Inut sedang memegang ompreng sambil menyuapi Ibu makan. Selang infus masih bergelantungan di samping tempat tidur dan bermuara di pergelangan tangan kanan Ibu. Ia masih terlihat pucat dan lemas. Ibu duduk bersandar di ranjang yang bagian kepalanya dinaikkan hingga menjadi lebih tinggi lalu Ibu menyandarkan punggungnya dengan diganjal bantal.
"Mbak Anun itu kelewatan ya, Bu."
Inut membuka percakapan, ia tak ingin terjebak dalam keheningan di ruang rawat inap yang menghadirkan rasa sepi dan hal itu membuat Inut merasa sedih. Ia berharap dengan mengajak Ibu mengobrol, suasana hati Ibu pasti menjadi hidup dan semangatnya untuk sembuh semakin kuat.
"Kelewatan bagaimana maksudnya?" ujar Ibu bertanya setelah selesai menelan nasi yang dikunyahnya.
"Sudah tau Ibu opname di rumah sakit. Bukannya dia pulang menjenguk, Ibu. Malah beralasan lagi sibuk, banyak kerjaan!"
Ibu geleng-geleng kepala saja menatap putri bungsunya itu.
"Anun itu anak baik, dia perhatian kepada Ibu, Bapak dan juga kepada kamu, Inut."
"Yaaa, perhatian itu bukan hanya berbentuk materi saja, Bu. Mbak Anun juga harus hadir di tengah-tengah kita. Setidaknya ketika Ibu sedang sakit seperti sekarang."
"Kakakmu itu kerja, Inut. Dia punya tanggungjawab kepada perusahaan tempatnya bekerja. Anun juga selalu pulang ketika lebaran?"
Inut terlihat kesal karena Ibu membela Anun sedemikian rupa.
"Ibu selalu saja memaklumi Mbak Anun," Inut merengut.
"Ibu juga nggak yakin kalau nanti kamu sudah bekerja tidak akan seperti, Anun?"
"Inut nanti cari kerja di dekat-dekat sini aja, Bu. Inut nggak mau cari kerja di kota lain."
Ibu tertawa pelan.
"Anun dulu juga begitu. Katanya mau cari kerja di dekat-dekat sini saja, biar setiap hari bisa pulang ke rumah. Nyatanya dia nganggur cukup lama sampai akhirnya dia mendapat pekerjaan bagus di Jakarta."
Ibu kembali mengingatkan Inut tentang masa-masa sulit yang dulu dihadapi Anun ketika mencari kerja.
"Jangan ragukan Inut, Bu."
Setelah berkata seperti itu, Inut seolah tersadar kalau ia masih memegang ompreng, tempat makan Ibu.
"Sudah, Ibu sudah kenyang," Ibu menolak ketika Inut ingin menyuapkan nasi ke mulutnya.
Tiba-tiba Bapak masuk ke ruang tempat Ibu dirawat.
"Bapak dari mana?" Inut memandangi Bapaknya yang masuk dengan wajah gembira.
"Tadi, Anun menelepon Bapak. Katanya dia nggak bisa pulang sekarang, lagi banyak kerjaan."
Inut merengut.
"Alasan klasik! Apa pekerjaan itu nggak bisa ditinggal barang sebentar, terus kenapa Bapak senyum-senyum?"
"Dari Jakarta ke sini memakan waktu 10 jam. Pulang pergi jadi 20 jam. Terus kalau dia ke sini, setidaknya menetap dua atau tiga hari. Meninggalkan pekerjaan sampai tiga hari lebih, apa Bosnya nggak keberatan? Oh, ya. Tadi Bapak bilang kepingin beli burung, harganya tiga juta. Kata Anun beli saja, nanti uangnya di transfer," Bapak menyudahi kalimatnya dengan tersenyum lebar.