Bucin Tolol

Nabila Rindra
Chapter #2

Annette-Namira Cavaldi: Permintaan Jadi Bucinnya Nathan

Hal paling tolol yang pernah dilakukan manusia adalah menangisi hubungan sebelum pernikahan dan bertingkah kayak orang sakit jiwa kalau sudah berpisah.


[Annette Namira-Cavaldi — Si Guide Paling Waras]



Musée du Louvre, Prancis, 18.30


Oke. Apa yang harus kulakukan setelah ini? Kuliahku libur, teman-temanku sedang sibuk liburan. Apa aku harus kembali ke rutinitas pulang kerja sehari-hari—berendam, lalu menonton serial Netflix sambil mengerjakan tugas kuliah?


“Apa rencanamu setelah ini?” Sebuah suara berat mendekat dari belakang.


“Gak tahu.”


Jean Paul-Leandre—karyawan bagian keamanan shift pagi Louvre mendadak berdiri di sebelahku dan memperhatikan para karyawan yang sibuk menghalau para pengunjung agar keluar dari museum. Sambil menyimpan senter saku, aku balik bertanya, “Pak Tua itu kemana?”


“Cari makan malam mungkin. Atau malah sudah pulang.”


Aku mendengus. Bagaimana cara aku mengatakan padanya kalau aku besok harus izin? Aku sudah nyaris gila menjelaskan berbagai lukisan maupun patung-patung dada yang dikunjungi turis setiap hari, dan kurasa aku harus segera pergi dari sini sebelum jadi gila sungguhan.


“Ini baru hari keempat belas. Jangan manja!” Pak Tua yang sejak tadi kami bicarakan mendadak berdiri di sebelahku. “Kamu harus tahan mental karena kamu yang akan mewarisi museum negaramu!”


“Siapapun juga bakalan pengen kabur kalau melihat lukisan-lukisan sialan itu, Pak,” sergahku tak terima. “Melihatnya saja sudah membuat mataku ternoda. Dan jangan lupa. Aku ingin bekerja di perusahaan properti orangtuaku, bukannya berkutat dengan barang-barang seni yang tidak jelas setiap harinya.”


“Baru yang disini saja kamu sudah mengeluh, apalagi kalau kamu pergi langsung ke Vatikan. Mungkin kamu akan mati jantungan begitu sampai disana.” Jean menceletuk.


Aku mendelik, namun memilih untuk tidak memperpanjang perdebatan dan berbalik. Kulambaikan tangan pada mereka dan berjalan menuju halte bus tak jauh dari Louvre.


Sambil mengeratkan syal, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kuliah dua jurusan ini memang membuatku depresi. Sudahlah disuruh mengambil tambahan jurusan Sejarah Seni, aku juga diharuskan bekerja di Louvre sebagai bawahan Pak Tua tadi. Mentang-mentang kepala keluarga alias Joachim Cavaldi alias pamanku itu punya koneksi dengan museum, seenaknya saja dia memutuskan kalau aku harus bekerja disini. Padahal aku lebih suka mengurusi perusahaan dan ikut dalam berbagai pesta, Sialan!


“Kalau ekspresimu kayak gitu, gak akan ada bus yang mau ngasih tumpangan.”


Sebuah mobil convertible berwarna mencolok mendadak berhenti di depanku. Kupelototi si pengemudi, namun dia hanya cengar-cengir dengan tampang tololnya yang biasa.


“Ayo ikut. Aku traktir makan malam ini.”


“Bukannya harusnya kamu di Hongkong?” tanyaku sambil masuk dan melempar tas ke jok belakang. Mobil segera melaju membelah jalanan pusat kota Paris.


Nathan tidak menjawab dan malah menaikkan kecepatan.


“Woi, Nathan!”


“Kami putus.”


“Siapa? Kamu sama Alex?”


Nathan mengangguk. Mobil memutari Arc de Triomphe, lantas melaju kencang menuju entah ke mana.


“Kok bisa?” tanyaku tak percaya.


“Dia mau kuliah ke Florence. Aku marah karena dia gak cerita, lantas bilang kalau aku gak bisa menjalani hubungan sejauh itu. Jadi kami putus.” Nathan bercerita. “Lebih tepatnya, aku yang mutusin karena dia ngotot pertahanin hubungan kami.”


Aku memutar bola mata—sudah menduga kalau penyebabnya adalah itu. Waktu dia mengajakku pacaran, aku menjelaskan kalau tidak punya waktu untuk meladeni kebawelannya yang menuntut perhatian setiap detik. Saat itu, kami menghabiskan waktu enam jam untuk chatting, padahal aku harus membuat paper sebanyak seratus halaman tentang desain arsitektur era Renaisans.

Lihat selengkapnya