[1 Juni 2007]
Tour dilanjutkan lagi ke Bukit Merese.
Kali ini persiapan panitia lebih banyak, sebab kemah berlangsung di perbukitan. Panitia tidak berkerja sama dengan siapapun. Hanya meminta izin kepada pemerintah setempat. Bukit Merese sendiri merupakan bukit gundul yang hampar oleh rerumputan. Bukit ini masih satu kawasan dengan Pantai Tanjung Aan.
Bukit Merese berbatasan langsung dengan pantai serta laut. Di beberapa bagian ada karang. Lokasi bukit ini berada di wilayah Kuta Lombok. Sekitar satu jam dari hotel.
Earphone kembali menemani perjalanan Kara.
Bus peserta hampir sampai tujuan. Bus paling depan turun duluan. Bus yang ditumpangi Kara menepi paling akhir. Begitu turun dan menjejak kaki di parkiran, Kara cengang luar biasa. Tujuh meter darinya, dia menemukan cowok jangkung bersetelan jaket. Cowok yang ingin dia tahu kabarnya beberapa hari ini, Mave!
Dia di sini?
Mave menopang sebelah tangannya di ujung headstock gitar. Dia berada di antara Erick dan beberapa panitia. Oke, sekarang penasaran Kara terbayar, Mave baik-baik saja. Kara lalu mengembangkan senyum, namun justru Erick yang membalasnya. Mave bersikap biasa, dia malah memperhatikan seri wajah Erick yang bahagia.
Sebelum menuju Bukit Merese, panitia membariskan peserta.
Kelompok mereka sama persis dengan kelompok kemarin. Artinya Kara, Freya, Anya dan Karin satu kelompok lagi.
Tenda didirikan beberapa meter dari tebing bukit. Kali ini panitia lebih melonggarkan peserta dan memfokuskan tour sebagai sarana refreshing.
Sore itu panitia menyiapkan sebuah area yang akan dijadikan tempat kumpul. Dibantu peserta pria, panitia mendirikan tiang-tiang lampu. Panitia lalu menginformasikan kalau nantinya akan ada beberapa instruktur seni—dari musik, tari dan puisi. Makanya tak heran Mave juga ada di situ. Tentu dia bergabung dalam jajaran instruktur musik.
---
Malam itu semua orang mengerubung area kumpul. Panitia dan semua instruktur berada di depan, dan menghadap peserta karantina. Kara sendiri masih di dalam tenda, dia kelupaan ponsel.
Begitu keluar, Kara mendapati seseorang di depan tenda. Mave!
“Kamu—” Kara sedikit sungkan.
“Mau gabung ke sana?” tunjuk Mave pada kerumunan.
“Iya,” jawab Kara.
“O,” balas Mave pendek. Cowok itu lantas berlalu ke arah belakang tenda.
Kara hanya melihatnya, hingga cowok itu menjauhkan pandang ke air pasang di bawah sana. Kara menoleh ke kerumunan sebentar, beberapa saat dia ragu, apakah harus bergabung dengan peserta atau mengikuti Mave.
Pada akhirnya dia memilih untuk bersisian dengan Mave.
“Gak jadi ke sana?” tanya Mave, dengan tatapan lurus ke depan.
“…,” Kara tidak bisa menjawab.
“Btw, selamat ulang tahun,” omong Mave kemudian.
Kara seketika menatap dagu Mave. Apakah dia baru ingat setelah beberapa hari aku ulang tahun? “Makasih.”
“Aku pengin ngucapin dari kemarin. Tapi takutnya ganggu. Katanya Erick sedang bikin kejutan ke kamu.”
Erick membocorkan kejutan yang dia bikin?
“Erick ngasih tahu gue soalnya.”
Kara menghela napas. Pantas malam itu dia telepon.
“Kamu senang dengan kejutan Erick?”
Kara membunyikan jari-jarinya sebelum menjawab, “Setiap cewek yang diberi kejutan, pasti akan bahagia.”
“Termasuk kamu?”
Pertanyaan balik Mave seperti sebuah interogasi. Bahagiakah aku malam itu? Kara sedikit tak yakin. Cewek itu kemudian mengubah topik obrolan. “Suasana di sini enak.”
Mave tak langsung merespons. Dia tahu Kara lari dari topik sebelumnya. Cowok itu memutuskan tak lanjut membahas soal kejutan Erick. Dia memilih meladeni omongan Kara yang terakhir. “Ya, Lombok punya sejuta hal yang bisa kamu puji setiap harinya.”
“Aku suka bunyi ombak itu,” tunjuk Kara pada ombak yang membentur tebing tempat mereka berdiri.
“Kalo kamu mau, aku bisa antarkan kamu pada ombak-ombak lain.”
Kara tak langsung menjawab.
“Gimana?” Mave meminta respons. “Besok, jam 5 pagi?”
Kara membuang napas.
Mave menggosok-gosokkan alas sepatu.
Dua menit berselang, Kara belum menyetujui. Kemudian—
“Ehm—” dehaman seseorang terdengar. Kara dan Mave kompak menoleh ke belakang. Di samping tenda ternyata berdiri Erick. Sejak kapan dia situ?
“Yang lain udah pada ngumpul,” ujar Erick tujuannya ke Kara.
“Aku kelupaan hape,” seru Kara, lalu beranjak dari situ.
Sementara itu Mave dan Erick tetap berada di tempat masing-masing. Rumput Bukit Merese seolah menahan alas sepatu keduanya. Erick masih di samping tenda. Sementara Mave masih di ujung tebing. Mereka saling hadang pandangan.
---
Semua peserta kini sudah lengkap di area kumpul. Mereka duduk bersila dengan posisi menghadap panitia. Sementara para instruktur duduk belakangnya.
Kelompok Kara duduk di ujung kiri. Dari tempatnya Kara bisa memantau posisi Mave.
Malam itu ada kelas singkat soal puisi, tari dan musik. Pelajaran langsung akan dimulai dengan praktek umum.
Begitu kelas musik dimulai Kara serius memperhatikan. Apalagi begitu Mave menjadi salah satu pemateri. Cowok itu mengajarkan bagaimana dengan mudah memainkan kunci-kunci gitar. Jika tahun-tahun kemarin Kara masih melihat Mave sebagai siswa, malam ini cowok itu berdiri sebagai pengajar.
Di sela-sela materi, beberapa kali Mave melirik posisi Kara. Cewek itu pun menyadarinya. Dan malam itu Mave menutup kelasnya dengan lagu dari Daughtry – It’s not Over.
Sebelum panita membubarkan kegiatan, peserta diberi tugas per kelompok untuk membuat pertunjukkan besok. Peserta bebas memilih perform puisi, musik atau tari. Waktu yang diberikan hanya sehari, dan besok malam harus pentas. Mereka nantinya akan dipantau satu instruktur.
Setelah balik ke tenda masing-masing, Kara cs membahas pertunjukan besok. Freya yang dominan akhirnya memilih perform tari.
“Gimana kalo tari tradisional Lombok?” aju Freya.
“Apa gak kuno tuh?” bisik Anya.
“Itu tantangannya,” sela Freya. “Bagaimana kita bisa ngilangin kesan kuno di tarinya.”
“Boleh tuh,” Karin setuju
“Trus nyari referensinya di mana?” Anya masih pesimis.
“Kan gampang, tinggal buka youtube, selesai!”
“Bener juga,” sahut Anya.
Sementara Kara tak banyak berkomentar. Dia setuju-setuju saja. Mereka kemudian sepakat latihan jam 8 pagi.
***
[2 Juni 2007]
Kara bangun lebih awal pagi ini.
Sekarang pukul 05.05. Cewek itu memantau kawan-kawanya, mereka masih lelap. Kara meraih ponsel. Mengecek apa pun di dalamnya. Tak ada panggilan masuk, tak ada pesan.
Cewek itu lantas teringat tawaran Mave semalam.
Tawaran Mave serius?
Kara penasaran. Kalo janjinya jam 5 berarti sekarang harusnya Mave udah di luar. Kara lalu bangkit. Dia keluar tenda.
Dan— Benar saja, dua meter di depan tenda, hadir Mave. Cowok itu mengisi dua tangannya di saku jaket.