Aku menyadari semuanya. Di satu sisi, betapa aku malu terhadap-Mu. Engkau selalu mencintaiku lewat teguran, saat segudang ambisi mengejar kebahagiaan yang tak penting membelengguku yang bodoh. Padahal Engkau adalah bahagia yang selama ini kucari dalam teka-teki hidup. Engkau juga yang selalu memelukku saat berada di tengah lumpur pengisap yang bisa saja mematikan pernapasan. Engkau peluk dan rangkul jiwaku dengan erat, hingga merasa hangat.
Tuhan, di mana lagi harus disembunyikan diri ini, sedang Engkau selalu mengetahui— aku berada di mana. Di mana lagi aku harus menyembunyikan rasa malu kepada-Mu, sedang Engkau tahu bagaimana aku telah melupakan-Mu. Betapa kejamnya aku pernah merasa sendirian, padahal Engkau mendatangiku setiap menit dan detik. Engkau ada di sejengkal sajadahku.
Aku ingin kembali ke masa-masa itu; masa yang membuat aku dekat dengan-Mu. Masa yang membuat aku selalu membalas cinta-Mu. Iya, masa kecil yang seolah menyesal telah besar, dewasa, dan mengadukan semua yang telah disia-siakan. Ya Allah, Tuhan seluruh penguasa alam semesta, maafkan aku yang kini. Karena telah kalah dari aku yang kecil dulu. Aku tahu; Engkau selalu menjagaku. Engkau tumbuhkan rasa takut di hati, yang dulu tak kusadari siapa penanamnya.
Tuhan, seperti yang Engkau saksikan, betapa gemetarnya aku saat membayangkan tidur ibu yang tak nyenyak karena memikirkan hutang yang menggunung. Memikirkan hutang yang melilit pinggang beliau yang keropos. Berbicara tentang ibu; apa beliau di sana baik-baik saja, Tuhan? Aku merindukannya malam ini, karena beliau tak pernah datang dalam mimpiku. Mungkin Engkau juga mencintainya, hingga tak izinkan dia menemuiku.
Tak apa, Tuhan. Biar aku yang menemuinya nanti.
Hhh ... aku benar-benar rindu. Aku rindu karena Engkau mencintanya. Lewat cintaMu kepada ibu, engkau kirim cinta yang kusalahartikan. Sudahlah, jika kusebut segala kebaikan-Mu maka tak akan kutemukan ujungnya.
Dan aku lebih malu lagi, pernah merasa hina atas perlakuan orang lain, padahal Engkau tak pernah menciptakan makhluk yang hina. Aku juga ingin mengatakan; terima kasih untuk mentari siang-Mu, lewat cinta-Mu mentari menghangatkanku. Dengan cinta-Mu rembulan malam menemani tahajudku. Hujan, dengan cinta-Mu, telah menumbuhkan bunga iman di hatiku. Di dada yang pernah kosong ini. Ya Allah ... di sini, hati ini, detik ini, dan sajadah ini, kusujudkan rasa maluku kepada-Mu.
Allah. Aku jatuh cinta kepada-Mu. Terimalah orang yang hatinya banyak luka ini. Terimalah ya Allah. Hanya Engkau yang sanggup dan mampu menggantinya dengan hati yang baru.
Sajadah Kara ikut basah. Air matanya mengalir sejuk, mengingat semuanya. Tiga tahun berlalu semenjak ia pulang dari Jawa, dan kini menetap di Pantai Air Manis, Padang. Membuka usaha sendiri untuk melanjutkan hidup. Sebuah warung kopi. Uang tabungannya selama di Jawa menjadi modal awal. Ia pun kini mempunyai beberapa cabang di kota-kota yang lain. Tampaknya rezeki yang Allah beri begitu melimpah.
•••
“Apa setiap senja naik kamu berada di sini?”
Kara menoleh ke arah sumber suara; itu Fatimah, wanita cantik yang dikenal setahun lalu. “Iya. Di sini aku seperti berada di kampung halaman; melihat kawanan burung terbang. Menikmati indah kepakkan sayapnya. Anugerah yang mungkin tak bisa lagi dinikmati besok.” Kara tersenyum.