[18 Juni 2007]
Pada akhirnya, Kara wajib rela menerima kalau Erick benar-benar mencuekinya selama mereka kembali ke Jakarta.
Parahnya dua hari setelahnya Erick minta pindah kelas. Pihak sekolah langsung mengabulkan apalagi Erick membawa ‘peringkat pertama’ dari Mataram.
Pindahnya Erick tentu menghebohkan satu sekolah. Umur pacaran Erick – Kara hanya bertahan sebulan lebih. Padahal ketika mampu menaklukan Erick, seluruh cewek SMA Pelita Jaya dibuat tak percaya.
Jessy jadi tukang interogasi kemudian. “Beneran ini apa yang gue denger soal Erick?” tanya Jessy di kelas.
Kara cuma diam menatap sahabatnya.
“Dan ini karena Mave?” Jessy masih lanjut usut.
“Karena salah gue juga,” Kara lalu ingat genggaman tangan Mave di balkon hotel.
Jessy mondar-mandir di depan Kara yang tengah duduk. “Trus perasaan lo ke Mave apa sekarang?”
“Gue gak tak tahu.”
“Itu bukan jawaban!”
“Kalo ke Erick?”
Ada celah diam sekian detik, sebelum Kara bicara, “Gue ngerasa bersalah banget ke Erick. Gue udah nyian-nyiain kepercayaan dia.”
“Lo udah minta maaf?”
“Dia gak maafin gue.”
Jessy ikut duduk di kursi samping Kara, dia gamam berkomentar lagi.
Saat pulang mereka semobil. Kara yang duduk sendirian di jok belakang seperti mengunci diri. Lero dan Jessy yang berada di belakang dasbor hanya saling pandang. Lero lalu menyetel lagu Samsons, demi menghibur Kara.
Lero memutar setir. “Nyantai Kar, stok cowok di Jakarta masih banyak,” petuah cowok itu.
Kara menyandarkan kepala, lalu menatap jendela. “Bisa besarin volumenya,” maksud Kara pada lagu Samsons. “Gue pengin ngilangin mumet.”
***
2 Bulan kemudian [20 Agustus 2007]
Beberapa minggu ini, kesehatan Bunda semakin membaik. Ayah dan Kara selalu bolak-balik mengontrol kondisi Bunda di rumah sakit. Bunda juga mengikuti beberapa terapi. Terkadang di lain waktu, Jessy dan Lero juga ikut menemani. Dan sejak beberapa hari lalu Bunda sudah mampu berdiri dengan alat bantu jalan, meski durasinya tak lama.
Kata dokter, Bunda perlu banyak latihan jalan.
Sementara itu, di sekolah sejak awal bulan Agustus, seluruh kelas 3 disibukkan dengan pemantapan jelang ujian nasional beberapa bulan lagi. Siswa kelas 3 diwajibkan mengikuti kelas tambahan selama satu jam, setelah kelas normal bubar. Mereka mempelajari mata ujian utama.
Kara sendiri berusaha melupakan Erick, meski dalam beberapa kesempatan mereka berpapasan; di lapanan, di kantin, di perpustakaan. Kalau sudah demikian Kara hanya bisa menatap Erick yang cuek—seolah tak penah mengenalnya.
Cewek itu juga mendengar gosip yang beredar soal cewek-cewek yang mendekati Erick. Namun Kara tak ingin mencerita tahu lebih. Dengan wajah setampan itu, cewek manapun tak akan berani menolaknya.
Hari ini seperti biasa Kara menunggu taksi dekat halte sekolah, setelah Lero dan Jessy memutuskan pulang duluan.
Cewek itu menyeka keringat di leher. Cuaca lumayan panas.
Beberapa kali dia menjulurkan leher, menyortir taksi yang mungkin lewat.
“Hai,” sapa seseorang yang kemudian duduk dekat Kara.
Kara menoleh. Ternyata itu Freya. Kara sedikit sungkan, sebab setelah hubungannya dengan Erick tak bertuju, keakrabannya dengan Freya pun merenggang. “Frey,” balas Kara seadanya.
“Nunggu jemputan?”
“Enggak, taksi.”
“Lo sendiri?”
“Iya nih, gak ada yang jemput. Erick udah balik lagi,” ujar Freya.
Mimik muka Kara berganti setelah nama Erick melayang di udara.
“Sorry,” maaf Freya seolah paham situasi.
“Gak papa.” Kara kemudian meremas ujung bangku sembari memandang lalu-lalang kendaraan di hadapan. “Kabarnya gimana?” entahlah kenapa harus pertanyaan ini muncul.
“Baik. Betah di kelas barunya.”
Kara sekali lagi meremas ujung bangku.
“Saat ini, Erick lagi sibuk latihan panjat. Dia berencana ikut turnamen nasional.”
“O,” ucap Kara pendek. Jujur Kara tak ingin menggali banyak informasi soal Erick pada sepupunya ini.
Sementara itu tampaknya Freya juga mengerti apa yang dipikirkan Kara.
Tak berapa lama taksi muncul, Kara pamit pada Freya dan langsung naik. Sebab nanti sore dia, Ayah dan Lero akan ke rumah sakit mengantar Bunda check up rutin.
***
Hampir jam empat sore.
Kara mengecek jam di ponselnya berkali-kali. Dia memandang Ayah yang sedang memegang dorongan kursi roda Bunda dekat mobil yang parkir di halaman.
Sudah jam segini, Lero belum juga tiba. Kara beringsut dari teras, lalu mendekati Ayah dan Bunda.
“Coba di-telfon,” saran Ayah saat melihat wajah Kara cemberut.
“Gak biasanya dia ngaret.” Kara lalu mencari nomor Lero dan menelepon. Sambungan masuk terdengar. Tapi tidak diangkat. Kara coba lagi, tetap gak dijawab. “Mungkin dia lupa, Yah.” Napas Kara keluar dari mulut. “Kita pergi aja.”
Ayah membuka pintu jok belakang. Dibantu Kara, beliau memapah Bunda masuk mobil. Kara menemani Bunda di jok belakang. Ayah mengendalikan kemudi.
Mereka menuju arah timur. Rencananya Bunda akan melakukan pemeriksaan saraf, dan pengecekan tulang kaki.
Ayah memutar setir, beliau menatap Kara dari spion di atas basbor. “Kok Erick gak pernah main ke rumah?”
Kepala Kara terangkat.
“Iya nih, Bunda kangen.”
Apa yang harus dijawab Kara. Berganti-ganti dia menatap Bunda dan jok sandaran Ayah. Ragu-ragu Kara bicara, “Erick lagi sibuk jelang turnamen.”
“Turnamen? Panjat dinding?” tanya Bunda.
“Iya,” sahut Kara. Bunda memang tahu aktifitas Erick yang satu ini.
“Salam ke dia ya,” Ayah di depan menimpali. “Bilang ke dia; kenapa gak main-main lagi ke rumah.”
Kara cuma diam. Baru tadi siang, Freya membuatnya hilang kata-kata, sekarang Ayah dan Bunda kompak melakukan hal serupa. Kara sangat yakin, dia tak pernah bisa menyampaikan salam pada Erick.
Semoga hari ini, pertanyaan soal Erick adalah yang terakhir.
---
Beberapa menit sebelumnya.
Pengunjung kafe silih berganti masuk. Dan suara sekitar sedikit bising.
Lero menyembunyikan ponsel di bawah meja. Nama Kara tertera di layar. Cowok itu ragu mengangkat, sebab tak enak dengan orang yang duduk berhadapan dengannya.
Sekali lagi ponselnya berdering.
Lero menatap orang yang semeja dengannya ini.
“Dari siapa?” tanya orang tersebut. “Diangkat aja.”
Lero sungkan menjawab. “Kara.”
Napas cowok itu mendesah. “Lo gak perlu gak enakan gitu ke gue.”
“Bukan gitu Mave,” Lero hendak memberi penjelasan. “Gue hanya—” Dia agak sulit menjelaskan.
“Hubungannya dengan Erick gimana?”
Lero meraih gelas jus di meja, dan meneguk. Cowok itu menyeka bibirnya sebelum menjawab. “Mereka baik-baik saja,” bohong Lero. Dia sengaja melakukannya, agar Mave tak makin merasa bersalah. Menjadi orang ketiga dalam hubungan orang saja, sudah memburukkan citranya, apalagi jika Mave tahu, hubungan Kara dan Erick sudah berakhir.
Lero mengintai Mave, semoga sohibnya ini tidak bertanya lagi. Sebab dia bakal bingung menyiapkan kebohongan lain.
Memang hampir dua bulan ini Mave kembali ke Jakarta. Ayahnya membangun bisnis baru di bidang kuliner setelah mendapatkan suntikan dana dari beberapa rekan kerjanya dulu. Ada empat restoran yang dibuka di Jakarta. Mave sendiri menjadi menajer di salah satu restoran. Kadang dia turun jadi vokalis untuk menghibur tamu restoran. Tadinya mereka janjian di restoran Mave, namun Mave sendiri meminta pindah mencari kafe.
Untuk pendidikan saat ini Mave mengambil home schooling. Konsekuensinya dia akan menunda kelulusan tahun depan.
“Sampe kapan lo harus sembunyi dari Kara?” tanya Lero biar bisa mengendalikan percakapan.
“Gue gak tahu,” tutur Mave. “Gue—” hentinya sesaat. Indisen pemukulan di balkon hotel dua bulan lalu berkelebat di ingatan.