BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #20

Bubble 19: Dumbstruck

Kemarin saat istirahat siang, aku berlari sebentar ke Carrefour di lantai dasar ITC untuk membeli nori yang kulihat di katalog diskon beberapa waktu lalu. Rencananya aku ingin mencoba membuat sushi, makanan favorit Lee. 

Beberapa waktu lalu, laki-laki itu mengajariku cara membuat makanan khas Jepang itu. Bahkan dia memberiku satu sushi roller yang lumayan bagus. 

Tadi aku bangun subuh untuk mempraktikkannya. Menurutku, hasilnya lumayan, hampir mirip dengan buatan Lee. 

Laki-laki itu terus meledekku sejak kemarin, karena aku memutuskan untuk tetap memanggilnya Lee, bukan Joe. Awalnya dia keberatan. “Bukannya nama Lee, membuatmu merasa seperti orang jauh?” tanyanya kemarin saat kami mengobrol di our bench chair.

Aku tertawa. “Iya juga, sih. Tapi setelah aku pikir-pikir, aku lebih nyaman menyebut Lee. Cocok aja, gitu!”

“Yakin, hanya itu alasannya?” Dia masih belum memercayai alasanku.

Sambil bersidekap, mataku mengarah ke atas. “Masih ada lagi, sih. Selain karena lidahku sudah terbiasa dengan sebutan Lee, mungkin juga karena pelafalan Lee lebih mirip dengan namaku. Jadi ketika aku memanggil kamu, rasanya seperti memanggil diriku sendiri.”

Lee sedikit memiringkan kepala. “Tapi menurutku, panggilan Lee justru terdengar kurang personal.”

“Masa bodoh. Kan, aku yang ngucapin. Jadi hak prerogatif ada padaku, dong! Kamu juga bisa manggil aku sesuka kamu. Lian atau Mita ” hiburku semringah.

“Nggak, makasih. Aku suka dengan panggilan Li. Simpel tapi lovely.”

Sekarang baru pukul setengah sembilan pagi, aku bergegas pergi ke rumah Lee. Nanti aku bisa duduk istirahat barang sebentar di sana. Kalau akhirnya harus telat juga, aku bisa menggunakan ojek untuk berangkat kerja. Kalau ke ITC saja, tidak sampai lima menit. Aku tidak pernah ke rumah itu di jam seperti ini sebelumnya, maksudku di hari kerja begini. Semoga saja Lee belum tidur atau keluar, jadi dia bisa langsung mencicipi sushi-ku. 

Saat sampai di depan rumah Lee, mataku menyangkut pada Pajero hitam yang terparkir di pinggir jalan. Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihat plat nopol-nya. Benar! Itu mobil Rendra. Masalahnya, kenapa Rendra ada di sini? Apa hubunganya dengan Lee? Apakah mereka membahas tentang aku?

Aku baru meneruskan langkah, saat Rendra melangkah keluar dari gerbang rumah itu. Dengan menahan napas, aku bersembunyi di balik bunga besar milik rumah sebelah. Semoga saja Rendra tidak melihatku! Laki-laki itu sudah berpakaian rapi dengan rambut yang juga tersisir klimis. Saat melihat ransel di punggung Rendra, pikiranku melayang pada Bubble Joe dan Bubble Lee, lalu pada opini Hera. Dan, keduanya membuat degup jantungku semakin cepat, seperti orang yang baru selesai lari maraton.

Selang dua menit, mobil Rendra sudah menghilang dari pandangan. Aku berlari ke rumah Lee yang pintunya masih terbuka sedikit.

“Eh, Li...?” sapa Lee kikuk. Wajahnya tampak memerah dan kelopak matanya yang tidak berkacamata, berkedip terus. Kenapa Lee bertingkah aneh begitu? “Ka-kamu... ng-nggak kerja hari ini?” tanyanya masih gugup. Tidak biasanya laki-laki itu bersikap seperti ini.

Aku masuk dan menyerahkan kotak Tupperware berwarna marun yang sejak tadi kupegang kepada Lee yang satu tangannya masih memegang knop pintu. “Lee, aku tadi mencoba membuat sushi. Enak banget, tahu?” Aku melepas sneakers-ku sambil berusaha mengabaikan ekspresinya yang aneh. 

Dia menutup pintu. “Wow, aku percaya. Seribu persen pasti enak!” Laki-laki itu tampak menghindari tatapanku. “Wah, kamu makin pintar aja, ya?” Dia membuka kotak itu dan memandang isinya dengan takjub. “Beneran, ini kamu yang buat?” 

Aku merengut. “Memang kamu pikir aku itu sudah bodoh banget begitu, ya?!”

“Nah, kan? Mulai lagi.” Dia mengajakku duduk di sofa. “Maksudku, karyamu ini terlalu bagus untuk ukuran beginner. Perfect.” Dia mencium keningku lembut. “Makasih ya, Sayang!”

Apa? Lee memanggilku sayang? Tanpa sadar tanganku mengusap-usap kuping, berharap aku tidak salah dengar. Ini pertama kalinya pria itu memanggilku sayang. Hari ini Lee lebih dari sekadar aneh.

Setelah euforia sushi selesai, aku menatap pria di hadapanku itu “Lee, aku boleh bertanya, kan?”

Wajah Lee langsung menunduk, senyum di bibirnya memudar. “Kenapa Rendra ke sini, kan?” Dia selalu begitu. Dan tebakannya selalu benar. “Apa kamu tadi bertemu dengannya di depan?”

Aku menggangguk, lalu menggeleng, bingung mau menjawab apa. Lidahku kelu dan otakku macet.

Lihat selengkapnya