Bucin

Ello Aris
Chapter #12

Catatan 12

[25 Mei 2007]

Pagi belum sempurna datang, namun Jumat rasanya ingin cepat hadir.

Kara terbangun. Pukul 4 pagi. Cewek itu meraih ponsel yang berada di meja dekat ranjang.

5 messages received! Sebanyak ini pesan singkat yang mampir di ponselnya?

Kara cepat membuka. Semua dari nomor yang sama. Mave?

Pesan pertama, udah bobo? Kara mengigit bibir. Cewek itu lantas teringat kebiasaan Mave yang dulu selalu mengirim pertanyaan yang serupa tiap malam.

Pesan kedua, udah jam 2 pagi, dan hujan mulai turun. Kayaknya agak lama nih. Di situ hujan gak? Kara bergerak ke jendela, menyikap tirai. Benar di luar aspal basah. Sepertinya memang tadi hujan lebat.

Pesan kegita, Aku gak tahu apakah ini terlalu berani atau enggak. Tapi aku pengin ngajak kamu ketemu. Kara melihat waktu yang tertera pada pesan ini. Mave mengirimnya hampir setengah 3 tadi. Apa motif Mave mengajak ketemuan? Mendadak jantung Kara berdetak tak teratur.

Pesan keempat. Apaan sih aku? Ngirim sms saat orang tidur. Ada emoji tawa di akhir pesan.

Pesan terakhir, waktunya 20 menit lalu. Mave belum tidur? Kara lanjut membaca, temui aku besok di Taman Udayana. Jam 8 malam.

Kara mematikan layar ponsel. Lima pesan tersebut tak satupun hendak dibalas. Kenapa saat ada Erick, cinta lamanya harus muncul? huft!

Kara menjauh dari jendela. Dia butuh tidur lagi.

---

Hari ini semua peserta karantina diberikan materi perhotelan. Pelajaran tiba-tiba jadi membosankan bagi Kara, padahal harusnya dia senang nanti malam weekend dimulai—dan semua peserta bebas jalan tanpa takut batas jam malam.

“Gak ada rencana jalan?” tanya Erick ke Kara ketika kelas bubar. “Soalnya aku, Daza, Endy dan Freya mo keluar nanti malam. Lo mau ikut?”

Kara menatap Freya yang tampak menghampiri dari dalam ruangan.

“Kayaknya gue mau istirahat aja deh.” Kara tampaknya butuh sendiri demi menenangkan diri dari pesan-pesan Mave tadi subuh.

Freya langsung berada di tengah keduanya. Diikuti Daza dan Endy.

“Nih, semua udah ada,” seru Erick. “Kan selama di Mataram, squad sekolah kita gak pernah ngumpul bareng. Sekali-sekali jalan barenglah.”

“Ayolah,” Freya ikut membujuk.

Kara menatap Daza dan Endy.

Lalu menatap pacarnya, dua detik. Kemudian cewek itu mengangguk, sedikit ragu. Barangkali dengan pergi bersama teman-teman satu sekolah mampu melenyapkan Mave dari kepala.

---

Pukul 07.15 malam.

Taman Udayana tampak ramai. Bohlam-bohlam temaram, sebagian terlilit di tiang-tiang besi. Rindang dari pepohonan meneduhkan di sepanjang jalan. Pedagang makanan memenuhi sebagian taman, bercampur dengan warga yang menikmati awal weekend di tempat ini.

Gemintang tampak malu-malu, menutup diri dari sebaran awan.

Mave berdiri di bawah tiang lampu dengan memikul gitar di belakang punggung. Entahlah kenapa bisa cowok itu datang ke sini. Padahal Kara tak membalas satu pun pesannya. Ini seperti sebuah kesia-siaan.

---

Jam 07.17 malam.

Kara berdiri di depan cermin. Cewek itu sudah lengkap mengenakan kemeja dan rok pendek di bawah lutut. Bau citrus tercium dari tubuhnya.

“Rapi banget Kar?” Andini menegur dari belakang. “Mo ke mana emang?”

“Mo jalan bareng anak-anak. Teman satu sekolah.”

“Bareng Erick dong berarti.”

“Ya,” angguk Kara.

“Cie yang punya pacar,” goda Andini. Dia sudah tahu kalau Erick pacar teman sekamarnya. “Kalo gitu selamat bersenang-senang. Bawa pulang apa gitu buat gue.”

“Apa?”

“Makanan kek, cemilan kek.”

---

Mave melirik jam di pergelangan tangan. Hampir jam 8 malam. Cowok itu tak berniat meninggalkan tempat itu. Dia tetap setia di bawah tiang lampu, berharap Kara akan datang.

Sementara itu orang-orang makin ramai berkunjung. Taman riuh. Asap makanan ke luar dari tempat pedagang makanan. Bau gurih tercium hingga ke tempat Mave berdiri.

Gemintang kini tak lagi terlihat. Awan menggulung semua cahayanya. Petir terlihat beberapa kali. Guruh guntur juga. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

Mave mengentak-entak kaki sembari menebar pandang ke sekeliling—berharap Kara muncul di keramaian. Sayangnya tidak, batang hidung Kara tak tampak.

Jam 8.20 malam. Sudah lewat dari deal waktu yang dia sampaikan pada Kara.

Beberapa orang kemudian berlarian. Mave tak sadar, ternyata hujan mulai turun. Perlahan hujan membesar. Mave tak beranjak, dia tetap berada di situ, menunggu Kara. Menanti cewek yang sejatinya tak pernah hilang dalam hatinya.

Tujuh menit berlalu.

Baju Mave kuyup. Mendadak cowok itu merasa bodoh. Kenapa harus ke sini, toh Kara tak pernah membalas pesan singkatnya. Apalagi beberapa orang yang berteduh memperhatikannya hujan-hujanan sendirian. Kepala Mave tunduk lima derajat, rautnya kecewa.

Cowok itu memutar badan, hendak beranjak. Namun—

Langkahnya terhenti tiba-tiba. Di hadapan, terulur tangan seseorang yang menyodorkan payung. Mave mengangkat kepala. Dia cengang. Yang berdiri di hadapannya, Kara. Cewek ini sedikit basah meski sudah berpayung.

Mave meraih payung pemberian Kara. Cowok itu membuka payung dan berteduh. “Terima kasih.”

“Sama-sama,” jawab Kara.

“Aku kira kamu gak bakalan datang.”

Kara memilih tak menjawab.

Ada jeda diam setengah menit. Mata-mata mereka saling bicara, sebelum akhirnya Mave berkomentar, “Mari menepi.”

Kara menuruti.

Mereka berteduh di salah satu kedai makanan yang kosong. Keduanya menutup payung masing-masing, lalu berdiri mengadang angin yang lumayan kencang.

“Maaf, udah bikin kamu datang ke sini.”

“Nggak apa-apa,” Kara menyeka titik air di lengannya. “Kamu basah.”

“Nggak masalah,” tepis Mave. “Liat kamu di sini aja, aku udah senang.”

Omongan terakhir Mave memaksa Kara menoleh pada cowok itu sesaat.

“Selama di Lombok, mungkin inilah hari terbahagiaku.”

Kara membalikkan posisi wajahnya.

“Ya, aku berkata sungguhan,” Mave balas menolehi Kara. “Kamu meragukannya?”

“Kamu masih jadi dirimu yang dulu.”

Kini giliran Mave yang tak membalas omongan Kara.

“Lero kirim salam,” omong Kara selanjutnya.

“Kamu kasi tahu kalo aku di sini?”

“Jessy yang cerita.”

“O,” sahut Mave pendek. “Dia sehat?”

Kara mengangguk.

Hujan mulai mengurangi debit airnya. Mave lantas mengajak Kara ke salah satu kedai yang tak jauh dari tempat mereka berteduh. Tentu Mave memohon agar bisa duduk ke sang pemilik lantaran basah kuyup.

Kedai ini beratapkan tenda orange, dengan kursi kayu minimalis.

Mereka duduk saling berhadapan.

“Dulu aku bisa ngajak kamu ke restoran manapun,” Mave menyandarkan gitar di tiang meja. “Tapi sekarang aku hanya mampu bawa kamu ke warung makan sederhana ini.”

Kara mengamati butiran air yang jatuh dari rambut Mave. Kini bukan saja rupa Mave yang dewasa, namun pemikirannya juga.

“Kamu mau pesan apa?” Mave menggosok-gosok tangan, dingin mulai menyerangnya.

“Aku minum aja.” Jujur Kara tak pernah membayangkan bisa semeja lagi dengan Mave. Dia mengira semeja kemarin adalah yang terakhir.

Mave lalu memesan sate bulayak porsi besar. “Aku harus makan banyak, biar kuat. Kuat hadapin kenyataaan hidup yang pait ini,” Mave coba berkelakar.

Kara tersenyum. Satu lagi sifat Mave yang belum hilang, suka melucu.

“Sebelumnya thanks karena udah datang. Harusnya aku bilang itu dari awal,” Mave bicara lagi.

Menu yang dipesan datang.

“Jadi apa membuat kamu minta aku ke sini?”

Mave mengambil sendok. Dia yakin Kara akan menanyakan hal ini. “Aku makan dulu,” sebut Mave. “Hujan bikin laper.”

Lihat selengkapnya