Bucin

Ello Aris
Chapter #1

Catatan 01

08 Januari 2007

“Kar, lo yakin bakal ke Bandung sekarang juga?” tanya Lero pada Kara yang berada di jok sebelah. Lero masih konsentrasi menyetir.

“Lo gak takut ketahuan nyokap lo?” Jessy di jok belakang ikut menimpali.

Kara diam saja. Cewek itu tahu keputusannya ke Bandung adalah hal gila. Di sana dia tidak kenal siapa pun. Tak ada saudara, apalagi teman yang dikenal. Tadi dia meminta izin ke Bunda untuk mengikuti leadership camp liburan sekolah di Anyer. Sayangnya cewek itu harus bohong. Sebab ada tujuan mendesak yang harus dia tuntaskan di Bandung.

Lagian Kara ke Bandung hanya dua hari. Sekembalinya dari Bandung dia bisa menyusul teman-temannya di Anyer.

“Gue harus ketemu Mave. Ada yang perlu kami selesain,” kata Kara sendu.

Lero di belakang setir, memantau Jessy dari spion di atas dasbor. Cowok itu seolah meminta Jessy agar melakukan banyak hal agar Kara tidak nekat ke Bandung. Sendirian ke sana, akan berisiko. Kara hanya siswa gadis SMA. Dengan usia 16 tahun apa pun bisa menimpanya di sana; bertemu orang jahat di stasiun, bertemu preman, bahkan bisa kecopetan. Dan Lero tak mau itu terjadi pada Kara.

Sayang harapan Lero tak membuahkan hasil. Jessy menaikkan pundak, isyarat dia sudah kehabisan bahan membujuk Kara.

“Aku ngerasa bersalah sekarang,” ujar Kara, kepalanya menekuk.

Lero dan Jessy tak berkata apa-apa sekarang. Dua sohibnnya sejak kelas 1 SMA itu seperti membisu. Kara mengenal Lero dan Jessy, sejak pertama kali masuk SMA Pelita Jaya. Mereka satu kelompok ketika dibagikan tugas oleh kakak kelas saat MOS. Sejak saat itu mereka kerap bersama, apalagi semingguan kemudian mereka ditempatkan di kelas yang sama. Lero adalah anak Panca Hartawan, salah satu pengusaha garmen berskala nasional. Makanya tak heran kalau Lero sering membawa mobil ke sekolah. Sementara Jessy adalah anak salah satu pejabat negara dan juga diplomat.

Lero dan Jessy ini resmi jadian tiga bulan lalu.

Kara membuka handphone. Dia membaca catatan yang ditulisnya tadi ketika Lero dan Jessy menjemputnya tadi. Jln. Kavling Permai, Cibaduyut. No. 7, Bandung. “Apa ini benar alamat Mave?” tanya Kara pada Lero. Cowok itulah yang memberikan alamat Mave.

“Itu alamat yang dikasi Mave ke gue,” Lero meyakinkan. “Mave gak mungkin ngasi alamat yang salah.”

Kara menyimpan ponselnya. Mudah-mudahan dia bisa bertemu Mave nanti. Kara mengenal Mave melalui Lero. Mave merupakan murid pindahan dari SMA Gemilang Persada. Dia masuk SMA Pelita awal kelas dua, baru setahun lalu. Mave dan Lero bersahabat sejak kecil, mereka tetanggaan. Makanya mereka untuk beberapa hal mereka memiliki kesamaan. Seperti doyan bermain game, suka barengan ke sekolah, dan terkadang naksir cewek yang sama.

Sementara Kara sendiri adalah anak tunggal dari seorang ibu single parent. Ayah dan ibunya sudah lama bercerai. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih muda. Sedangkan ibunya memilih sendiri. Ibu Kara berkerja sebagai staf biasa di sebuah perusahaan asuransi. Gajinya tak besar, namun mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.

Mobil yang dikemudi Lero terus melaju. Tujuan kendaraan menuju Stasiun Gambir. Kara memesan tiket kereta jam 8.45. Dia sengaja memesan kereta pagi biar bisa tiba siang di Bandung. Dengan begitu dia bisa langsung mencari alamat Mave.

---

Mereka tiba di stasiun dua puluh menit sebelum jadwal keberangkatan.

Kara menggendong ransel kecil di belakang punggung. Hanya ada tiga baju di dalam. Selebihnya hanya air mineral dan camilan.

“Nyampe Bandung kabarin kita ya Kar,” Jessy mengelus punggung tangan Kara.

“Lo hati-hati,” Lero menambahkan. “Perhatiin sekitar lo. Jangan ngomong sama orang asing.”

“Gue bukan anak kecil Ler,” Kara saling menekan gigi. “Gue bisa bedain mana yang harus gue ajak obrol, naman yang enggak.”

“Sapa tahu lo lupa.”

Kara mengepalkan tangan. Bisa-bisanya Lero bercanda sekarang.

“Udah deket waktu keberangkatan,” Jessy melihat jam digital di ponselnya. “Antri gih.”

Kara melihat ke belakang. Beberapa penumpang tujuan Bandung sudah mengular antri depan petugas tiket. Kara berancang-ancang menuju antrian. “Kalian yang akur ya?”

“Siaaap!” Lero memanjangkan ucapan. Sebelah tangannya memegang pundak Jessy. “Kamu cepat balik. Jangan sampe nyokap lo datang nyariin di camp.”

 “Aku pergi dulu. Doain selamat sampe tujuan ya?” Kara ke antrian. Cewek itu menghela napas. Ini kali pertama dia melakukan perjalanan Jauh. Sendirian, tanpa ada ibu. Semoga kepetusannya pagi ini berangkat membuahkan hasil.

---

Kara menempati gerbong tiga. Cewek itu memilih duduk dekat jendala, sekalian biar bisa menikmati pemandangan.

Ada alasan penting yang membuat Kara harus ngotot ke Bandung, demi bertemu Mave. Sebulan lalu, seminggu sebelum ujian akhir, Mave mengajaknya menonton konser Samsons di Balai Sarbini. Mave tahu banget kalau Kara lumayan suka dengan band ini. Beberapa lagu Samsons ada dalam playlist ponsel Kara.

Sesaat selepas konser berakhir, Mave secara tiba-tiba menyatakan suka padanya. Saat itu Kara bingung. Keriuhan konser berubah menjadi suasana kaku. Kara yang tadinya bisa melakukan hal apa saja; merangkul Mave, mencubit pipi cowok itu, mengacak-acak rambutnya mendadak merasa asing pada cowok itu.

Dia belum pernah menghadapi situasi seperti ini. Bahkan untuk menyakinkan Kara, Mave berlutut di depannya.

Kara hanya diam.

Aksi Mave yang berlutut bahkan jadi tontonan pengunjung konser.

Kara juga ingat ketika Mave bangkit dengan lesu, lantaran tak mendapat jawaban apa pun. Yang diterima hanyalah jawaban ‘aku pengin cepat balik ke rumah’ dari Kara. Alhasil sepanjang perjalanan pulang, di atas motor Kara dan Mave menjadi dua orang yang bisu, malu untuk memulai obrolan, dan canggung untuk melakukan apa pun.

Semenjak hari itu hubungan Mave dan Kara berjarak. Kara yang selama ini menganggap Mave karib, tiba-tiba menjadi orang yang merasa perlu untuk menghindari cowok itu. Setelah ujian akhir selesai, dengan ajaib Mave menghilang. Tak ada kabar, tak ada berita. Kara yang terbiasa melihat Mave mendadak merasa kehilangan.

Cewek itu yakin ada sesuatu yang lenyap. Tawa Mave, tingkah cowok itu, telepon Mave, sms cowok itu, ajakan ke rumah Jessy. Segalanya hilang. Beberapa hari Kara menjadi orang senewen. Berjam-jam cewek itu menatap ponsel; berharap ada panggilan masuk, chat messenger atau pun sekadar sms dari Mave. Nyatanya tidak. Ponselnya tak pernah memunculkan nama Mave di layar.

Kara kemudian sadar. Kehilangan ini adalah sebenarnya rasa cinta.

Cewek itu menyesal, tak memberi jawaban apa pun pada Mave.

Tiga hari yang lalu, setelah penentuan hari leadership camp, barulah Kara tahu ke mana perginya Mave. Lerolah yang membocorkan kalau Mave berada di Bandung. Makanya ketika leadership camp pertama hari ini, Kara manfaatkan untuk kabur ke kota Kembang.

Kara menyandarkan kepala ke jendela. Melihat petakan sawah yang berada di luar.

---

Tepat jam 12 siang, Kara tiba di Stasiun Bandung.

Orang-orang berduyun turun. Kara memasang ransel erat di belakang punggung dan meninggalkan gerbong.

Ini pertama kalinya Kara menjejak kaki di Bandung. Mudah-mudahan kota ini ramah padanya. Keluar stasiun Kara mencari taksi. Sangat mudah menuju tujuan baru dengan kendaraan burung biru ini. Tinggal memperlihatkan alamat, penumpang duduk santai, dan supir akan membawa hingga tujuan.

Di dalam taksi Kara sedikit gelisah. Rasa dalam dadanya bergemuruh entah apa.

Bertemu dengan Mave nanti pasti akan sulit. Situasinya tak akan berjalan lancar, Kara tahu itu. Apalagi di obrolan terakhir meraka tidak terlalu baik.

Kamu sedang apa sekarang, Mave

Setengah jam kemudian, supir menepikan kendaraan di bulevar kecil. Kara memperhatikan sekitar dari dalam, mereka tiba di sebuah kompleks perumahan. Supir menengok ke belakang, “Kita sudah sampai, Neng.”

“Berapa Pak?”

“Empat puluh tiga ribu.”

Kara mengeluarkan uang, membayar harga taksi dan kemudian turun.

Taksi meninggalkan kompleks perumahan.

Kara kini berdiri di depan pagar sebuah rumah. Cewek itu memastikan nomor yang tertera di beton pagar. Tepat nomor 7. Kara lalu mendapati plang jalan di ujung belokan, bertuliskan Kavling Permai, Cibaduyut. Benar ini alamat yang diberikan Lero. Kara kemudian menaikkan leher mengintip situasi di halaman rumah. Suasananya tampak lengang.

Lihat selengkapnya