Strategi Kara absen tiap makan malam, cukup membantu menghindar dari Mave. Namun sepertinya Mave tahu bahwa Kara berada di hotel ini hingga sekian minggu ke depan. Mave bisa saja menanyakan hal itu ke pihak hotel. Apalagi hampir tiap malam dia jadi penampil untuk orang yang itu-itu saja.
Hari ini setelah kegiatan karantina, Erick bersama beberapa peserta cowok jalan. Kara sendiri tak tahu tujuannya ke mana. Yang pasti setelah mereka kembali, Kara melihat Erick memanggul gitar.
Sorenya setelah beberapa jam, Kara hendak menemui Erick di lounge hotel belakang.
Dari kejauhan Erick tampak sendirian di sofa panjang, memeluk gitar, dan bersandung mengikuti petikan jari. Ini pertama kalinya Kara menyaksikan pacarnya memainkan alat musik tersebut.
Dari Jarak lima meter, Kara menyapa, “Er—.” Sapaannya terhenti. Buru-buru Kara balik badan sebelum Erick menangkap kehadirannya. Cewek itu lalu cepat melipir ke salah satu tembok, bersembunyi.
Dia melihat Mave menuju sofa, dan membawa dua cangkir.
Wajah Mave ramah, seolah sedang menjamu sahabat lama. Cowok itu meletakkan kopi di meja dan duduk di samping Erick.
Sejak kapan mereka saling mengenal?
Erick jeda menyanyi, “Thanks,” katanya pada Mave.
Kara mengintip dari balik tembok.
Erick lanjut memainkan gitar, Aku memang tak berhati besar, untuk memahami hatimu di sana | Aku memang tak berlapang dada untuk menyadari kau bukan milikku lagi. Kara jelas tahu yang dinyanyikan ini, Kisah Tak Sempurna single terbaru Samsons yang rilis beberapa pekan lalu.
“Lagu ini mengajak gue ke masa lalu,” omong Mave tanpa melihat Erick.
Erick berhenti lagi memetik gitar. “Dengan?”
“Seseorang yang kini ngebuat gue percaya, pertemuan adalah aturan Tuhan yang paling jahil.”
Erick mengetuk ujung jari di salah satu senar. “Sekarang dia di mana?”
“Dia di sini,” sebut Mave.
Di persembunyiannya Kara terhenyak. Cewek itu menahan dada, Kara tahu cewek yang dimaksud Mave adalah dirinya.
Mave lalu merebut gitar dari Erick, lalu melanjutkan nyanyian Erick. Maafkan aku yang tak sempurna untuk dirimu.
Kara menutup mata, meresapi suara Mave. Enak di kuping.
“Tapi gue gak tahu apa dia ingat gue atau gak?” ucap Mave usai menghabiskan beberapa bait lagu. Mendadak suasana jadi sendu. “Eh kenapa gue jadi curhat?” sadar Mave kemudian, cowok itu lantas tertawa.
Sementara itu, Kara merasa cukup berada di balik tembok. Cewek itu memundurkan langkah hendak pergi.
Begitu balik badan, cewek itu mendengar panggilan Erick. “Kar?”
Langkah Kara otomatis henti. Erick menemukan dirinya. Cewek itu menoleh, menatap Erick dan Mave berganti-gantian.
“Kenalin nih temen baru gue,” ujar Erick dengan sedikit teriakan.
Bahasa tubuh Kara langsung sungkan. Sungkan pada Mave yang tampak memperhatikan penuh.
Barang tentu Kara mustahil menghindar. Akhirnya dengan terpaksa Kara bergerak ke sofa, mendekati keduanya.
Kara lantas memilih duduk di samping Erick, sehingga pacarnya itu memisahkan jaraknya dengan Mave.
“Kenalin, Mr. M.”
Mr. M? Mave menyembunyikan identitasnya?
Tanpa diminta, Mave langsung mengulurkan tangan ke arah Kara. Tentu uluran tangan Mave melewati depan Erick. Kara melihat saksama telapak tangan Mave yang terulur, telapak tangan yang dulu bisa dia sentuh kapan saja.
Mave menggerakkan jari, seolah meminta Kara menyalaminya.
Sembari memantau mata Mave, Kara menjabati tangan cowok itu, “Kara.”
“Senang bertemu denganmu,” balas Mave.
Kara senyum seringai.
“Gue lagi belajar main gitar,” jelas Erick setelah jabat tangan Kara dan Mave lepas. “Gue minta diajarin Mr. M.”
Mave angguk-angguk.
“Kemarin pas abis nyanyi di atas, gue samperin. Untungnya dia mau,” cerita Erick. “Mau liat hasilnya?” tawar Erick ingin menunjukkan keahliannya belajar gitar. Cowok itu merebut kembali gitarnya dari Mave. Tanpa persetujuan Kara, Erick melanjutkan Kisah Tak Sempurna.
Dengar-dengarkan aku | aku akan bertahan sampai kapan pun | sampai kapanpun.
Jujur permainan gitar Erick tak semenawan Mave. Namun suara pacarnya itu tak buruk-buruk amat. Ketika bait-bait lagu terus dinyanyikan Erick, Kara menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Cewek itu mempertahankan sungguh-sungguh posisi matanya, agar tak melirik ke arah Mave.
Nyanyian Erick selesai.
“Mau lagu yang lain?” tanya Mave pada Erick.
“Besok!”
“Ya besok jadwal gue bukan di hotel,” sebut Mave. “Nanti pas lusa aja.”
“Terserah, lo kan gurunya.”
Mave menyuruput kopi. Erick memainkan beberapa kunci, dan mengulang-mengulang petikan. Sementara itu Kara menjadi defensif, diam dan tak ingin terlibat dalam omongan dua cowok ini. Baginya cukup dengan keterkejutan ini.
Sepertinya cewek itu harus lebih siap lagi menemukan kejutan-kejutan lain.
***
[22 Mei 2007]
Besoknya demi menormalkan mood, Kara meminta Erick untuk jalan. Keluar, ke manapun, asal bisa Mave hilang dari kepala.
Erick membawa Kara ke pantai Ampenan. Jaraknya hanya butuh 20 menit dari hotel.
Langit di pantai Ampenan sore ini bersih, sebagian mulai memerah, lantaran mentari makin condong ke arah barat. Burung dara laut, berkawan-kawan muncul di langit pantai. Orang-orang sudah lumayan ramai memenuhi pinggir laut yang telah dibeton. Beberapa kafe sudah tergelar rapi. Pengunjung ramai berdatangan.
“Kenapa lo mendadak pengin jalan?” tanya Erick.
Kara membenarkan bajunya yang tertiup angin, “Entahlah, gue hanya pengin waktu bareng lo, lebih banyak.”
Erick memalingkan muka pada Kara dengan alis yang nyaris bertaut. Jawaban Kara cukup aneh. Bukankah mereka selalu bersama?
Namun detik berikutnya Erick mencoba lebih positif.
Mereka terus menggenjot langkah. Erick mulai bicara progress-nya bermain gitar. Untunglah pacarnya tak menyinggung nama Mr. M. Kalau saja nama cowok itu tercetus, mood Kara bisa langsung buruk.
Dua menit berlalu Erick celetuk, “Jika suatu saat nanti lo gak menyukai gue, apa lo masih mau jalan bareng kayak gini?”
Kara menghentikan langkah. “Kenapa nanya gitu?”
“Bagi gue cinta semuda kita, gak bisa bertahan.”
“Nanti adalah masa depan yang belum pasti. Dan saat ini adalah langkah yang sedang kita jalani. Kita gak harus berpikir terlalu jauh. Intinya sekarang, lo dan gue bersama,” Kara bicara panjang lebar yang sejujurnya mengkhawatikan dirinya sendiri. Di Mataram ini—di luar dugaan dia bertemu Mave—yang sejauh ini merusak konsentrasinya.
Di salah satu bibir beton pembatas pantai tercipta keramaian. Sejumlah orang tampak berkerumun. Terdengar petikan gitar, dan suara nyanyian di tengah kerumunan. Erick menarik Kara mendekati keramaian.
Dengan masih mencekal lengan Kara, cowok itu berusaha menerobos kerumunan. Terdengar lirik lagu Makes Me Wonder milik Maroon 5. Dengan sedikit susah payah, Erick membawa Kara hingga paling depan.