aku nggak suka membaca,” selorohku sekenanya.
Dia terkekeh. “Sudah waktunya kamu belajar dan memulai. Membaca akan mendewasakan kamu.” Tangannya meletakkan buku ber-cover biru itu di kursi.
Aku memandangi buku yang bertuliskan 'Bubble Boy' di antara kami. “Kamu membaca buku anak-anak dan menyuruhku membaca biar dewasa. Sepertinya nggak sinkron, deh!”
Dia tersenyum lebar lalu menyilangkan kakinya. “Gimana kamu tahu ini buku anak? Kamu pernah membacanya?”
Aku menggeleng cepat. “Meski aku jarang membaca buku, tapi sepertinya aku nggak terlalu bodoh untuk ngebedain kover buku anak, remaja, atau dewasa.” Aku merengut kesal. “Kurasa anak kecil juga bisa.” Aku diam lagi. “Jujur, Lee! Dalam bayangan kamu itu, aku bodoh banget gitu, ya?”
Dia ikut merengut. “Nah kan, salah tangkap.”
Aku jadi tidak enak hati, jadi segera kuubah topik. “Perasaan, kamu itu suka baca buku-buku tebal non fiksi gitu, deh. Bukan buku anak begini” Aku tersenyum. “Atau memang udah puter haluan?”
Lee tergelak, disandarkan bahunya miring pada kursi. “Ini buku favoritku. Aku sudah membacanya puluhan kali. Dan masih belum bosan.” Ditatapnya buku itu sejenak. “Dan mungkin nggak akan pernah bosan.”
Aku mengambil buku itu dan membukanya asal. Kalau dilihat dari kover-nya sih, sepertinya lucu.
“Kenapa?”
Dia tertawa masam. “Seolah-olah aku yang menjadi tokoh di buku itu. Joe.” Tangan kanannya membetulkan letak kacamatanya. Aku mulai berfikir bahwa membenahi letak kacamata adalah refleks dirinya, bukan sesuatu yang mesti dilakukan. Aku bilang begitu karena menurutku tidak ada yang salah dengan letak kacamata yang dipakainya itu.