Sekian minggu berlalu begitu cepat.
Sekolah masih heboh soal kedekatan Erick dengan Kara. Kara merebut Erick dari Freya. Kara memanfaatkan kesempatan. Kara berani banget bersaing dengan Freya, dan masih banyak lagi rumor yang beredar
Sejauh ini Kara merasa tak perlu meladeni omongan-omongan yang tak enak. Toh, di sekolah dia tak pernah menunjukkan gerak-gerik suka pada Erick. Tak pernah menjadi orang pertama yang mendekati Erick, sebaliknya cowok itulah yang sering menghampiri duluan. Lagian dalam beberapa kesempatan dia dan Freya sering makan bersama—yang setidaknya menujukkan kepada orang lain bahwa dia memiliki hubungan yang baik dengan Freya.
Namun entah apa, saat kelas berakhir di suatu Sabtu, Erick menjadi orang yang risih dengan gosip tersebut. “Lo udah denger kan apa yang diomongin anak-anak?”
“Di kelas?”
“Bukan. Semua anak-anak. Satu sekolah,” tegas Erick. “Tentang lo ma gue.”
Kara tahu arah omongan Erick.
“Makin lama gosipnya makin aneh,” omong Erick. “Gue gak persoalin gosip yang beredar, gue malah khawatirnya di elo.”
Kara hanya menatapnya sekali.
“Lo gak keganggu kan?”
Kara butuh waktu dalam menjawab. Di pikirannya muncul potongan-potongan kebersamaan mereka belakangan ini. Di kelas, di kantin, di rumah, di rumah sakit, saat ke bogor, saat boncengan. “Kata lo kita sahabatan kan? Jadi gak usah khawatir tentang apapun.”
“Baguslah,” Erick mengulum bibir. Dia mengeratkan tas punggung, lantas meninggalkan Kara di teras kelas.
Setelah Erick menjauh, Kara baru sadar dia telah berbohong. Sekian minggu ini, dia lumayan tak enak dengan omongan anak-anak. Menjauh dari Erick pun tak kuasa dia lakukan. Mereka sekelas, Erick sering ke rumah, terlebih-lebih dalam beberapa kesempatan dia, Erick dan Freya hang out bareng.
Dear Erick… gue suka ama lo.
---
[23 April 2007]
Nyatanya bukan Erick saja yang komplain soal gosip ini, tetapi Jessy juga demikian. Jessy yang awalanya diam, ikutan risih. Gosip Kara yang berusaha merebut Erick dari tangan Freya semakin jadi-jadi.
Pulang sekolah, Jessy mengajak Kara ke taman kota di ujung bulevar. Cewek itu merasa perlu membahas gosip ini bareng Kara.
“Jujur, gue bosan denger gosip ini,” tukas Jessy.
Kara memainkan ponselnya.
“Kesannya lo jelek banget ke Freya.”
Kara masih mengotak-atik ponsel.
“Apalagi gosip soal lo ketemuan ma Erick benar-benar diplintirin. Katanya kalian sering ketemuan di perpus diam-diam lah, makan bareng lah, sering jalan lah,” Jessy cerocos.
Kara menarik kasar udara lewat hidung.
“Lo harus ngomong ke anak-anak kalo itu gak bener.”
Kara sayu menjamah rupa Jessy. Jelas semua gosip itu benar. Dan dia tidak mampu menyangkal. “Kita emang sering bersama.”
“Oh no. Big No!” Jessy memelotot. “Jadi?”
Kara mengangguk.
“Dan gue gak tahu semua ini?”
“Gue ngerasa nggak harus cerita ini ke elo.”
Jessy memegang akar rambut dan geleng-geleng. Pantas saja, gosip kedekatan sohibnya bareng Erick makin aneh-aneh. “Please, harus ada penjelasan masuk akal ke gue. Tentang apa pun. Tentang lo, tentang Erick, tentang gosip ini yang gak gue ketahui.”
Kara menyeka-nyeka ujung jari.
“Apa kecurigaan gue selama ini benar? Lo ada rasa ke Erick?
Mata Kara berkabut. “Iya gue suka Erick.”
“Astaga Kar!”
“Apa yang gue bisa lakuin Jess?” air mata Kara mulai menetes. “Erick selalu datang ke gue. Dia ngebuat nyaman. Salah kalo gue suka ke dia?”
“Tapi dia milik Freya.”
“Gue gak mau boongin diri gue sendiri.”
“Tapi Kar, tetap aja lo salah.”
Kara berhenti membela diri. Cewek itu membiarkan air matanya merembes. Dia tahu, selama beberapa minggu ini dia cukup mampu menutupi telinga dari gosip yang sedikit menyiksa, namun dikorek Jessy seperti ini, terasa lebih tertekan.
Mendadak Kara memeluk Jessy, erat. Sangat erat.
“Gue gak bisa menghindari ini Jess. Gue bahkan harus nahan cemburu ketika ngeliat Erick dan Freya bersama. Ya, demi gue bisa dekat dengan Erick.”
Kara melepas pelukannya. Cewek itu membiarkan air merusak pipinya. Kara menatap Jessy dalam-dalam. Haruskah dia membuat pengakuan apa yang terjadi di kereta api? Saat ini juga?
“Gue dan Erick pernah ciuman.”
“Oh my—”
“Dan itu terjadi di Bandung kemarin.”
Jessy speechless. Berarti mereka saling kenal jauh sebelum Erick masuk SMA Pelita. Masalah Kara dan Erick lebih pelik dari yang dibayangkan. Soal ciuman pasti melibatkan perasaan. Selain kebaikan Erick, ciuman tersebut bisa jadi salah satu faktor Kara nyaman di samping Erick.
Ada jedah diam lima menit.
“Kar, gue tau apa yang lo alami ini sulit,” Jessy memegang punggung tangan Kara. “Tapi berada di antara Freya dan Erick bukan sesuatu yang baik.”
“….”
“Yang harus lo lakuin sekarang adalah ngindarin Erick.”
Kara berpikir sebentar. “Apa itu jalan satu-satunya?”
“Ya, Erick punya Freya. Akan jahat kalo lo ngerebut Erick.”
Kara tercenung. Hampir sebulan ini dia dekat dengan Freya. Cewek itu baik, sama halnya dengan Jessy. Tegakah dia memuluskan ego demi mendapatkan Erick? Yang pasti sampai Jessy berbusa-busa mulut, Kara belum memberikan keputusan.
***
Beberapa jam setelah diinterogasi Jessy, Kara jadi murung. Di kamar cewek itu menopang dagu di meja belajar. Jendela yang terbuka jadi fokus lihat. Langit Jakarta hari ini kelabu.
Menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain memang tak enak. Gosip di sekolah makin riuh. Namun perasaan Kara sulit dibohongi.
Harushkah Kara mengikuti saran Jessy?
Daripada harus merusak hubungan orang lain.
Daripada harus menahan cemburu melihat The Perfect Couple.
Barangkali benar, untuk normalin ini semua, gue harus lupain Erick. Ngindarin dia adalah langkah awal.
Maka sehari setelahnya, Kara berubah jadi protektif. Protektif terhadap segala hal yang berhubungan dengan Erick. Hal pertama yang Kara lakukan adalah menghapus kontak cowok itu. Yang kedua adalah menjaga jarak dengan Erick. Dan yang ketiga menutup peluang yang mungkin bisa tercipta bareng cowok itu.
[28 April 2007]
Sewaktu proyek tugas bersama dari Pak Galih, Kara menolak sekelompok dengan Erick.
“Gue setim aja bareng Jessy dan yang lain,” katanya pada Erick yang ditunjuk sebagai ketua kelompok.
“Kenapa?”
“Dia lebih jago soal matematika,” Kara beralasan.
“Perasaan tugas-tugas matek gue juga bagus?” heran Erick. Namun pada akhirnya cowok itu merelakan Kara pindah kelompok.
[1 Mei 2007]
Erick datang ke rumah. Tujuannya tentu untuk menemani Kara mengantar Bunda ke rumah sakit. Namun cewek itu menolak. Di depan pintu Kara seolah memasang pagar. Parahnya dia tak menyilakan Erick masuk.
“Udah ada Ayah yang nemenin,” ujar Kara sembari melihat ke belakang, ada Ayah di sana.
“Kan gak papa?”
“Entar ngerepotin. Lo udah banyak bantu gue.”
“Yakin?” Erick tak menyerah.