18.08
Langit Bandung sudah gelap. Kara menggontai langkah. Air matanya sudah kering, menangisi kisahnya yang berakhir sebelum dimulai. Melihat kondisi Mave, rasanya sulit cowok itu kembali ke Jakarta.
Semoga setelah liburan ini, aku bisa melihat kamu di sekolah Mave….
Rencana awal dua hari di Bandung langsung diurungkan. Tak ada yang diharapkan dari kota ini. Kara memutuskan pulang. Cewek itu menuju Stasiun Bandung. Mudah-mudahan, kereta ke Jakarta masih ada.
Malam ini situasi stasiun lumayan sepi. Hanya ada segelintir orang yang lalu-lalang. Kara menggegas diri ketika berada di depan loket. Untunglah loket sepi, jadi dia bisa paling depan mengantre tiket.
“Mbak, tiketnya satu,” pinta Kara kepada petugas loket.
“Untuk tujuan mana? Jam berapa?” petugas loket meminta perincian.
“Jakarta, jam 6 ini.”
“Waduh, Neng. Maaf kereta jam 6 sudah berangkat. Baru saja.”
“Kalau begitu yang jam tujuh.”
Petugas loket memeriksa komputer. “Wah, tiket jam tujuh sudah sold out.”
Kara bingung. “Kalau jam delapan?”
“Maaf Neng, untuk hari ini kereta jam delapan tidak beroperasi. Ada perbaikan.”
Kara langsung lemas. Bagaimana dia bisa pulang ke Jakarta? Semua kereta seolah tak mau menerimanya. Kalau tetap di sini dia harus menginap di mana?
Dari jauh terdengar hentak sepatu. Seperti suara lari. Makin lama bunyi hentak makin mendekat. Dan…, tiba-tiba tubuh Kara tergeser. Ternyata lengan kirinya terdorong oleh lengan orang lain yang datang merebut posisi depan loket.
“Mbak, tiket ke Jakarta dong?”
Kara mengelus lengannya. Sungguh pria yang baru datang ini tak sopan. Kara bisa mendengar napasnya yang engah-engah. Barangkali efek lari. Sesaat Kara meneliti sosok ini. Tinggi pria ini menjulang bak raksasa, mungkin tingginya 185 cm. Rambutnya gondrong, namun terikat rapi. Dia mengenakan kerel besar di belakang punggung.
“Tiket untuk hari ini sudah habis,” terang penjaga loket.
“Omaigat,” pria itu mendesah. Kecewa.
Kara lalu menjauh dari loket. Cewek itu memilih ke area tunggu penumpang. Di butuh waktu berpikir, ke mana selanjutnya. Atau ada baiknya dia menunggu dulu di situ. Siapa tahu ada penumpang yang menjual tiket, atau setidaknya ketemu calo.
Segala kemungkinan bisa terjadi.
---
Posisi bangku area tunggu berhadap-hadapan. Kara duduk di bangku paling tengah.
Entah dari mana, raksasa yang menggeser tubuh Kara tadi ikutan duduk. Pria itu menempati bangku di depan Kara. Mau tak mau mereka saling hadap. Sekilas Kara bisa melihat jelas wajah pria ini. Bentuk rupa muka pria ini square—setipe Zayn Malik. Alisnya tebal. Hidungnya runcing. Dagunya tegas dan kurang menyiku.
Dari tampangnya Kara bisa memprediksi kalau pria ini berusia 19 atau 20 tahun. Mungkin juga anak kuliahan.
Raksasa itu meletakkan kerel di samping pahanya.
Kara mengambil ponsel, mencari kesibukan. Cewek itu langsung kepikiran menelepon Jessy. Dia belum memberi kabar pada sohibnya.
“Halo Jess,” sapa Kara ketika panggilan tersambung.
“Ya, Kar,” jawab Jessy di ujung telepon. “Akhirnya lo telpon juga. Lo di mana sekarang?”
“Gue di stasiun Bandung.”
“Lo mau balik ke Jakarta?” suara Jessy terdengar kaget. “Bukannya rencana lo dua hari di situ? Lo udah ketemu Mave kan?”
“Gue udah ketemu Mave,” seketika kelebat pertemuannya bareng cowok itu muncul di kepala. Kara sedih mengingatnya. “Mave gak bisa nerima gue,” ujarnya lemah.
“Kenapa bisa?”
“Nanti nyampe Jakarta aku cerita. Sekarang gue masih di stasiun, kehabisan tiket. Gue bingung jadinya.”