Bucin

Ello Aris
Chapter #16

Catatan 16

[Pukul 05.18 pagi]

Mata Freya masih ingin tertutup. Dia hanya tidur beberapa jam, tapi subuh ini dia tetap harus bangun. Dia mesti menengok Erick di pondok. Freya membawa kaus unisex.

Ternyata Erick masih tidur.

Mang Asep sudah bangun, beliau sedang mencuci mobil di halaman.

Freya balik lagi ke rumah, dia lalu meminta ayah untuk izin ke sekolah, agar dia tak masuk hari ini. Ayah mengabulkan. Dengan begitu dia bisa mengawasi Erick.

Pukul 6 Freya kembali ke pondok setelah Mang Asep mengantar Ayah ke kantor. Begitu Freya membuka pintu, Erick terbangun. Cowok itu memegang kepala, bola matanya kedip-kedip pening. Erick langsung menoleh ke samping, dan menemukan Freya.

“Gue di mana Frey?”

“Di kamar Mang Asep.”

Cowok itu kaget dan langsung terlonjak duduk. “Gue di rumah lo?” seingat Erick semalam dia bersama Ghaniya di kelab.

“Gak usah bingung kenapa lo di sini,” Freya duduk di tepi ranjang. “Semalam lo mabuk berat. Lo terlatar di jalan, dan ada orang yang hubungin gue.” Freya menceritakan detail kejadian semalam.

Erick menundukkan kepala. Ada jeda diam. Lama.

Thanks,” ujar Erick kemudian.

“Gue miris liat lo belakangan ini,” Freya menarik napas. Bunyi jarum jam di dinding terdengar. “Lo keliatan lemah…, rapuh.”

Erick melihat bajunya yang masih ada sisa muntahan.

“Berusaha melupakan seseorang dengan mencari yang lain, bukan sesuatu yang baik. Cinta nggak begitu.”

Erick hanya diam.

“Sekarang lo mandi, pake baju itu,” tunjuk Freya ke baju yang dia bawa tadi. “Setelah Mang Asep balik, gue anter lo. Kalo Om Tante nanya kenapa semalam lo gak pulang, biar itu urusan gue.”

***

[26 Agustus 2007]

Beberapa hari ini Lero sering menghilang begitu saja. Sebagai pacar, Jessy kadang tak bisa menerima alasan Lero yang aneh-aneh—katanya; nganter nyokap-lah, ambil bajulah, atau mau bawa barang ke rumah sodara-lah. Paling parah, dia membatalkan jalan bareng, termasuk membatalkan janji ikut mengantar Bunda (ibu Kara), ke rumah sakit.

“Gak tau nih, Lero sering banget ngilang,” sungut Jessy. “Dan alasannya aneh-aneh.”

“Lo gak nanya kenapa gitu?” usul Kara.

“Pernah sekali dua kali. Tapi jawaban dia bikin gak puas,” cerita Jessy. “Makanya bosan juga nanya.”

Dan bertolak obrolan tersebut, minggu ini Jessy dan Kara sepakat menyambangi Lero.

Mereka ke rumah cowok itu. Rumah Lero berada di salah satu kawasan elit Jakarta. Rumah di sekitar identik dengan pilar-pilar tinggi, bangunan gede, dan halaman super luas. Pagar-pagar-pagarnya pun menjulang.

Kara dan Jessy tiba di rumah Lero pukul 10 kurang.

Keduanya kompak memperhatikan pagar rumah Lero yang tinggi, hampir 2 meter. Namun mata Kara teralih kemudian, ke rumah serupa di sebelah. Rumah Mave—yang entah siapa kini pemiliknya. “Udah lama gue gak ke sini,” komentar Kara. “Terakhir pas balik dari Bandung.”

Jessy maju hendak memencet bel. Cewek itu menunduk, dan sedikit mengintip halaman depan. Mendadak Jessy terkesiap! Jauh di dalam sana—di taman samping, dia melihat dua orang yang sedang mengobrol asyik.

Jessy batal tekan bel.

Dua orang yang dilihatnya adalah, Lero dan… Mave. Iya, Mave!

Jessy balik badan, cewek itu menatap Kara dengan bola mata berayun. Dengan sedikit kaku cewek itu merogoh ponsel, dan pura-pura membuka sms. “Ada pesan masuk dari Lero,” bohongnya sembari mengotak-atik tuts hape. “Katanya dia lagi gak di rumah. Pergi bareng nyokapnya.”

Kara mengernyit dahi.

Sebelum Kara maju mendekatinya, buru-buru Jessy menjauh dari pagar dan membawa mundur Kara. Dia tak mau sohibnya ini kaget melihat Mave di dalam.

“Lo tadi sms dia?” tanya Kara penasaran.

“Iya di taksi.”

Kara angguk-angguk—yang sebenarnya kurang percaya.

“Ini sms-nya baru masuk,” bohong Jessy lagi.

“Jadi?”

“Ya kita pulang aja.” Jessy lalu menarik Kara menjauh. “Kita jalan ke depan, taksi gak lewat sini.”

Kara seperti menurut saja.

Keduanya lalu jalan kaki ke arah barat, jalan utama yang dilintasi taksi yang mereka tumpangi tadi.

---

Setelah memastikan Kara balik, Jessy langsung putar haluan balik lagi ke rumah Lero. Sesampainya di sana Mave sudah tidak ada.

Jessy mencecar Lero, “Dan Mave udah lama di sini?”

“Itulah kenapa gue sering ngilang tiba-tiba atau batalin janji,” jelas Lero.

“Dan lo bisa-bisanya nyembunyiin ini dari gue?”

“Mave yang minta.”

Jessy geleng-geleng.

Lero melanjutkan kembali. “Dia belum siap ketemu Kara. Dia gak ingin Kara terluka lagi.”

Mendengar itu, Jessy merasa langkahnya benar ketika tadi menghalangi Kara—setidaknya tak ada luka yang terjadi lebih awal. Apa jadinya mereka bertemu.

“Dan dia tinggal di sebelah?”

“Mave bareng keluarganya sudah membeli rumah baru,” jabar Lero, lalu menunjuk, “rumah itu udah milik orang lain.”

Jessy melihat dinding lantai 2-nya.

“Gue mohon, lo rahasiain keberadaan Mave dari Kara,” pesan Lero kemudian.

***

[27 Agustus 2007]

Bel istirahat terdengar. Kara, Jessy dan Lero janjian makan di kantin.

Kara masih memesan bakso, sementara Jessy dan Lero sudah siap makan di meja paling pojok. Setelah baksonya siap, Kara bergabung dengan dua sohibnya.

“E kemarin lo ke mana? Gue ma Jessy ke rumah lo,” tanya Kara pada Lero.

Lero melirik Jessy. “Gu—e… jalan. Kan weekend!” bohong Lero ragu.

“Akhir-akhir ini lo sering ngilang sendirian deh.”

“Ya gue kan punya urusan pribadi.”

Kara manggut-manggut, setiap orang punya urusan pribadi, dan terkadang tidak harus diketahui orang lain. “Eh btw, kita dah lama gak makan bareng kek gini. Terakhir kapan ya?”

“Lupa,” sebut Lero.

“Kayaknya udah lama banget,” imbuh Jessy.

“Pas kita rame-rame gini, trus ada Mave juga.”

Seketika Jessy dan Lero saling menoleh.

“Mave di Bali gimana kabarnya ya?” Kara monolog, lalu fokus ke kedua temannya. “Kalian kangen gak ke Mave?”

Baik Jessy maupun Lero, tak ada yang menanggapi.

 “Entahlah dari kemarin gue tiba-tiba keingat Mave.”

Uhuk! Lero tersedak. Buru-buru cowok itu menyeka kuah yang muncrat dari mulut.

“Apalagi pas kemarin liat rumah Mave,” cerita Kara.

Lero belum mau berkomentar. Namun cowok itu sempat berpikir, apakah ini semacam sinyal kalau sebenarnya Kara merasakan keberadaan Mave di Jakarta?

“Dia udah punya kehidupan sendiri kan di Bali?” komen Jessy, dia fokus pada Kara. “Dari cerita lo di Lombok, pasti Mave milih pindah karena ingin menghindar.”

“Barangkali begitu.”

Bunyi bel masuk terdengar.

“Udah bel tuh, cepet habisin makanannya,” pinta Lero.

---

Kehebohan terdengar di selasar sekolah ketika jam rihat kedua. Satu sekolah membicarakan Erick. Cowok itu mengajukan pindah.

Entah siapa yang hembuskan ini duluan, yang pasti kegaduhan terjadi di antara siswi-siswi.

“Kenapa dia pindah ya?” tanya salah satu siswi dalam kerumunan gosip.

“Bukannya sekarang dia deket dengan Liza?” imbuh siswi lain.

“Tapi kan Liza cuman jadi ban serep doang?” celetuk cewek bermabut keriting. “Kemarin aku liat dia bareng Nadia.”

“Sekarang Erick benar-benar berubah,” cewek yang pertama bicara lagi.

“Atau jangan-jangan ini karena Kara?” siswi lain menyimpulkan.

Dan kabar pengajuan pindah sampai juga di kuping Kara. Cewek yang masih berada di selasar kelasnya itu, tak memalingkan pandang dari kelas Erick.

Mendadak ada sapuan di pundak Kara. Cewek itu menoleh, ternyata Lero.

“Mandangin apa?” tanya Lero, lalu ikut mengarah tatap ke kelas Erick. “Ooo, kepikiran soal gosip terbaru dia?”

Kara hanya diam.

Sementara sekumpulan cewek di ujung selasar menatap Kara.

“Yang gue denger juga gitu, katanya tadi dia ajuin pindah tadi pagi setelah dipanggil kepala sekolah. Soalnya Sabtu kemarin dia bolos,” lanjut Lero

Kara memandang Lero, sepertinya sohibnya ini tahu banyak.

Lero lantas mejelaskan, “Kepala sekolah kecewa atas tindakannya. Erick gak terima dinasehatin, makanya dia marah-marah ke kepsek, dan sempat adu mulut. Ujung-ujungnya Erick minta pindah.”

Seketika ada rasa iba menghampiri Kara.

“Gue ke perpus dulu,” pamit Kara.

Sepanjang ke perpus, Kara menghindari selasar, sebab namanya pasti akan disangkutpautkan dengan pengajuan pindah Erick.

Di perpus, Kara langsung menyusuri rak-rak buku. Jujur dia awalnya memang tak bertujuan ke sini, setelah Lero omong panjang lebar soal Erick, cewek itu merasa butuh melindungi diri dari berita-berita soal mantannya.

Kara meraih salah satu buku, sehingga membuat bolong di tengah rak, dan…. Muncul seraut wajah Erick di bolongan rak.

Cewek itu kaget. Kenapa Erick selalu muncul di bolongan rak.

Satu menit mereka saling berpandangan.

Dan tiba-tiba sosok Erick hilang.

Kara terkesiap. Ternyata sosok Erick hanya halusinasi. Erick tak benar-benar nyata. Kara menghela napas dan bersandar di salah satu rak.

----

Setelah bel pulang berbunyi, Freya langsung ke kelas Erick. Cewek itu harus minta penjelasan yang terjadi di ruang kepala sekolah.

Namun ternyata cowok itu sudah keluar lebih dahulu.

Freya berkacak pinggang. Dari depan kelas Erick, cewek itu mengitari segala penjuru, dan akhirnya menemukan Erick yang berjalan cepat ke gerbang sekolah.

Sebelum Erick hilang, Freya mengejar.

Erick sudah lolos dari gerbang sekolah. Freya mempercepat langkah, dia tak boleh kehilangan Erick yang sepertinya sadar sedang dibuntuti.

Cowok itu menyusuri trotoar yang bersebelahan dengan pagar sekolah. Freya yang sudah berada di luar gerbang, lalu bertertiak. “Rick!!!” cewek itu setengah lari.

Erick setop sebentar, dan balik badan. “Kenapa?” balasnya sedikit kasar. “Gak ada tumpangan hari ini,” sebut Erick. Dia pikir Freya akan numpang nebeng.

Langkah Freya makin dekat ke posisi Erick. “Emang motor lo kenapa?”

“Ditarik bokap!”

“Kok bisa?”

“Bokap tau gue mabok, bokap lo yang cerita,” beber Erick. “Bokap lo liat cctv dan introgasi Mang Asep. “

Erick menggegaskan langkah lagi.

“Tunggu,” tahan Freya. Dia mengikuti irama langkah Erick. “Kenapa lo seolah menghindar.”

“Karena gue tau, lo bakal nanya insiden di ruangan kepsek,” Erick bisa menebak. “Satu sekolah udah ngomongin gue.”

Kini langkah Freya udah sejajar dengan sepupunya.

“Dan jangan ikut hakimin gue.”

“Ya gue paham. Tapi dengan ngebentak kepsek, itu bukan hal baik gue rasa.”

Erick menghentikan langkah. “Jadi lo mau apa?” wajah Erick sedikit berang. “Lo tau kan yang bikin gue kayak gini, siapa?” Erick meninggikan suara.

Freya bergidik kaget. Sepupunya ini membentaknya. “Lo berubah,” Freya geleng-geleng.

“Sana pergi, gue mo sendiri.”

Freya tetap di situ.

Napas Erick fluktuasi. Dia menatap tajam sepupunya, lalu menggenjot langkah cepat. Menyusuri sisa trotoar, sebelum menyebrang.

Freya memutuskan tak mengejar. Cewek itu hanya melihat sepupunya menjauh di sana. Freya yakin Erick tak pulang ke rumah hari ini—atau setidaknya dia akan pulang telat. Jujur Freya khawatir, terakhir ketika Erick tak pulang rumah, cowok itu terlantar di jalan dengan kondisi teler.

---

“Gue lihat Erick banyak berubah,” celetuk Jessy. Dia bareng Lero dan Kara sedang dalam perjalanan pulang. Mobil Lero kembali jadi tumpangan.

Kara yang berada di jok belakang hanya memandang Jessy lewat spion di atas dasbor.

Lihat selengkapnya