BUCIN

M habibbul haq
Chapter #1

#10Semua perih... semua luka... Semuanya

Waktu terus berputar pada poros yang terpampang. Tak terasa, hampir setahun Kara di pulau Jawa. Menghabisi hidupnya dalam sendiri yang sering menemani. Hari ini hanya Kara yang bekerja, karena sahabatnya itu demam cukup parah. Tak begitu mengkhawatirkan, untuk orang seperti Zainal, paling banyak istirahat juga akan sembuh.  

Pukul satu siang, Uda dan Mbak Sarah tak juga datang. Biasanya suami istri itu sudah ada di toko. Apalagi Sarah, karena sudah dekat dengan Kara, sering bercerita banyak— sekalian menambah inspirasi dari pengalaman. Seperti kemarin. Sebuah hal berharga bagi Sarah, ia bisa mendapatkan inspirasi baru dari kehidupan Kara untuk ia tuliskan. 

Sore hari, barulah Sarah datang. Hanya sendirian. Kedatangannya berbeda dari biasa. Perubahan terpeta di wajah—lesu, seolah ada yang mengambil cerianya. Talian tanya pun bertautan dan kusut di pikiran Kara. Ingin bertanya—mengolah kembali pertanyaan yang pantas dilontarkan. Tapi apa mungkin harus bertanya?  

“Zainal ke mana?” Sarah duduk.  

Kara bisa merasakan senyum yang tak lagi riang itu, tak lagi ada semangat di dalamnya.  

“Dia sakit, Mbak,” jawabnya sambil menoleh.  

“Sakit?”  

“Iya, Mbak. Mungkin kelelahan.”  

“Kok bisa?” Sarah heran.  

“Enggak tahu, Mbak.” 

“Kamu kan satu tempat tinggal.” 

“Katanya, sih, karena kemarin kehujanan.” 

“Begitu ...” 

“Oh, iya ... kenapa Mbak murung hari ini?” Kara memberanikan diri bertanya.  

“Enggak ada, Ka. Mbak baik-baik saja. Mungkin karena panas,” tutur Sarah bertentangan dengan raut wajah.  

“Syukurlah. Aku pikir Mbak sedang dalam masalah.” Kara kembali mengarahkan pandangan pada aspal yang berfatamorgana. Cuaca memang panas, padahal sudah sore, tapi matahari masih saja berusaha membakar.  

Sarah menangis. Kara terkejut dibuatnya. Isak pelan, tetapi terlanjur ketahuan. Kara mendekat, mengambilkan segelas air putih, kemudian duduk di samping Sarah. “Mbak, jangan seperti ini. Jika ada yang ingin Mbak ceritakan, ceritakanlah!” Kara meyakinkan diri bisa menjadi teman bicara yang baik.  

Sarah meletakkan gelas. “Uda marah sama Mbak,” kembali berurai air mata. Desir pilu masih tersisa di hidung wanita itu.  

“Karena marah sama Mbak, Uda tidak datang ke sini?” Kara sedikit menerka.  

Lihat selengkapnya