Tak butuh waktu lama Erick menjadi orang yang paling dibicarakan seantero sekolah. Cowok itu menjadi bahan pujian sekaligus bahan gosip yang rasanya sekali dibahas tidak akan ada habisnya. Erick yang tampan, Erick yang perfect atau Erick yang cool, dan segala jenis pujian lain yang beranak-pinak. Beberapa siswi yang hanya bermodal make up, akan selalu membuat banyak alasan untuk bisa lewat di depan kelas Kara. Tujuannya satu hanya untuk melihat Erick atau mendapat perhatian dari cowok itu. Sebagian lagi akan jadi penonton setia yang parkir di tepi lapangan, hanya untuk menanti cowok itu keluar kelas.
Pergaulan Erick lumayan bagus, adaptasinya di kelas cepat. Malabi jadi perantara yang baik.
“Kalau saja, ada empat Erick di sekolah, gue akan bahagia,” komentar Jessy suatu kali ketika pulang sekolah.
“Gue lebih bahagia kalo bisa jalan-jalan atau makan-makan sepuasnya,” Kara seperti menolak segala kelebihan Erick.
“Gue perhatiin lo kayak kurang begitu suka pada Erick,” Jessy berkomentar.
Kara hanya melihat sahabatnya itu sekali.
“Dan beberapa hari ini gue belum pernah ngeliat lo ngobrol bareng dia. Bangku kalian hanya berjarak kurang dari 20 cm,” lanjut Jessy.
“Jess, gak ada kewajiban gue harus ngobrol bareng dia.”
“Kalian gak ada masalah kan?”
Kara tercenung sebentar. Masalah? Entah kata apa yang paling pas untuk menggambarkan apa yang terjadi padanya dengan Erick. Mereka tidak pernah terlibat cekcok, bertengkar atau apa pun yang melibatkan emosi. Tapi Kara tahu pasti alasan mengapa dia enggan berbicara pada Erick, sejak cowok itu masuk kelas untuk pertama kali.
***
10 Februari 2007
Sabtu ini Jessy mengajak Kara jalan. Mereka janjian di mal. Sudah lama mereka tidak jalan-jalan.
Sore itu mal lumayan ramai. Anak-anak muda paling dominan di beberapa outlet. Orangtua dan anak-anak menghabiskan waktu di wahana permainan. Toko-toko membuka diskon akhir pekan. Gila-gilaan.
Setelah berkeliling Kara dan Jessy mengunjungi kafe favorit di food court. Kafe ini menjual aneka minuman dan makanan. Sering menjadi langganan anak muda, karena selain menunya enak, harganya bersahabat di kantong. Kursi-kursi kafe sebagian sudah terisi. Kara dan Jessy duduk paling ujung, jauh dari pintu masuk. Alasannya biar lebih nyaman makan dan tidak terganggu lalu-lalang.
Kara memesan es campur dengan baluran keju. Sementara Jessy memesan green tea. Brownies jadi pelengkap.
“Ngapain lo gak ngajak Lero sekalian tadi,” tanya Kara. “Kan lebih seru bertiga.”
Jessy menyeruput green tea. “Emang lo mau jadi obat nyamuk?”
“Gak maulah, enak aja,” Kara menyela cepat.
“Makanya itu,” Jessy mengambil sepotong brownies dan menggigit ujungnya. “Lagian Lero nggak suka muter-muter mal. Di atas dua jam dia udah minta balik.”
Bagaimana mungkin Lero tahan di mal, Kara hafal betul karib di depannya ini adalah cewek yang doyan memutari isi mal meski tidak membeli barang. Dulu pernah sekali waktu dia dan Jessy menjajal mal dari pagi sampai sore. Waktu itu Kara sudah menyerah, tapi Jessy urung meninggalkan mal. Jadi jika Lero menolak, itu wajar. Cowok malas menghabiskan waktu tanpa faedah.
Jessy melihat isi piring, kue tersisa tinggal sepotong. “Lo mau nambah brownies gak?”
“Boleh,” jawab Kara.
“Bentar ya,” Jessy hendak berdiri. “Gue pesan dulu.” Jessy beranjak, cewek itu menuju mini bar kafe.
Melewati dua meja, langkah Jessy terhenti.
Dari pintu masuk Jessy melihat malaikat jangkung masuk kafe. Erick. Cowok itu mengenakan baju putih polos yang dilapis kemeja flanel hitam. Erick membiarkan kemejanya tak berkancing. Rambut gondrongnya tergerai. Namun bukan Erick yang membuat Jessy berat mengangkat kaki, tetapi sosok cewek yang berada di sampingnya!
Cewek di samping Erick mengenakan kaus putih yang dipadu jeans ketat. Rambut cewek itu lurus dan tertata. Matanya berbinar. Wajahnya cemerlang dengan sapuan tata rias. Jelas Jessy mengenal cewek ini. Dia adalah Freya. Gadis yang dinobatkan sebagai putri sekolah tahun lalu, dan masih menjabat sampai November.
Freya adalah tipe cewek yang paling ingin dijadikan pacar di SMA Pelita Jaya. Secara fisik dia tak kalah dengan bintang sinetron. Cara bertuturnya mirip-mirip finalis kontes kecantikan. Bahasa tubunya tertata. Freya membelit tangannya di lengan Erick dan sebelah tangannya memegang paper bag.
Sebelum Erick dan Freya melihatnya, Jessy kembali ke tempat duduk.
Buru-buru dia merebahkan bokong. “Lo harus tau ini,” bocor Jessy, gesa-gesa.
“Lo kenapa?”
“Gue baru ngeliat Erick.”
“Dia ada di sini?” Kara tidak langsung percaya.
“Malaikat itu gandengan dengan Freya.”
Freya? “Masa sih?”
Jessy memanjangkan leher, memantau lokasi duduk Erick dan Freya. “Lo liat arah jam 3.”
Kara mengikuti instruksi Jessy. Di dua kursi paling kanan dekat mini bar, duduk dua orang yang diceritakan kawannya ini. Erick dan Freya sedang mengobrol dengan pelayan.
“Kok bisa mereka jalan?”
Kara mengembalikan pandangan, “Maybe ketemu di jalan.”
“Jangan-jangan mereka pedekate lagi,” Jessy menebak-nebak.
“Udah akh, ngapain gosipin mereka!” Kara ingin mengakhiri obrolan seputar dua orang tersebut.
“Ini akan heboh kalo satu sekolah tahu.”
Kara menoleh sekali lagi ke meja tadi. Freya sedang menunjukkan isi paper bag pada Erick. Sepertinya mereka baru selesai shopping.
Jessy kemudian bangkit.
“Lo mau kemana?” tanya Kara tiba-tiba.
“Mau pesan brownies lagi kan?”
“Gak usah,” tahan Kara. Dia menarik lengan Jessy, sehingga cewek itu terduduk lagi.