[07 September 2007]
“Diharapkan semua siswa fokus menghadapi ujian,” umum kepala sekolah dalam apel pagi ini.
Sudah hampir 15 menit beliau memberikan arahan di lapangan. Kepala sekolah menegaskan hasil ujian menentukan kelulusan. Artinya jika nilai ujian tak memenuhi standar, harus mengulang tahun depan.
Sebagian siswa langsung waswas.
Sebagian yang lain takut membayangkan kalau mereka gagal. Kara membidik Jessy yang berada tiga deret di belakangnya. Sahabatnya itu tampak biasa aja.
“Sekarang semuanya bisa kembali ke kelas,” kepsek membubarkan apel.
Kara yang hendak menghampiri Jessy, kemudian tertahan. Entah dari mana tiba-tiba Freya muncul. Sepupu Erick itu sama kaget juga.
Kara menyapa sungkan, “Frey.”
“Hai,” balas Freya. “Lama gak ngobrol.”
“Iya nih,” jawabnya masih sungkan.
“Mau ke kelas?”
Kara belum mau menjawab. Semoga aja nggak ada bahasan soal Erick, doanya dalam hati. “Iyah.”
“Rencana kuliah di mana nanti?” tanya Freya.
“Belum juga lulus, Frey.”
“Sapa tau ada gambaran.”
“Nanti liat deh,” jawab Kara. “Ya udah gue ke kelas dulu.” Kara sengaja mengakhiri obrolan agar pembicaraan tak ke mana-mana.
---
Freya masih tak beranjak dari tempatnya ketika Kara sudah hilang di pintu kelasnya. Sampai detik ini, dia masih bingung kenapa Erick bisa secinta itu pada Kara.
Tiba-tiba sms masuk di layar ponsel Freya.
Dari Erick.
Selesai membaca, pesan kedua muncul. Gue tunggu di halte deket rumah.
---
Pulang sekolah, Freya langsung ke ATM. Cewek itu melakukan penarikan. Empat juta rupiah. Dari ATM dia menupangi ojek, menuju sebuah halte.
Janjian ketemu Erick.
Dari kejauhan, sosok Erick sudah tampak. Cowok itu mengenakan seragam, dan menyandarkan punggung kirinya ke tiang halte. Terdapat empat orang lain, duduk-duduk di sekitar.
Freya membeliak ketika ojek berhenti tepat depan halte. Cewek itu tak percaya dengan apa yang dilihatnya dari Erick. Lengan sepupunya ini penuh dengan garis-garis hitam. Freya gegas turun dan duduk di samping sepupunya.
“Sorry udah nyusahin,” ujar Erick.
“Lo nato sekarang?” Freya tidak bisa menyembunyikan kekagetannya.
“Iyah!” jawab Erick setengah kesal. “Gak usah kayak bokap gue deh. Nanya-nanya gak jelas!”
Freya geleng-geleng. Dia lekat mengamati tato-tato itu. Gambarnya rumit dan berkelok-kelok.
“Mana uangnya?” tagih Erick.
Freya membuka tas. Begitu memberikan uang, sebuah tulisan di lengan nadi Erick tampak. Tulisan itu bentukan dari empat huruf; kara.
Freya seketika menghunjam bola mata Erick. Sepupunya sampai harus mengabadikan nama Kara di lengannya? Secinta itukah Erick pada Kara? Perlahan Freya merasa kasihan, Kara jadi efek yang tak baik bagi sepupunya.
“Nanti gue ganti uangnya,” janji Erick, lalu bangkit.
Cowok itu bersiap-siap menaiki bus yang kebetulan berhenti. Dengan sigap Erick loncat ke pintu bus. Dia kemudian menoleh. “Sabtu ini gue tanding panjat, kalo mau lo bisa dateng,” ucapnya lalu berdesakkan di dalam.
***
[08 September 2007]
Besoknya!
Tentu tulisan di lengan Erick membuat Freya ingin sekali bertemu Kara. Namun sepertinya cewek tak punya nyali menyambangi kelas Kara. Setiap mau ke sana, seperti ada bagian dalam dirinya yang enggan. Apalagi, sepintas Kara sudah tampak baik-baik saja tanpa Erick.
---
Pukul 12.49
Pulang sekolah Kara, Jessy dan Lero semobil lagi. Mereka akan ke rumah Kara duluan. Terdengar lagu Samsons dari sound mobil. Jessy yang akhir-akhir ini hapal lagu Samsons (karena tertular Kara), ikut nyanyi.
Lero menurunkan volume lagu. “Eh gue lupa, kemarin Mave ngajakin nonton weekend ini,” bocor Lero.
“Di mana?” refleks Jessy.
“21. Pada mau gak?”
“Boleh,” Jessy setuju.
“Gimana Kar?” aju Lero.
“Gue sih ayuk aja,” sambut Kara.
“Oke sip, nanti gue kabarin Mave,” Lero memutar setir, lalu membesarkan kembali sound.
***
Weekend tiba!
Sudah 30 menit Kara, Mave, Jessy dan Lero dalam perjalanan ke mal. Mereka menumpangi mobil Mave. Mereka sengaja pergi lebih awal, agar bisa jalan-jalan bentar, atau makan-makan sebelum nonton.
“Emang film apaan Mave?” tanya Jessy yang duduk di jok belakang samping Lero.
“Mau yang romance atau action?”
“Romantis aja.”
“Cintapuccino?” tawar Mave.
“Film yang dari novelnya Icha Rahmanti kan?” Kara menebak. “Aku sempat baca novelnya.”
“Ya udah nonton itu aja,” timpal Lero, dan semuanya setuju.
Mereka tiba di mal sebelas menit berikutnya. Halaman kiri mal, sore itu lumayan ramai. Banyak orang berkerumun. Sepertinya ada acara, suara MC terdengar. Kara, Mave, Jessy dan Lero tak hirau, mereka menapaki anak tangga ke pintu utama mal.
“Dan masuk kitake babak final kategori speed, yang mempertandingkan dua atlet yang memenangkan laga semifinal tadi,” suara MC samar. “Arwin Bermuda di jalur kiri, dan jalur kanan Maverick Adianto Guntur!”
Langkah Kara tertahan. Meski samar dia familier dengan nama itu.
“Lo kenapa?” tanya Jessy. Mereka sudah pintu masuk.