Bucin

Ello Aris
Chapter #3

Catatan 03

Sekuat pikiran Kara coba melupakan insiden ciuman di gerbong kereta.

Untunglah sepanjang perjalanan dia bisa menahan kesal. Apa jadinya kalau dia gagal menahan emosi. Mungkin akan terjadi perang mulut antara dirinya dengan raksasa itu. Dan bisa diprediksi seisi kereta akan menjadikan mereka tontonan.

Saat ini Kara dalam perjalanan ke pantai Anyer. Menyusul kawan-kawannya yang sejak kemarin mengikuti leadership camp. Rencananya kegiatan ini akan berlangsung selama tiga hari. Kara berharap Anyer bisa sedikit mengurangi rasa kehilangan pada Mave.

---

[11 Januari 2007]

Kegiatan leadership camp berjalan dengan baik. Meski Kara hanya ikut dua hari, tapi cewek itu lumayan bisa diandalkan untuk beberapa kegiatan. Ibu Anne selaku penanggung jawab tampak senang dengan hasil akhir kegiatan ini.

“Terima kasih, ibu sangat puas dengan semangat kalian,” ucap Bu Anne dalam apel terakhir. Beliau mengumpulkan peserta kemah sore ini. “Sekarang kalian bisa istirahat, nanti jam tujuh kita kumpul untuk balik ke Jakarta.”

“Siap, Bu,” koor peserta kemah.

Sore itu cuaca pantai teduh. Ombak pelan menggulung. Nyiur kelapa menari-menari. Matahari tidak terlalu terik. Dan angin menerbangkan bau laut yang tajam. Sekian pengunjung datang berhamburan menikmati senja yang hampir tiba.

Setelah membereskan barang-barang, Kara dan Jessy memutuskan jalan-jalan di sekitar pantai. Mereka membiarkan kaki tanpa alas.

“Jadi bagaimana dengan Mave?” tanya Jessy.

Kara punya utang janji cerita pada sahabatnya. “Keluarga Mave bangkrut. Itu yang membuat mereka pindah ke Bandung. Mereka tinggal di rumah sederhana. Dan Mave harus bekerja di restoran.”

“Hubungan kalian?”

“Mungkin saat ini yang terbaik dia di Bandung dan gue di sini.” Kara menyampirkan rambut di belakang telinga. Angin terasa lebih kencang. “Meski mustahil, tapi gue masih berharap setelah libur, gue bisa ngeliat Mave di sekolah.”

“Lo bisa sesekali ke Bandung jenguk Mave.”

Kara berhenti, dia memperhatikan langit yang menguning di ujung sana. “Gue gak yakin bisa. Bertahan untuk jarak yang jauh itu sulit. Mungkin benar hubungan adalah perjalanan bertemu dan berpisah.”

Jessy tidak pernah mendengar Kara sebijak ini. Dia tahu sahabatnya masih berharap, namun di sisi lain dia berusaha realistis, sebab Bandung – Jakarta bukan perkara 1 atau 2 kilo saja. Ada jarak di sana, ada ketidakpastian di sana. Semoga Kara bisa melewati ini, sebab Jessy bisa memastikan, Kara dan Mave akan menjadi dua orang yang akan merindu di hari-hari yang akan datang.

***

[05 Februari 2007]

Libur sekolah sudah selesai seminggu lalu.

Setiap kenaikan kelas, sekolah akan menempatkan siswa sesuai jurusan yang diinginkan. Kara dan Jessy yang sama-sama bercita-cita sebagai dokter berada di jurusan IPA. Mereka sekelas. Sementara Lero memilih untuk masuk kelas IPS. Lero memang dari dulu tidak menyukai pelajaran berhitung, baginya rumus-rumus adalah angka-angka yang ribet.

Senin ini Bunda mengantar Kara ke sekolah. Untuk menghindari macet, mereka lebih awal jalan. Kara butuh lebih cepat sampai, sebab awal pekan selalu dimulai dengan upacara bendera. Untunglah hari itu perjalanan ke sekolah lancar, mereka hanya terjebak di beberapa lampu merah.

“Nanti bunda jemput ya?” tawar Bunda ketika melepas Kara di gerbang sekolah. Beliau masih di dalam mobil, sementara Kara sudah turun.

“Gak usah Bun,” tolak Kara.

“Kamu mau bareng Jessy?”

“Iya, Bun.”

Bunda mengangguk-angguk oke. Lalu menaikkan kaca mobil. Sejurus kemudian beliau melesatkan mobil meninggalkan gerbang.

Kara lanjut masuk.

Upacara bendara dan hari senin adalah magnet ajaib. Siswa yang paling telat pun tiba-tiba akan jadi orang yang rajin dan yang paling awal datang. Kara ingat banget Mave yang kerap terlambat, pernah menjadi orang yang paling pertama datang ke sekolah. Hukuman kepala sekolah bagi yang tidak mengikuti upacara tidak main-main. Siswa akan berdiri di tiang bendera sambil hormat Sang Saka sampai kelas pertama selesai. Makanya, Mave berusaha untuk tidak telat di awal pekan, dan itu berhasil.

Tapi itu dulu, kini Kara tidak pernah menemui Mave di sekolah. Setidaknya selama seminggu ini.

Dari pihak sekolah pun, tak pernah menerima surat permintaan pindah Mave ke sekolah Bandung.

Kara mendengar riuh teriakan ketika melewati sisi lapangan basket. Ruangan kepala sekolah yang berada di ujung koridor, penuh kerumunan. Dia melihat hampir seluruh siswi berjubel di depan ruang kepala sekolah. Beberapa di antaranya berteriak-teriak histeris. Kara tak tahu pasti, apa yang terjadi. Biasanya kalau ramai begini, hanya ada dua kemungkinan. Ada siswa yang dipanggil karena berkelahi, atau ada yang hendak dikeluarkan dari sekolah. Kara tak peduli, dia lanjut ke kelas.

Upacara hari itu berlangsung seperti biasa.

Kelas pertama dimulai pukul 7.30. Pelajaran Fisika jadi pembuka pelajaran. Pak Tito selaku wali kelas, jadi pengajar pertama.

“Lo udah bikin tugas Fisika?” tanya Jessy, dia mengeluarkan beberapa buku.

Kara yang berada di sebelah mengangguk. Mereka duduk sebelahan, di deretan ke empat dari bangku paling depan.

“Ada beberapa yang kayaknya sulit.”

“Gue juga ngerasa demikian. Tapi mudah-mudahan punya gue benar semua.”

Tak lama Pak Tito muncul di depan pintu. Semua anak-anak otomatis diam.

Lihat selengkapnya