BUBBLE LIGHT

Erniwati
Chapter #22

Bubble 21: Joeli

Di sini aku sekarang. Duduk di ruang tamu rumah Hera, dengan wajah menunduk dan bahu terjatuh. Mirip orang yang baru saja memberikan pengakuan dosa besar. Sudah hampir satu jam perempuan itu berceramah, tapi sepertinya dia masih kuat untuk melanjutkannya hingga beberapa jam ke depan. 

“Li, yang penting itu niatnya. Soal gimana cara nunjukkinnya, itu cuma masalah kreativitas saja. Misalnya, kamu masih ingat, nggak? Saat kamu bilang Angga jahat karena nggak ngizinin aku kerja?” Hera diam, seakan ingin memberiku waktu untuk mengingat kejadian tersebut. “Saat itu, kamu pasti berpikir aku naif dan bodoh, kan? Karena aku mau mengikuti keinginan Angga begitu aja. 

“Meski menurutku lebih pantas disebut menghargai sih, daripada mengikuti. Tapi, karena aku ngelihatnya lebih ke niat dan tujuan Angga, bukan ke caranya. Jadi apa yang aku rasakan mungkin berbeda dengan apa yang kamu rasakan. Dan itu membuat penilaianku berbeda dengan penilaian kamu. Kamu paham maksudku, kan?”

Aku hanya menggeleng pelan. Meskipun dalam hati, aku mengerti arah pembicaraanya.

Hera tersenyum hangat, tidak ada gurat kekesalan sedikit pun di wajah imutnya. Hingga membuatku merasa semakin berdosa karena sudah merahasiakan hubunganku dengan Lee darinya.

“Begini, Li. Selama tujuan dan motif orang itu baik, kenapa kita nggak menyisihkan saja dulu masalah caranya? Oke, mungkin menurutmu caranya buruk, tapi gimana kalau menurutnya itu sudah yang terbaik? Bukannya baik dan buruk itu relatif?! Tergantung dari mana kita melihatnya. Berbeda dengan niat. Semua orang mempunyai ukuran yang mutlak, meskipun nggak sama persis.”

Aku hanya mengambil napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Mataku masih khusyuk menekuri telapak putih berenda di atas meja di antara kami. 

“Hmm....”

Hera memiringkan kepalanya rendah untuk mengintip wajahku. “Kalau kamu merasa lebih tahu cara penyampaian yang lebih baik... ya, ajari atau beritahu dia saja. Bilang sama dia bahwa kamu menyukai niatnya, tapi bukan caranya. Dan jangan lupa, dia juga bisa seperti kamu. Menyukai niatmu, tapi illfeel dengan cara kamu.” Akhirnya perempuan itu mengakhiri ceramah keibuannya.

Aku menenggak segelas air yang disediakan Hera untukku hingga tandas. “Artinya Lo menyimpulkan bahwa Angga itu nggak jauh beda sama Lee, gitu?” Aku tahu ucapanku terdengar dipaksakan, tapi apa boleh buat, aku sudah tidak tahu mau merespons bagaimana lagi.

Hera mendelik. “Nope! Mereka jauh berbeda.” Perempuan itu mendadak salah tingkah, seperti telah melakukan sebuah kesalahan. “Maksudku, mereka mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Jadi nggak bisa dibanding-bandingkan.”

Otakku yang lemot—dan semakin lemot setelah rentetan masalah ini—masih berusaha mencerna ucapannya. “Ra, maafin gue, ya. Gue udah nggak jujur sama lo tentang masalah ini. Bahkan gue udah ngerahasiain semuanya dari lo. Tapi beneran deh, gue nggak bermaksud jelek. Gue hanya...,” aku berusaha mencari kata yang pas, “hanya malu, nggak enak hati, atau apalah lo sebut. Yang jelas, gue nggak punya niat jelek sama sekali soal ini.” Aku mengembuskan napas lega, sepertinya satu beban telah terangkat dari pundakku.

Hera terkekeh. “Iya aku paham. Ini juga kalau nggak terciduk, kamu pasti akan menyimpan pacarmu itu selamanya dariku. Ayo, ngaku!” 

Candaan Hera benar-benar mampu meringankan bebanku. Seandainya saja aku jujur dengannya sejak awal dulu.

Kami berbagi tawa untuk beberapa saat. Perempuan itu bahkan mengeluarkan cemilannya lagi. Padahal cemilan yang tadi saja belum terjamah. 

Hera berdeham. Sepertinya dia masih 

ingin menyambung materi ceramahnya. “Li, sebagaimana kamu nggak pede untuk berbagi tentang Lee denganku, kurasa begitu juga kasus yang terjadi pada manusia vampirmu itu. Masalah ketidakpercayaan diri.” Sekarang giliran dia yang haus dan minum air. 

“Meski apa yang kamu lakuin sama aku itu jahat, aku tetap bisa memakluminya. Karena apa? Aku melihatnya dari niatmu, bukan caramu. Lagi pula aku sudah mengenalmu lama, aku yakin kamu nggak akan tega untuk berniat menyakitiku. 

“Dan aku selalu percaya, niatlah yang menjadi parameter baik-buruknya seseorang. Banyak orang yang sebenarnya niatnya baik, hanya saja caranya yang salah. Atau kamu memang lebih menyukai tindakan yang sangat manis dari sebuah niat yang buruk?! Misalnya, memberimu secangkir cokelat hangat lengkap dengan senyuman dan gombalan, padahal niatnya untuk meracunimu dengan bubuk sianida.” 

Aku terenyak, dalam hati menyetujui apa yang dikatakan Hera. “Horor lo, Ra!” pekikku diringi tawa kami.

“Ingat, Li! Niat adalah cikal bakal dari semua tindakan seorang manusia. Dan satu lagi, pemisah terberat untuk sepasang manusia itu bukanlah jarak dan waktu, tapi ego mereka sendiri.”

***                            

Sudah dua hari aku menelepon dan mengirim puluhan pesan kepada Lee, tapi hasilnya masih sama. Dia tidak mengangkat panggilanku, begitu pun dengan pesan yang kukirim melalui beberapa aplikasi sekaligus, lewat Instagram, Messenger, Line, WhatsApp, dan email. Semuanya tidak ada yang di-read, apalagi dibalas. 

Aku melihat akun media sosialnya terakhir kali aktif memang dua hari yang lalu, persis satu jam sebelum aku mengirim pesan pertamaku. Kenapa dia? Apakah dia kambuh? Tapi rasanya tidak mungkin. Kalau hal itu terjadi, Rendra pasti sudah mengabariku. 

Kemarin sore aku sengaja pergi jogging hanya karena ingin lewat depan rumahnya. Aku sudah berdiri di depan rumah itu hampir sepuluh menit dan berniat masuk, tapi gengsiku melarang dan membuatku mengurungkan niat itu. Kalau Lee kuat berpisah denganku, kenapa aku tidak?!

Aku mengembuskan napas berat. Setelah mondar-mandir di dalam rumah hampir satu jam dan otakku masih saja dipenuhi dengan Lee, akhirnya aku memutuskan untuk menelepon Rendra saja. Laki-laki itu pasti tahu di mana bosnya berada. 

“Lee pergi ke Taiwan. Selain urusan bisnis, dia juga mau mengunjungi saudaranya yang sakit. Katanya sih, gitu,” ucap Rendra di telepon. 

Aku menangkap kekhawatiran di suaranya. Aku bisa membayangkan wajah Rendra yang sendu di ujung sana. Sepertinya laki-laki itu menyayangi Lee lebih dari sekadar partner kerja. 

Dalam hati aku melenguh. “Kapan dia balik, Ndra?” tanyaku yang tidak sengaja menyiratkan kekecewaan. Semoga Rendra tidak menyadarinya. Rasanya aku ingin merutuki kebodohan dan sifat keras kepalaku sekaligus.

Aku mendengar Rendra mendesah. “Aku nggak tahu. Coba kamu kirim pesan atau telepon dia.”

Lihat selengkapnya