Bucin Tolol

Nabila Rindra
Chapter #1

Nathaniel Winata: Break Out

Dari makanan kita bertemu, dan di depan makanan lah kita berpisah.

[Nathaniel Winata—Si Bucin Tolol+Womanizer]


Business Central Singapore, Singapore, 06.30


"Maaf, aku tidak bisa menemanimu malam ini. Ada meeting di Hongkong, aku harus segera berangkat."


Aku mengangguk pada pria yang membukakan pintu mobil dan masuk. Mobil segera melaju menuju Changi Airport begitu pintu menutup, sementara satu tanganku yang bebas membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sebotol champagne.


"Tapi kamu sudah janji, Nate. Real men don't break promises." Gadis di seberang telepon itu merajuk.


"Aku tidak ingat pernah berjanji padamu. Kamu sendiri yang memutuskan kencan secara sepihak, padahal aku sudah bilang kalau aku punya pacar." Sambil menuang champagne, aku melanjutkan, "Lebih baik kamu cari laki-laki lain yang bisa menyayangi kamu. Karena aku jelas tidak bisa."


"Kamu jahat, Nathan!"


"Beginilah sifat asliku. Kamu yakin masih mau denganku yang begini?"


Tanpa menunggu responnya, aku memutus sambungan lalu melempar ponsel hingga mendarat di jok sebelah. Setelah itu, aku lantas meraih iPad dan membuka fitur video-call.


"Ni hao, Qin'ai de .. Gue lagi dalam perjalanan menuju Hongkong. Lo punya waktu malam ini?"


"Berapa lama?"


"Dua hari. Meeting di Tsim Sha Tsui, terus dinner. Kalau lo mau."


Gadis di seberang telepon itu mendengus. "Daripada kencan ke restoran mewah, lebih baik lo ke Lan Kwai Fong. Nanti gue masakin makanan paling enak."


"Gue udah reservasi!" Aku memprotes. Apa-apaan sih dia? "Masa iya dibatalin? Mau ditaruh dimana muka gue?"


"Kan hotelnya punya bapak lo. Lagian lo gak bakalan nemu menu jalanan kalau makan di sana. Sementara di sini gue bakalan masakin apapun yang lo minta."


Kuembuskan napas untuk menenangkan diri.


"Bakwan boleh?"


"Tujuan lo Hongkong, bukan Indonesia. Kalo lo mau bakwan, minta Annette bikinin."


ARGH!


"Kan lo pacar gue. Kenapa gue malah harus minta tolong Annette?"


"Dia lebih pintar masak bakwan. Gue sibuk, gak punya waktu buat bikin itu." Gadis itu mendongak sejenak dan bicara dalam bahasa Mandarin. Terdengar suara ketukan keyboard dan suara uang receh membentur dasar mesin kasir, disusul suara laci ditutup. "Sebenernya, semua makanan itu enak. Kecuali masakan Jepang."


"Sushi enak lho, Lex," balasku jengkel.


Di layar, Alexandrina—gadis itu— mendengus. "Apa yang enak dari sebuah sushi? Ikan mentah gitu. Euh."


"Alah, lo gak ngerti seni emang."


"Sushi lo bilang seni?" cibir Alex. "Kalau lukisan Komedi Michelino Dante Ilahi baru seni. Cukup paham lah gue soal lukisan."


"Oh ya?" Aku bertanya dengan nada mengejek. Sialan, aku bahkan tidak tahu seperti apa lukisan Komedi Michelino Dante Ilahi, padahal aku berkali-kali menghadiri misa pada hari besar di Vatikan sepanjang tahun! Semoga Annette tahu tentang itu.


"Heum." Alex menggumam. "Oh iya, gue lupa. Bulan depan gue gak di Hongkong lagi."


"Kemana?"


"Florence. Gue dapat kesempatan belajar disana."


Sesaat, otakku blank. Florence? Yang di Italia itu?


"Florence? Kesempatan belajar? Maksudnya, lo dapat beasiswa?"


"Yup."


"Wah, pacar gue keren. Nanti pamer di grup ya. Gue bantu," sahutku bersemangat. Yes, setidaknya aku punya amunisi untuk membalas Annette malam ini. Eh, tapi ngomong-ngomong, kenapa beberapa hari ini dia jarang online ya? Apa kuliah di Prancis memang sesibuk itu?


"Ngapain? Biar diejekin Annette yang udah lebih dulu di Paris?" balas Alex sinis.


"Alah, biarin. Anggap aja dia iri dengki."

Lihat selengkapnya