Bucin

Ello Aris
Chapter #5

Catatan 05

Tepat apa yang dibilang Jessy, cewek-cewek yang biasa mondar-mandir di depan kelas mereka, hilang dalam sekejap setelah tahu Erick dan Freya memiliki hubungan. Apalagi pagi ini mereka melihat keduanya boncengan. Seluruh siswi SMA Pelita jaya tahu reputasi Freya. Dia berkelas dan tak satu pun yang dapat menandinginya.

Semua anak-anak kemudian membicarakan pasangan ini. Tema obrolan mereka setopik, The Perfect Couple: Erick & Freya.

Ketika semua orang antusias membincangkan The Perfect Couple di kelas, Kara tak demikian. Sejak awal jam pertama, dia terlihat diam saja mirip patung hidup. Duduk lurus, memperhatikan lalu mencatat. Jessy mengajaknya bicara beberapa kali, namun jawaban Kara hanya hem atau oh iya.

Istirahat jam pertama, Kara langsung kabur ke perpustakaan. Semoga suasana perpus bisa memperbaiki mood-nya.

Kara menelusuri rak paling kiri dekat jendela. Rak itu memuat sejumlah buku sastra dan kumpulan puisi. Kara tak tahu apakah buku-buku ini bisa membuatnya lebih tenang. Yang pasti berada di ruangan ini, cukup dapat menghindarinya dari segala topik obrolan tentang The Perfect Couple yang membuat bosan kuping.

Cewek itu menjelajah buku per buku, mencari sesuatu yang menarik. Sebuah buku berwarna merah tebal menarik perhatiannya kemudian. Sebuah kumpulan puisi. Kara menarik buku tersebut, dan seketika pandangannya terhenti. Dari lubang rak yang dibuat buku tersebut, dia menemukan sepasang mata elang.

Mata Erick. Cowok itu ada di sebelah rak.

“Hai,” sapa Erick.

Hendak ingin menutup kuping dari gosip The Perfect Couple, ada daya dia menemukan sang objek gosip di sini, “Hai,” balas Kara seadanya.

Erick yang berada di sebelah lantas memutar rak, dan langsung bersisian dengan Kara. “Tumben lo di perpus.”

“Yah.”

“Suka baca buku juga?”

Kara tak menjawab. Jujur dia bukan tipe wanita yang suka berkutat dengan buku, apalagi bermenit-menit di perpustakaan. Jelas dia tidak menemukan jawaban atas omongan Erick barusan.

Erick menyandarkan sebelah tangannya di rak, sebelah tangannya berkacak pinggang. Posisi cowok itu seperti menghalangi Kara. Cewek itu bahkan bisa mencium aroma oakmoss dari baju Erick yang rasanya hanya berjarak empat senti dari hidungnya.

Satu pengunjung yang tak jauh dari mereka, memandang keduanya.

Kara yang mengerti jadi bahan tatapan, lalu berusaha menghindar dari hadangan Erick. Cewek itu menuju meja. Kara memutuskan duduk di meja paling tengah. Tak dinyana, tahu-tahu Erick menarik kursi di meja yang sama. Posisi mereka langsung berhadapan. Yang membuat Kara lebih kaget, cowok itu memegang buku yang serupa dengan buku yang dia bawa.

Mau raksasa ini apa sih?

Kara membuka buku. Dia sengaja membuat buku itu berdiri agar wajah Erick tertutupi. Kara mencoba membuka-buka halaman, memahami salah satu puisi. Sayang kepala Erick yang berusaha terangkat mengganggu pandangannya. Semakin Kara menenggelamkan kepalanya di buku, semakin Erick menaikkan kepalanya agar masuk dalam jangkauan penglihatan Kara.

Lantaran tak mendapat respon, Erick membuka lembar buku lumayan keras sehingga menghasilkan bunyi.

Kara melirik Erick sekali.

Cowok itu terus membuat lembaran buku terdengar.

Kara merutuk, “Lo niat baca buku itu gak sih?”

“Enggak,” jawab Erick enteng.

“Kalau nggak dibaca, ngapaian diambil?”

“Biar sama aja, ama lo.”

Kara menggeleng, Erick pagi ini benar-benar aneh. Kara membiarkan cowok itu, dan melanjutkan bacaannya. Satu, dua puisi selesai di baca. Kara membuka lembaran lain, tiga, empat puisi tuntas. Sayang tak satupun bisa dicerna otaknya. Setelah satu bait, Kara mengangkat sedikit kepala, penglihatannya langsung bertemu dengan mata Erick.

Cowok itu mengedipkan sebelah mata dan melepas senyum.

Kara menarik ujung bibir ke dalam, tak peduli.

Cewek itu lanjut membaca puisi. Selesai dua lembar, Kara kembali mengintip Erick, kali ini wajah cowok itu benar-benar dekat dengannya. Erick masih melakukan hal yang sama membuka lembar-lembar buku namun penglihatannya tertuju pada sampul buku yang dibaca Kara.

Tiga siswi kelas satu yang berada di dua meja dekat mereka, mengarahkan perhatian pada keduanya. Kara menyadari hal tersebut.

“Rick, jujur lo ganggu banget,” ucap Kara dengan suara pelan.

“Masa?”

“Lo gak liat apa anak kelas satu lagi mandang kita.”

“Akh, lo yang ke-ge-re-an.”

“Tuh liat!” Kara coba menunjuk dengan ujung matanya.

“Enggak ada,” Erick tidak mengikuti arahan Kara.

“Terserah,” ketus Kara. “Sekarang gue mau lanjut baca, dan please jangan ganggu,” Kara memberi ultimatum. “Dan itu tolong wajah lo gak usah dideketin ke gue.”

Erick yang menyadari tubuhnya terlalu condong, lantas menarik diri. Duduk senormalnya. Cowok itu jelas-jelas tahu beberapa siswa memperhatikannya sejak masuk ke perpustakaan. Agar tidak menarik perhatian lebih banyak, akhirnya cowok itu mulai membaca buku yang dia ambil.

***

Pukul 10.45

Kehebohan terjadi di depan mading utama sekolah selepas rehat kedua. Mayoritas anak kelas tiga berkerumun di depan papan 3x2 meter tersebut.

Jessy yang tahu kabar ini, langsung menarik Kara. Dia membawa Kara hingga di lokasi mading. Dengan susah payah Jessy membongkar kerumunan siswi yang berjubel. Berhasil, dia dan Kara kini berada tepat di depan mading.

Sebuah kertas lebar terpampang.

Valentine’s Night | Charity and Party

-Location: Rotasi Evenue Hall

-Time: 09.00 PM

Special invitation

Lihat selengkapnya