Hingga pukul tiga dini hari, aku masih terjaga. Bantalku basah dan berat oleh air mata yang juga belum reda. Perlahan, aku beranjak menuju jendela untuk mengintip ke luar. Dan dugaanku benar, Lee masih duduk di depan pintuku sambil menatap layar ponselnya.
Sejak kedatangannya pukul delapan tadi, pria itu mengetuk pintu dan memanggilku, setiap dua puluh menit sekali. Hingga pukul satu, dia baru berhenti. Mungkin dia sudah lelah, malu sama tetangga, atau putus asa.
Barusan, aku mendengarnya mengobrol sebentar dengan Bang Oji, tetanggaku. Sialan! Dia membuatku malu saja!
Tubuhku melorot dan terduduk di lantai bawah jendela, bingung mau berbuat apa. Aku masih tidak percaya Lee bisa setega itu padaku. Kenapa dia harus membohongiku selama ini? Kalau Rendra yang melakukannya, mungkin aku masih bisa memaklumi. Bukan Lee, orang yang mengaku telah mencintaiku sejak pertama kali melihatku. Sungguh, rasanya seperti obat mati rasa yang disuntikkan dokter saat kita melakukan pencabutan gigi. Semua terasa baik-baik saja seketika, tapi saat fungsi obat itu menguap habis, rasa sakit itu muncul dengan sensasi yang lebih sakit dari bayangan dan tanpa ancang-ancang. Masalahnya sekarang, bukan gigiku yang sakit, tapi hatiku. Dan pelakunya bukan dokter gigi yang tidak kukenal, tapi Lee, pacarku sendiri!
Mendadak, deretan kejadian yang selama ini hampir tidak terpikirkan olehku, muncul berbaris dan menari-nari di pelupuk mata, seolah mengejek dan menertawaiku. Dimulai dengan kejadian saat aku wawancara kerja dengan Rendra, saat itu aku mendengar Rendra menyebut nama Lee di teleponnya. Seharusnya aku mengingat hal itu. Lee yang memilih untuk duduk di pojok kafe yang bisa melihat seluruh kafe, semestinya sudah bisa memberiku clue bahwa dia mengawasi jalannya kafe. Rumah Lee yang warna dan interiornya mempunyai banyak kemiripan dengan kafe, juga bukan hal yang kebetulan.
Seharusnya aku juga tahu bagaimana Lee bisa berada di Angkringan Ponorogo malam itu, karena dia yang bertelepon dengan Rendra di mobil dalam perjalanan kami ke sana.
Tapi, aku terlalu bodoh, terlalu tolol. Bahkan setelah cerita Bubble Boy dan customer award, aku masih saja bodoh dan tidak tahu apa-apa. Atau, aku saja yang memilih untuk masa bodoh dan tidak mau memercayai semuanya?!
Tanpa sadar aku menangis sesenggukan dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Bajuku pun basah dengan air mata dan ingus
“Li, please! Apa kita bisa bicara seperti orang dewasa? Aku mohon,” pinta Lee dari balik pintu. Apakah dia mendengar suara tangisku? Sepertinya begitu.
Aku mendengkus. “Kamu bilang seperti orang dewasa. Tapi apa yang kamu lakuin sama aku bukanlah kelakuan orang dewasa,” jawabku di sela isakan tangis.
Aku mendengar laki-laki itu membuang napas kasar. “Li, aku tahu aku salah. Tapi tolong izinin aku masuk, lalu kita berbicara. Aku janji, aku akan menerima apa pun keputusanmu. A-PA-PUN!” Suara pria itu parau.
“Kamu bicara aja dari situ,” balasku asal. Hatiku masih diliputi kekesalan yang dalam.
Lee menarik napas dalam. “Malu, Li. Banyak tetangga. Please....” Laki-laki itu belum mau menyerah.
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya aku setuju untuk membuka pintu dan membiarkannya masuk. Bukan karena aku memaafkan Lee atau mengalah darinya lagi, tapi karena bayangan tetangga yang akan menggunjingku esok hari.
Kami duduk di karpet ruang tamu dengan masing-masing memeluk satu bantal. Kami saling diam untuk beberapa menit, seolah berusaha untuk merangkum pikiran satu sama lain.
“Li...,” tak seperti biasa, kali ini Lee memulai pembicaraan. Perkembangan yang bagus, kalau bukan di situasi seperti ini. “Aku tahu aku salah. Tapi kamu juga harus tahu kalau aku melakukan ini bukannya tanpa alasan.” Dia diam sebentar, memiringkan kepalanya untuk mengintip wajahku yang menunduk. “Lagi pula, kamu juga nggak nanya, kan?” Suara itu lirih dan parau.
Aku mendongak sambil mengusap air mataku dengan punggung tangan kiri. “Apa? Kamu bilang aku nggak nanya? Bukannya aku pernah nanya sama kamu? Tapi kamu malah berceramah panjang lebar soal sejarah marga Tiongkok dan hal nggak penting lainnya.” Kejadian di our bench chair malam itu muncul kembali, membuat kekesalanku semakin mengerucut tajam.
Lee menunduk dalam. Gigi yang sedikit menguning itu mengigit bibir bawahnya yang pucat dan bergetar. “Itu kan, masa awal-awal kita dekat, Li. Saat itu aku masih diliputi ketakutan akan kehilangan kamu. Sangat takut, hingga tanpa sadar aku... egois. Iya, aku egois.” Bahu kurusnya menurun lunglai. Pelukannya pada bantal semakin erat. “Apalagi... Rendra juga punya rasa sama kamu,” tambahnya hampir tidak kedengaran.
Aku masih tidak mau kalah. “Atau jangan-jangan, kalian emang jadiin aku taruhan?” Entah dari mana ide itu datang? Tiba-tiba tersembur begitu saja dari mulutku.
Lee terenyak. “Li, kamu ngomong apaan, sih? Dari mana kamu dapat pemikiran sekotor itu tentang aku? Kami. Kita.”