Hanya dalam hitungan hari, gosip Kara-Erick-Freya langsung berubah. Tak ada lagi sebutan The Perfect Couple, tak ada lagi cibiran pada Kara. Semua sudah clear. Gosip-gosip yang beredar satu inti sekarang, yaitu; betapa beruntungnya Kara mendapatkan Erick.
“Jadi waktu itu lo kalah taruhan bola dari Freya?” kaget Kara setelah Erick cerita mengapa dia menemui Freya sebelum mereka mengunjungi toko buku tempo hari. Kala itu Erick membelikan banyak baju pada Freya, dan membiarkan sepupunya itu ikut ke toko buku.
“Ya karena kalah makanya gue bayarin belanjaannya Freya.”
“Tau gak, waktu itu aku kesal banget. Ngapain juga ngajak aku kalo ujung-ujungnya Freya ikut.”
“Hahaha,” Erick tertawa.
Setelah Kara menceritakan kekesalannya, kini bagian Erick yang curhat. “Gue juga kesal banget tuh pas malam valentine lo datang ma Lero.”
“Lha kenapa dia kan temen gue?”
“Biar temen lo, tapi kan kalian mesra banget. Lero megang pundak lo, pinggang lo, ngajak lo dansa,” Erick sedikit tensi bercerita. “Yang bikin tambah kesel tuh, tiba-tiba lo ngilang. Padahal kan gue masih pengin ngeliat lo. Jarang-jarang liat lo cantik kek gitu.”
Mendadak seperti ada sebuah kesimpulan yang merayap di kepala Kara. “Berarti lo udah suka gue sebelum kejadian Bunda di rumah sakit?”
Erick angguk-angguk.
“Tepatnya?”
Erick diam sebentar, dia mengintai wajah Kara penuh. Sekian menit. Lalu lantang menjawab, “Ketika lo tiba-tiba tidur di pundak gue, selama hampir tiga jam.”
“Hah, tidur di pundak lo? Gak pernah kali!” Kara ingat betul dia tak pernah pulas di pundak cowok ini. Mereka sering boncengan tapi Kara tidak pernah tidur di atas motor.
“Lo ingat di kereta? Kita sebangku waktu itu. Dalam perjalanan menuju Jakarta lo ketiduran dan nyender di pundak gue.”
“Akh dasar!” Kara malu sendiri.
“Dan…,”
“Dan apa?”
“Lo juga meluk gue.”
Kara cemberut, tapi kemudian tertawa. “Tapi lo gak macem-macemin gue pas tidur kan?”
“Yaelah Kar, di kereta mah rame kali!”
Dan meski sudah resmi pacaran tak ada kata kamu aku, dalam panggilan mereka. Sesekali Kara tetap menganggap Erick sebagai raksasa. Namun cewek ini sepertinya tak akan pernah bercerita pada Erick tentang sebutan tersebut.
Efek dari gosip baru pun, dikomentari dua sahabat Kara, Jessy dan Lero. Pasangan kekasih tersebut tentu ikut bahagia. Bahkan mereka merasa selama ini tertipu dengan gerak-gerik Erick yang luar biasa canggih menutupi perasaan suka pada Kara.
“Tapi selama ini yang kita liat tuh beda,” Jessy masih tak percaya, dia meminta Lero yang berada di sampingnya untuk turut membenarkan apa yang dikatakan. “Dia deket dengan Freya, dan keduanya benar-benar seperti sepasang kekasih.”
“Makanya itu, gue juga ngerasa ketipu,” aku Kara.
“Pantas dia belain nemenin lo di rumah sakit, di Bogor,” Jessy masih berkomentar.
Sementara itu Lero hanya jadi pendengar setia. Cowok itu tampak asik memencet tuts ponsel.
“Kalau gitu selamat ya?”
“Thanks.”
Jessy memainkan rambutnya. “Jadi kapan kita double date?”
“Double date?”
“Ya, lo dengan Erick. Gue dengan Lero. Kayaknya seru tuh,” Jessy melirik Lero. “Bagaimana Ler?”
“Gue sih terserah kalian aja.”
Jessy melebarkan tangan. “Kalo gitu deal ya!”
***
[12 Mei 2007]
Sesuai kesepakatan akhirnya Kara dan Jessy sepakat double date dinner di salah satu restoran hotel. Lokasinya tepat di puncak rooftop. Mereka hanya perlu membayar setengah harga, karena pemilik hotel ini masih punya hubungan keluarga dengan Lero. Inilah keuntungan kalau punya sahabat tajir.
Untuk menunjang penampilan, Kara bersemedi di salon hampir dua jam. Membenarkan rambut, kulit, kuku agar menarik. Malam ini Kara mengenakan kemeja putih yang dipadu rok pendek berlipit.
Erick menjemput Kara tepat waktu.
Kara sedikit cemberut lantaran rambutnya sedikit rusak oleh helm, sewaktu mereka tiba di parkiran.
“Kan resiko punya cowok yang modalnya cuman moge,” Erick menenangkan.
“Mave!” mata Kara melotot.
“Mave?” Erick sedikit heran. “Lo kayak teman-teman gue di Bandung deh, sering manggil Mave!”
Entahlah kenapa tiba-tiba Kara refleks menyebut nama Mave. Mungkin cewek ini merasa Erick adalah pengganti Mave yang hilang.
“Kan sama aja, Mave atau Erick,” Kara ngeles.
“Aku lebih senang dipanggil Erick, Kar.”
“Siaaap,” seru Kara. “Ya udah nih,” Cewek itu menyerahkan helm.
Erick mencantol helm, lalu keduanya masuk hotel.
Malam itu restoran tampak semarak. Bohlam-bohlam melilit di tiang-tiang dan tembok yang beralur. Di beberapa bagian terdapat kursi gantung. Kembang-kembang tinggi berwarna dominan putih juga menyebar di beberapa bagian. Di ujung tembok sisi kiri ada alat band lengkap—untuk perform live music. Sejauh mata memandang lampu-lampu dari gedung tinggi di sekitar, amat benderang. Langit Jakarta pun indah. Gemintang kerlip jenaka.
Kara takjub begitu memasuki restoran. Tangan cewek itu masih tergenggam oleh Erick. “Indah banget Rick.”
Erick mengitarkan pandangan, “Iya keren.”
Kara melepaskan genggaman dan menuju salah satu sudut. Cewek itu memandang ke bawah, “Rick, kapan-kapan kita ke sini, berdua saja.”
Erick hanya tersenyum.
Kara lalu memusat pada meja di pojokan kiri. Di situ Lero sudah nyaman di bangkunya. Cowok itu sudah melihat kedatangan mereka sejak tadi. Lero malam ini menawan, dia mengenakan kaus putih yang ditumpuk blazer hitam.
Kara dan Erick menuju meja Lero.
“Jessy mana?” tanya Kara langsung begitu tiba di meja. Cewek itu menarik kursi dan duduk. Erick juga demikian.
“Dia masih otw,” sahut Lero. “Tadi siang ke Bogor. Nyampe Jakarta baru beberapa menit yang lalu. Sekarang lagi menuju ke sini.”
“O gitu.”
Selang sekian menit, pelayan membawakan buku menu. Ketiganya kompak memesan menu yang sama, dari makanan pembuka, utama sampai dessert. “Hanya ini Mas Lero?” tanya pelayan yang sudah kenal dengan Lero.
“Cukup hanya itu.”
Mereka memang sengaja memesan tiga porsi dulu. Takutnya Jessy ingin menu lain. Begitu pesanan datang, mereka langsung menikmati.
Pembahasan di meja makan kemudian diambil alih Erick dan Lero. Dua cowok itu dominan obrol, mulai dari soal hobi, tempat nongkrong enak, game, hingga olahraga favorit. Dalam beberapa kesempatan Kara merasa terabaikan, begini nasibnya kalau jadi cewek satu-satunya di meja makan. Semoga Jessy cepat datang.
Main course hampir ludes, Erick meminta izin ke toilet.
Tiba-tiba musik mengalun, hal itu membuat Kara teralih pada pemain band yang baru saja tiba. Seperti kau bahagiakan aku, seperti itulah kasihku kepadamu….
“O my God, ini lagu kesukaan gue. Samsons!” refleks Kara tiba-tiba. Cewek itu henti makan dan kemudian ikut bernyanyi di bait berikutnya. Sesungguhnya aku merindukan cinta, sampai kau hadir memberiku harap. “Pasti Erick pura-pura ke toilet untuk meminta band-nya nyanyiin lagu Samsons.” Wajah Kara beseri-seri.
Kutemukan cinta, di palung hatimu | Izinkanlah aku menyelami yang terdalam.
Akh, Erick bisa romantis juga. “Eit, tapi dari mana dia tau gue suka lagu Samson?” Kara bingung. “Jessy-kah?”
“Gue yang kasi tau!” potong Lero.
“Oh Ler, thanks!” Kara memasukkan makanan ke mulut.
“Sama-sama,” balas Lero. “Btw, selamat ya lo udah jadian dengan Erick.”
“Kok selamatnya baru sekarang. Telat tau.”
“Kan yang kemarin Jessy, sekarang bagian gue.”
Terangi jalanku, untuk menggapai cintamu. Kara memandang lagi pada band. Untuk kulabuhkan separuh jiwaku hanya untukmu.
Erick kemudian muncul.
Berturut-turut lagu lain Somsons terlantun, mulai dari Kehadiranmu, Yang Telah berlalu sampai Naluri Lelaki. Kara begitu menikmatinya. Kadang-kadang dia menggoyangkan kepala, dan kadang ikut bernyanyi dengan suara agak gede, tak peduli beberapa orang di samping. Cewek itu luar biasa bahagia.
Dua puluh menit kemudian barulah Jessy nongol. Cewek itu hanya mengenakan kaus biasa dan celana jeans. “Sorry telat, tadi di tol macet.”
“Gak papa,” tepis Lero. “Mau pesan apa?”
Jessy menatap piring-piring di atas meja yang sudah kosong. “Kayaknya gue makanan penutup sama minum aja deh,” ucap Jessy malu hati datang telat.
Lero memanggil pelayan, dan memesan.
Dengan kedatangan Jessy, durasi obrol di meja makan bertambah jadi satu jam. Sementara itu bintang di langit makin jenaka kerlip, udara jadi dingin berangsur, dan suara band kini menyanyikan lagu yang lebih romance dari sekian penyanyi mancanegara.
***
Besoknya di rumah Kara.
“Jadi kapan kalian berangkat?” tanya Ayah pada Kara. Mereka sedang kumpul di ruang tamu. Selain Bunda, di situ juga ada Erick. Kedatangan Erick atas permintaan Ayah.
“Tanggal 15, lusa,” sebut Kara.
“Trus dari sekolah kasi pembekalan apa?” tanya Bunda.