[22 Februari 2007]
Dua hari setelah Kara tahu kondisi Bunda yang sebenarnya, cewek ini menjadi lebih pendiam. Bunda sendiri merasakan perubahan tersebut.
“Bunda ingin cepat pulang,” tukas Bunda memancing obrolan. Sekarang sudah pukul 11 malam.
Kara tak merespons omongan Bunda. Dia sibuk merapikan obat.
Ada diam dua menit.
“Sampaikan terima kasih Bunda ke Erick,” pancing Bunda lagi. “Dia terlalu baik ke kita.”
Kara menolehi Bunda. “Akan Kara sampein.”
Usai omong demikian, Kara pasif lagi. Kali ini dia sibuk dengan piring-piring bekas makanan di meja. Bunda jadi sungkan mengajak obrol Kara. Beliau sesungguhnya tahu, Kara yang sekarang, adalah Kara yang butuh waktu menerima segalanya.
Keesokan harinya, di Jumat sore—sebelum Bunda benar-benar keluar rumah sakit, Kara memberi tahu Jessy dan Lero soal Bunda dan Ayahnya. Mereka mengobrol di kursi teras rumah sakit.
“Dan gue harus menerima kenyataan ini. Bokap gue… Nyokap gue yang lumpuh.”
Jessy mengelus lengan Kara. “Lo yang sabar. Berada di posisi lo, bukanlah hal mudah.”
Lero hanya jadi pendengar setia.
“Keuangan kami memburuk,” sambung Kara. “Nyokap gak punya tabungan cukup. Erick yang membayar pengobatan Bunda.”
“Lo gak sendirian,” Jessy coba menenangkan. “Ada gue, Lero. Kita gak akan ninggalin lo dalam keadaan apapun.”
“Yang penting sekarang lo nenangin diri dulu,” Lero akhirnya angkat bicara. “Kalo lo butuh apa-apa hubungin gue atau Jessy. Kita siap bantuin lo.”
Kara berganti-ganti menatap Lero dan Jessy. Dia tahu sepasang kekasih ini tulus berada di sampingnya. Seharusnya ada satu orang lagi di sini—yang mestinya memberikan support, Mave. Sayang cowok itu sudah berada jauh di Bandung.
---
Dua jam berikutnya. Dibantu Jessy dan Lero, Kara membereskan barang-barang Bunda sebelum mereka meninggalkan rumah sakit.
Erick datang terlambat.
“Sorry gue telat,” cowok Jangkung itu sungkan.
Jessy dan Lero melirik ke arah Erick
“Kita baru mo jalan kok,” sambut Kara.
“Berarti udah ngumpul ya semuanya,” Bunda setengah bangkit dari ranjang.
“Jadi mo pake mobil siapa?” tanya Erick mengenai kendaraan yang akan digunakan. “Soalnya gue juga bawa mobil.”
“Pake punya gue aja,” tawar Lero.
Kara menatap Erick sekali lalu menyetujui tawaran Lero. Lagian yang tiba duluan Lero. Tak enak menolak.
Mereka lalu meninggalkan kamar pasien. Lero mendorong kursi roda Bunda. Di parkiran Lero dan Erick membantu Bunda naik ke mobil. Selama perjalanan, Erick membuntuti dari belakang. Mereka melewati tiga bulevar sebelum berada di kompleks rumah Kara.
Mobil Lero siaga di depan garasi.
Sementara Erick menepikan mobilnya di luar pagar. Mesinnya masih nyala. Cowok itu menurunkan kaca. Tampak di garasi, Lero memapah Bunda untuk duduk sempurna di kursi roda.
Kara mendekati mobil Erick. “Lo gak masuk dulu?”
“Gak usah, gue mo langsung balik.”
“Buru-buru?”
“Freya,” jawab Erick.
Kara menggigit bibir bagian dalam. “Hati-hati kalo gitu.”
Erick memutar setir, “Aku pergi dulu, salam untuk Bunda.”
Kara tegun sebentar, ini pertama kali dia mendengar Erick mengucapkan kata bunda. “Walaikum salam,” sahut Kara.
***
05 Maret 2007
Setelah izin lumayan lama, akhirnya Kara bisa kembali bersekolah. Namun Senin ini tak seperti senin-senin lain—begitu yang ditangkap Kara sejak berada di halaman sekolah. Beberapa cewek menatapnya, lalu berbisik-bisik pelan.
Mungkin ada hal yang tak dia ketahui selama di rumah sakit.
Kara baru mendapat jawaban ketika semeja dengan Jessy di kantin sekolah. Saat itu mereka sedang menikmati bakso hangat.
“Aneh, kok beberapa orang natap gue, Jess?” keluh Kara, matanya menerawang sekeliling kantin. “Apa hari ini gue aneh?”
Jessy mengunyah bakso sehingga mulutnya menggembung. “Masa lo gak tau? Hampir satu sekolah tau kalo lo dekat dengan Erick,” jabar Jessy. “Lo dinilai terlalu berani untuk bersaing dengan Freya.”
Kara bengong. “Masa? Bukannya yang tahu hal ini hanya lo dan Lero?”
“Gue gak tahu gimana sampai info ini nyebar. Tapi, segala sesuatu yang menyangkut Erick, orang-orang bakalan kepo.”
Entah dari mana, tiba-tiba dari arah depan tampak Erick.
“Nah orang yang diomongin muncul,” celetuk Jessy.
Perhatian siswa di kantin teralih ke Erick. Cowok itu mengayuh kaki ke posisi meja paling ujung, dan itu membuat Kara sedikit nanar.
“Tuh noh, dia kayaknya menuju kemari,” sebut Jessy.
Kara memperhatikan sekeliling. Semua siswi yang berada di kantin berganti-ganti menatap dirinya dan juga Erick yang kian dekat dengan meja yang dituju.
“Benar kan? Semua orang tuh tau kalian deket,” bisik Jessy.
Erick sampai di meja Kara, lalu menarik satu bangku kosong dan duduk. “Lagi ngomongin gue ya?”
Kara dan Jessy saling melirik.
“Kok tau?” sebut Jessy keceplosan.
Kara menggemeretakkan gigi. Kenapa Jessy terlalu jujur?
Erick menarik daftar menu di meja. “Cowok kece kayak gue udah terbiasa kali jadi omongan.”
“Huh ge-er,” seru Kara.
Erick langsung memesan nasi goreng. Cowok itu lantas menanyakan kondisi bunda. Erick mendapat kabar kalau Bunda semakin baik, hanya saja ada beberapa rangkaian terapi yang mesti dilewati untuk melatih saraf-saraf kaki.
“Btw, gue mau ke toko buku besok, mau beli novel untuk tugas bahasa Indonesia Pak Rengga. Ada yang mau nemenin?”
“Yaaah, aku udah beli,” kecewa Jessy.
“Emang disuruh Pak Rengga?”
“O iya, gue belum kasi tau lo ya?” sadar Jessy. “Tugas dari minggu lalu.”
“Ya udah, lo bareng gue aja belinya,” tawar Erick langsung pada Kara. “Sekalianlah biar gue ada temennya.”
Kara malu-malu. “Boleh deh.”
***