Bucin

Ello Aris
Chapter #14

Catatan 14

[4 Juni 2007]

Lagi-lagi Mave berhasil mengajak Kara jalan, dan lagi-lagi Kara tak mampu menolaknya.

Sore itu mereka janjian di sekitar taman Sangkareang. Taman ini berada di jalan Pejanggik. Areanya hijau dengan beberapa kembang di sudut taman. Lokasinya hanya beberapa menit dari hotel. Suasana saat ini ramai pengunjung, dominan anak-anak dan pelajar.

Mave membeli dua cokelat. Dia memberikan satu pada Kara.

“Kamu udah minta izin ke Erick?” tanya Mave.

“Dia gak tahu kalo aku nemuin kamu,” jelas Kara. “Aku gak bilang ke dia.”

“O,” Mave mengetuk bibir dengan ujung jari. “Bagaimana kemarin di Bukit Merese?"

“Setelah kamu pulang malam itu?”

“Ya.”

“Istirahat. Besoknya kita diberi jam bebas, setelah itu balik.” Kara lalu ingat situasi setelah pentas ketika dia melihat Mave. “Malam itu kamu mau nemuin aku?”

“Setelah pentas itu?”

Kara mengangguk.

“Sebenarnya hanya pengin ngucapin selamat.” Mave mengigit cokelat.

“Kenapa gak nyamperin?”

“Ada Erick. Aku gak mau ganggu kalian,” Mave jeda. “Aku paham saat momen kek gitu, Erick pasti pengin dekat kamu. Ngobrol berdua aja, ngucapin selamat, muji-muji kamu.”

Kara diam sebentar.

Mereka kemudian memutuskan duduk di salah satu sudut taman. Mave lalu bercerita soal pekerjaannya akhir-akhir ini yang lumayan memperoleh pemasukan, termasuk kemarin saat menjadi instruktur.

“Alhamdulilah aku bisa kirim lumayan ke nyokap,” tutur Mave.

“Kamu gak capek?”

Mave menghela napas. “Gak ada kata capek, kalo hasilnya bisa kasi ortu.”

Kara tersenyum. Mave benar-benar kerja keras. “Hari ini kamu free kan di hotel?”

“Iya, tapi rencananya mo ngamen di mataram mall, ada pameran di halaman parkirnya.”

“Jam berapa?”

Tiba-tiba… drrrrrt… drrrt…. ponsel Mave bergetar. Cowok itu mengeluarkan ponsel. “Bokap nih,” kata Mave pada Kara, lalu sedikit menjauh ke belakang. Cowok itu terlibat pembicaraan panjang.

Kara menunggu.

Setelah tujuh menit Mave kembali, lalu sejajar lagi dengan Kara.

“Hubungan dengan bokapmu sepertinya makin baik.”

“Aku berharap begitu.” Mave menyimpan ponselnya. “Makin ke sini bokap lebih bisa nahan emosi. Tadi katanya bokap lagi ke Jakarta, nemuin mantan rekan kerjanya.”

“O.”

“O iya, dikit lagi aku mo ngamen. Mesti cepet-cepat balik nih,” omong Mave agak buru-buru. “Gimana, mau aku anter ke hotel?”

Kara berpikir sebentar. “Gomong deket gak dari sini?”

“Gak terlalu jauh sih.”

“Ya udah aku ikut kamu aja. Sekalian bantu ngamen.”

“Serius?

“Emang tampangku keliatan boong?”

“Baiklah,” Mave menggerakkan pundaknya ke atas. “Kita ke kosan aku sekarang. Ngambil gitar.”

Mereka menumpangi ojek ke daerah Gomong—tempat kosan Mave. Di kosan, Mave jadi bahan godaan kawan-kawannya karena berhasil membawa salah satu peserta karantina yang sering mereka lihat di ruang makan hotel. “Cie-cie dapat nie,” ledek salah satu kawan. Teman yang lainnya menimpali, “Kelamaan sendiri tuh.”

“Kalian apaan sih!” tepis Mave.

Kara dapat melihat wajah Mave yang memerah. Cewek itu lalu menyembunyikan tawa.

Setelah ambil gitar, mereka lantas putar haluan ke jalan Cilinaya.

Hari mulai gelap ketika mereka tiba di Mataram mall. Situasi tampak ramai. Sekitar sepuluh stand memenuhi halaman depan mal. Stand-stand tersebut menggelar barang-barang konveksi. Orang-orang lalu-lalang, memperhatikan barang-barang yang dipamerkan. Suara musik, spg dan pengunjung, riuh jadi satu. Sementara itu lampu-lampu di gedung sekitar benderang indah.

Mave mengajak Kara menepi di area ujung yang tak jauh dari lokasi pameran. Tempatnya cukup aman dari satpam mal.

Cowok itu langsung memulai aksi. Lagu pertama dinyanyikan. Dengan nafasmu aku hidup, karena tawamu aku bahagia.

Kara tak asing dengan lagu Samsons ini.

Dan biarkan aku mencintaimu karena dirimu yang berarti. Mave melantangkan suaranya sesuai petikan-petikan senar.

Beberapa orang perhatiannya teralih. Kara yang berada di samping Mave, ikut bernyanyi. Berangsur-angsur orang banyak berkerumun. Ketika kau ada di sampingku, hidupku pun terasa damai.

Di akhir lagu, hampir lima puluh orang jadi penonton.

Kara lumayan surprise ketika Mave menyanyikan stickwitu di lagu ke dua. Kebetulan Kara hafal lagu The Pussycat Dolls tersebut.

Cewek itu memperhatikan Mave beberapa kali sambil tepuk tangan.

And now, ain’t nothing else I can need. And now, I’m singing ‘cause you’re so, so into me.

Mave begitu menghayati lagunya. Bahkan untuk menyelesaikan part tersebut, cowok itu berputar dan meninggikan suara ke batas tenor. Dengan suara yang lebih rendah Kara mengikuti nyanyian Mave.

Orang-orang makin berkerumun.

Di lagu ketiga, Mave dan Kara berduet lagi, mereka menyanyikan hits Samsons – Kenangan Terindah.

Keduanya mampu harmonisasikan nada.

Setelah nyanyi usai, Mave membuka kantong plastik dan mengulurkan pada penonton. Satu per satu orang memberikan uang. Ada yang receh, dan beberapa lembar hijau. Kara dan Mave menghitung setelah semua kerumunan bubar.

“Lumayan 230 ribu,” Kara mengatur uang.

“Alhamdulillah banyak.”

Kara memberikan uang pada Mave.

“Kamu mo makan apa?” tanya Mave kemudian.

“Pake uang ini?”

“Hu u.”

“Jangan dong. Kamu udah capek-capek nyanyi masa mau dihamburin.”

“Kalo gitu minum deh.”

“Gak papa nih?”

“230 ribu gak bakal habis untuk dua minuman.” Setelah melihat Kara menunjukkan tampang tak menolak, Mave lanjut omong. “Ya udah tunggu di sini, aku beli minum dulu.”

Cowok itu menuju salah satu booth minuman. Jauhnya sepuluh meter dari lokasi ngamen. Jus dingin sepertinya enak di tenggorokan setelah mamaksa suara melebar puluhan menit.

Tujuh langkah mendekati booth, sepatu Mave mendadak berat. Dia menemukan dua orang yang dia kenal. Erick dan Freya. Keduanya memegang pet cup minuman. Sepertinya mereka baru saja dari booth yang hendak dituju Mave.

“Erick?” desis Mave.

“Lo—” omongan Erick seperti tertahan.

“Gue mo—” kalimat Mave terhenti, lantaran melihat ekspresi Erick yang berubah.

Tatapan Erick tajam, dan fokusnya jauh ke belakang. Entah apa yang dilihat. Tiba-tiba dari belakang terdengar suara, “Erick? Freya?”

Mave langsung balik badan, dan… benar di belakang Kara datang. Cewek itu tidak menunggu di lokasi awal.

Kara berganti-ganti menatap Mave dan Erick.

Tubuh Mave kembali ke posisi semula, pikirannya langsung tak keruan. Matanya beradu dengan Erick. Tiga detik.

“Kalian jalan— bareng?” tanya Erick to the point.

Mave mencari-cari jawaban yang tepat. Sementara Freya menatap wajah sepupunya yang sedikit tak senang.

Rupa muka Kara mulai pasi. Dengan kaku cewek itu buka suara, “Aku gak sengaja ketemu Mave.”

Sekali lagi Mave menoleh pada Kara. Dia tahu Kara berbohong. “Gue tadi ngamen, gak sengaja salah satu penontonnya Kara,” jelas Mave menambah kebohongan baru. “Selesai gue ngamen, kita ngobrol.”

Erick seperti menahan omongan.

“Gue mau beli minum buat gue— dan— Kara,” tunjuk Mave pada booth di belakang Erick.

“O iya, biar aku yang bayar.” Erick mundur ke booth. Dia membeli dua minuman lalu kembali. “Ini,” dia menyerahkan satu ke Mave.

Kara di belakang akhirnya berani menyejajarkan diri dengan Mave, cewek ini bahkan setengah kaku untuk memulai obrolan dengan Freya—yang harusnya mereka akrab. Erick kemudian memberikan pet cup satunya lagi pada Kara.

“O iya ini sepupu gue, Freya. Lo juga mungkin udah sering liat di ruang makan,” tutur Erick selanjutnya.

Mave menjabati tangan Freya dan berkenalan. Sepertinya Freya tak mengenalnya. Mereka tak pernah sekelas, apalagi orang populer Freya yang sepertinya mustahil mengenal seluruh siswa di sekolah.

“Ya karena kita udah ketemu di sini, gimana kalo kita nyari tempat makan,” Erick menyarankan.

Mave melirik Kara, cewek ini tadi menolak ajakan makan.

“Boleh,” sahut Kara spontan—dan itu membuat Mave mengerutkan dahi.

Mave yakin, spontanitas Kara adalah bentuk kepanikan.

“Di mana?” sambung Kara.

“Di dalam mal aja,” sebut Erick.

Mereka lantas mencari kedai makan di dalam mal. Selama di meja makan, Kara terlihat pasif. Sementara Mave beberapa kali kikuk menjelaskan. Yang banyak bicara hanyalah Erick. Sementra Freya hanya jadi pendengar setia.

---

Begitu sampai di hotel, rasa bersalah menyerang Kara. Cewek itu bahkan menarik lengan Freya agar cepat-cepat ke lantai lima, dan istirahat. Di kasur Kara setengah gelisah, mudah-mudahan Erick tak berpikir macam-macam.

Agar sedikit tenang, Kara menutup kuping dengan earphone, dan mendengarkan Samsons.

Sementara itu Mave dan Erick bertahan di taman samping hotel.

Berteman dingin mereka menempati bangku panjang. Kepala-kepala mereka kompak menerawang langit.

“Lo dikontrak berapa tahun oleh pihak hotel,” tanya Erick membuka percakapan.

“Setahun,” jawab Mave. “Tahun depan selesai.”

“Gak ada rencana balik ke Bandung atau Jakarta dalam waktu dekat?”

Mave menggeleng.

Kemudian hening kembali. Keduanya lalu sama-sama fokus ke sedan yang baru masuk parkiran.

“Lo tipe orang yang cepat dekat orang lain?” Erick melahirkan pertanyaan baru.

Mave menoleh. “Tergantung,” cowok itu mengambil napas. “Ngapain nanya kek gitu.”

“Lo cepat dekat dengan gue—” jeda Erick. “Begitu pun lo ke Kara.”

Mave merasa pertanyaan Erick berbumbu curiga. “Kita bertiga teman kan? Harusnya gak ada jarak antara lo, gue dan Kara.”

“Lo tau, Kara adalah cewek pertama yang bikin gue jatuh hati,” cerita Erick berikutnya. “Kita bertemu pertama kali di Stasiun Bandung, Januari lalu.”

Januari? Kening Mave nyaris bertemu. Bukankah itu adalah bulan yang sama ketika Kara nemuin aku di Bandung?

“Saat itu wajahnya kuyu, tubunya lusuh, seperti orang putus asa.”

Mave melebarkan bola mata. Cowok itu ingat bagaimana Kara menangis dalam pelukannya di Bandung.

“Gue sengaja tabrakan dengan dia di depan loket.”

“….”

“Bahkan untuk narik perhatian—di ruang tunggu pas dia tidur—gue nyanyi dengan suara gede, biar dia bangun dan ngelirik gue. Dan hal itu berhasil” Erick tersenyum. Tentu cowok itu tak menceritakan soal insiden ciuman di luar prediksi itu. “Malah yang paling gila, jam empat pagi setelah gak sengaja gue liat tiket di tangannya. Aku minta tiket baru ke petugas loket agar dapat kursi yang bersebelahan dengan Kara.”

Jujur Mave tak senang mendengar curhatan sohibnya ini.

“Yang paling bikin bahagia, sepanjang perjalanan dia tidur di pundak gue,” tutur Erick. “Setelah turun dari kereta, gue berdoa semoga bisa ketemu Kara lagi, dan akhirnya doa gue dikabulin. Kita satu sekolah.”

Mave menggosok-gosok tangan. Jujur baginya takdir Kara bertemu Erick terlalu cepat, bahkan hanya berlangsung beberapa jam setelah dia dan Kara mengakhiri hubungan yang tak pernah dimulai.

Perlahan rasa menyesal menyerang Mave. Dulu dialah orang yang paling dibutuhkan Kara. Tapi sekarang?

“Menurut lo Kara gimana?”

Butuh dua kali menelan ludah sebelum Mave menjawab. “Gue rasa penilaian gue akan sama kayak lo. Hal-hal umum. Cantik, baik, enak diajak obrol.”

“Gue sayang banget ke dia.”

“….”

“Gue berharap, Kara akan selalu di samping gue. Selamanya.”

Mave menarik napas.

“Maaf, gue sedikit curhat,” Erick seperti tersadar sudah banyak cerita.

“Gak apa-apa,” sahut Mave.

Erick mengubah posisi duduk. “Besok giliran lo di hotel kan?”

Mave mengangguk.

“Kebetulan nih, gue butuh bantuan lo.”

“Bantuan apa?”

“Kemarin di Senggigi, Kara senang banget dengan kejutan dari gue. Makanya gue pengin bikin hal yang sama besok.”

“Besok?”

“Ya. Nyanyi di depan dia, di depan anak-anak. Semacam konser mini. Saat makan malam.”

***

Lihat selengkapnya