BUCIN

M habibbul haq
Chapter #2

#11 Kini aku tahu... Tuhan lebih menginginkan hatiku

Kara Mustafa bersiap-siap di dalam musala. Matanya mewaspadai jarum jam. Hatinya begitu damai. Tenang. Ia akan mengumandangkan azan. Mendekati mikrofon, jarinya gemetaran. Suaranya perlahan berbunyi—lama-lama mengeras. Apa yang ia lakukan saat ini bukan karena terpaksa lagi, namun murni dari hati, kemauan yang terus mendorong menjadi penyebab sebagai jalan tobat baginya. 

Bertindak sebagai imam, ayat-ayat Al-Quran yang dulu hafal olehnya menjadi pengiring salat yang meliputi seluruh jamaah yang ada di dalam musala. Rakaat kedua, air matanya meleleh. Suara serak. Sentuhan ayat 35, surah Nur membuat seluruh bangunan hatinya bergetar. Di sisi lain ia gembira. Kesendirian tak lagi terasa memeluk. 

Semenjak bertemu Ridwan, ia tahu anak kecil itu adalah guru bagi dirinya. Bisa dikatakan semua kesadaran ini, dikarenakan anak itu. Hidayah memang tak tahu dari mana akan datang. Bahkan dari semut hitam pun, bisa saja—jika mau mengakui kehebatan dan kuasa Allah. Semua tergantung hati; apakah akan menerima, atau malah sebaliknya.  

Zainal menanyai permasalahan antara Kara dan Uda. Kara hanya tersenyum mendengar nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Zainal agar Kara tidak ambil hati atas ucapan juragannya. Juga, Kara harusnya bersyukur karena Uda telah mau membantu selama ini.  

Kara sedikit kecewa sebenarnya, karena Zainal hanya melihat pada satu sisi. Apakah memang selalu seperti ini kehidupan—bagi mereka yang memiliki sesuatu, lantas selalu dibela. Tidakkah lebih baik melihat dan menelusuri dulu, baru beri keputusan. Tapi sudahlah, 

Kara paham, Zainal belum mendengar apa-apa, ia hanya tahu dari apa yang dikabarkan oleh Faisal.  

“Uda menelepon, dia minta maaf kepadamu,” Zainal lebih dulu angkat bicara.” 

“Tolong sampaikan pada Uda, aku juga minta maaf,” Kara menepuk lutut Zainal. 

“Dia memintamu bekerja besok,” 

“Besok?” Kara mengernyitkan alis.  

Lihat selengkapnya