[Minggu, 18 Februari 2007]
Kabar kedekatan Kara dan Erick sampai juga di telinga Jessy. Cewek itu langsung menginterogasi sewaktu datang pagi-pagi ke rumah sakit. Saat itu nyokap Kara sedang tidur.
“Jadi selama ini lo dekat dengan Erick?” tanya Jessy separuh tak percaya.
Kara tak berusaha mengangguk. Kedekatannya bareng Erick baru belakangan ini saja.
“Dan gue gak tahu?”
Kara mengambil termos di meja. Cewek itu hendak menyeduh teh.
“Berarti kalian acting-acting-an di kelas,” Jessy masih heran. “Kalian gak pernah saling sapa, tahu-tahu dia bisa nemenin lo setiap hari di sini?”
Kara menuangkan air ke dalam gelas. Dia merasa tidak perlu untuk menjawab atau mencari alasan demi menghentikan rentet tanya Jessy. Bisa heboh jika sohibnya itu tahu bahwa Erick pernah merebut bibirnya lewat insiden tak terduga.
“The perfect couple di sekolah udah jadi hot gosip,” cerita Jessy. “Kalo mereka tahu lo dekat dengan Erick, makin seru gosip di sekolah.”
Kara lalu teringat, tatapan beberapa siswa yang melihat kedekatan dirinya dan Erick di perpustakaan.
“Apa pagi ini Erick bakal datang?”
Kara memberikan teh pada Jessy. “Gue gak tahu, dia belum ngabarin.”
“Kalau gitu gue mau nunggu di sini. Gue mau nanya banyak hal ke Erick.”
Pagi itu, setelah Bunda bangun, Kara beres-beres. Dia juga membantu Bunda makan, turun dari ranjang dan membantu beliau duduk di kursi roda, termasuk memapah beliau hingga ke kamar mandi.
Pukul dua siang, Kara meminta Jessy menunggu di rumah sakit. Cewek itu balik ke rumah. Ada beberapa perlengkapan yang harus diambil.
---
Pukul 15.03
Kara kembali ke rumah sakit. Cewek itu membawa beberapa baju ganti dan perlengkapan mandi. Tak lupa dia membawa kotak makanan. Cewek itu setengah buru menyusuri lorong rumah sakit. Dia belum memberikan obat siang untuk Bunda.
Sepuluh meter mendekati ruang pasien, laju kaki Kara melambat. Di depan pintu dia menemukan Erick. Raksasa itu membelakanginya dengan berkacak pinggang, sebelah tangannya merapatkan ponsel di kuping. Sepertinya dia sedang menelepon.
Kara mendekat.
“Nanti aku telepon balik,” tutup Erick dan berbalik. Lalu bertemu muka dengan Kara.
“Dari tadi?” tanya Kara.
“Udah setengah jam yang lalu.”
Kara membuka pintu ruangan. Bola matanya nanar refleks. Di dalam—tepatnya di kepala ranjang, dia menemukan seseorang. Orang tersebut sedang berbincang dengan Bunda. Kara menoleh pada Jessy yang berada di kursi dekat meja. Sahabatnya itu hanya menampilkan tampang datar.
Kara masuk diiringi Erick.
Orang yang berbicara dengan Bunda adalah Freya.
“Aku datang bareng Freya,” tutur Erick di belakang. Suaranya dekat sekali dengan kuping Kara sehingga kayak tampak berbisik.
“Hai,” sapa Freya.
Kara tersenyum.
“Kara ya?” tebak Freya.
Kara mengangguk, lalu meletakkan barang di meja. Dia melirik Jessy yang kayaknya tak bisa berbuat banyak. Kemungkinan sohibnya ini batal menginterogasi Erick lantaran keberadaan sang Putri Sekolah.
“Kok kamu gak pernah cerita ke Bunda, kalo punya teman secantik ini?” Bunda mengambil alih percakapan. Beliau setengah bangun dan menyandarkan punggung ke kepala ranjang. “Freya punya banyak hal menarik untuk diobrolin.”
Kara menyeringai. Bunda tak tahu, dia bahkan belum pernah berkenalan dengan Freya.
“Semua perempuan cantik,” sebut Freya menanggapi omongan Bunda sebelumnya.
Kara dan Jessy saling melirik. Pernyataan Freya benar-benar mirip jawaban ala-ala pemilihan Putri Indonesia. Tapi memang, tak bisa dipungkuri, Freya sore ini benar-benar manis. Rambutnya lurus kilau, wajahnya merona ramah, tingkah lakunya tertata, dan baju yang dikenakan terlihat menarik.
Dan sore itu, Bunda banyak berkomentar. Beliau senang, kehadiran sahabat-sahabat Kara sedikit menyamarkan sakit yang diderita. Terutama Erick yang hampir setiap hari mampir ke rumah sakit. Namun tak demikian dengan Kara. Kehadiran Freya sedikit mencanggungkan situasi. Kara bahkan menjadi orang yang paling sering memperhatikan Erick dan Freya. Dua orang tersebut menujukkan bahasa tubuh yang care. Apalagi posisi duduk The Perfect Couple itu benar-benar lurus di hadapannya.
“Lo mau pulang sekarang?” bisik Erick ke telinga Freya. Memang Freya hanya janji menemani Erick sampai jam 5 sore.
Freya sedikit mengubah posisi kepala sehingga pipinya hampir menyentuh bibir Erick. “Tunggu sebentar lagi.”
Tiba-tiba Erick menemukan mata Kara yang serius mengamatinya.
Seketika Kara menunduk.
“Oh oke,” Erick kembali berbisik ke telinga Freya.
Setelah adegan bisik-bisik itu, Kara menjadi aneh. Dia pura-pura sibuk mengerjakan apa saja. Merapikan ranjang, merapikan meja, menata kursi atau pura-pura menuangkan air ke gelas yang tidak dia minum.
Beberapa menit setelah The Perfect Couple pergi, Jessy langsung memberondongkan tanya pada Kara.
“Lo suka pada Erick?” todong Jessy.
Kara tidak menjawab.
“Yakin lo gak mau jawab?” Jessy mengorek.
Tetap Kara tak mau menjawab.
“Soalya tadi gue liat, lo langsung berubah aneh waktu Erick bisik-bisik ke Freya.”
Berubah aneh? Ya Kara mengakui hal tersebut. Namun untuk jujur pada Jessy saat ini, bukanlah sesuatu yang harus dia lakukan. Yang pasti memang beberapa hari ini, dia begitu menikmati kehadiran-kehadiran Erick di sampingnya.
“Coba tadi gak ada Freya, mungkin gue dapat banyak info dari Erick!” Jessy terus nyerocos.
***
Pukul 19.03 [19 Februari 2007]
Perkembangan Bunda terus menunjukkan progres baik. Selang infus dan perban di kepala sudah lepas. Harusnya beberapa hari ke depan, Bunda sudah bisa meninggalkan rumah sakit.
Kara baru saja ke bagian resep mengambil beberapa obat. Cewek itu balik dengan membawa satu kantong plastik.
“Ada obat baru dari dokter,” ucap Kara. Cewek itu meletakkan kantong obat di meja. “Tapi Kara gak tahu untuk apa?”
Bunda menatap punggung Kara.
“Tapi kok kayaknya obatnya tambah banyak.”
“Kar,” panggil Bunda lembut.
Kara balik badan.
“Apa kamu bisa bantu Bunda?”
“Bantu apa Bun?”
“Temui ayahmu.”
Bola mata Kara tiba-tiba rihat. Setelah orangtuanya bercerai, ini pertama kali dia mendengar Bunda menyebut kata ‘ayahmu’. Sudah beberapa tahun ini Kara tak pernah bertemu Ayah. Dulu saat SMP ayah sering kali sembunyi-sembunyi bertemu Kara di sekolah. Dan Bunda tak pernah tahu itu.
“Kamu bisa bertemu Ayah?” pinta Ibu sekali lagi.
Kara berdeham sebelum berkata, “Tentu.”
Bunda mengambil kertas dan pena di meja dekat ranjang. Tak tahu siapa yang menyediakannya pada Bunda. Mungkin beliau meminta pada suster saat di ruang resep tadi. Bunda lalu menuliskan beberapa kata.
“Ini alamat Ayahmu.”
Kara menerima kertas alamat, Jalan Bogor Raya, Nomor 08 A.
Bunda lalu mengeluarkan sesuatu dari balik bantal. “Tolong berikan ini pada Ayahmu.” Bunda menyodorkan sebuah amplop. Kara melihat jeli sebelum meraih amplop itu. Penutupnya sudah terekat. Surat apa ini? Semacam wasiat? Atau perjanjian?
Kara menatap Bunda sekali sebelum sibuk memilah-milah obat yang akan diminum Bunda.
Tak berapa lama, Erick datang. Cowok itu tampak kece dengan setelan jaket hoodie, celana pendek dan sepatu kets.
“Hai Tan,” sapa Erick santai pada Bunda.
“Halo juga Rick,” balas Bunda. “Mana Freya?”
Erick langsung menatap Kara, kemudian senyum pada Bunda. “Aku ke sini gak bilang-bilang Freya, Tan.”
“Tante senang liat kalian berdua,” Bunda masih berkomentar. “Yang satu ganteng dan tinggi. Yang satu cantik dan santun.”
“Terima kasih, Tan.”
Kara kemudian ke kamar kecil. Dia seolah kurang suka dengan percakapan Bunda dan Erick. Mungkin lantaran nama Freya terdengar di ruangan tersebut. Cewek itu balik lagi dan pura-pura sibuk merapikan selimut di bawah meja.
Erick lalu menyejajarkan diri dengan Kara di meja. Cowok itu menemukan amplop di sana. “Ini surat apa?”
“Titipan Bunda. Mau dikasi ke Ayah.”
“Oh,” balas Erick pendek. “O iya, gue gak pernah bertemu bokap lo,” sadar Erick.
Kara menoleh pada Bunda, lalu fokus lagi pada Erick. “Orangtua gue udah bercerai, lama,” Kara memelankan suara, takut Bunda mendengar.
“Sorry,” maaf Erick.
“Gak apa-apa,” Kara sibuk lagi. Dia menuju pojokan dekat pintu, mengambil tabung sampah, dan keluar.
Erick mengekori cewek itu, hingga di koridor.
“Emang suratnya mau dianter ke mana?” tanya Erick.
“Ke Bogor.”
Alis Erick menjungkit ke atas. “Gak kejauhan itu?”
“Gue pernah pergi lebih jauh dari jarak Bogor – Jakarta.”
Erick gak ada kata-kata untuk menyanggah. Sebab cewek itu pernah ditemui di Stasiun Bandung. Dan tentu Jarak Bandung lebih jauh dari Bogor.
“Lo pergi sendirian?”