PERTANYAAN PERTAMA:
APA YANG MENENTUKAN KENYAMANAN RUMAH?
Tingkat kenyamanan rumah ditentukan suasana hati ibu. Itu jawaban Nurani untuk pertanyaan pembuka dalam siniar kami soal standar kenyamanan rumah baginya. Dia kemudian melempar umpan pada kami lewat pertanyaan sederhana, sebenarnya apa itu rumah?
Kami yakin, hampir semua sepakat rumah adalah bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal, sendiri atau bersama keluarga. Nurani punya jawaban berbeda. Baginya, rumah adalah perwujudan nyata roh seorang ibu. Beri saja masalah pada ibu dan lihatlah, esok harinya rumah yang mewah, bersih dan tersedia segalanya akan disulap jadi penjara tanpa rasa nyaman bagi semua penghuninya.
“Aku pernah mengalami waktu kecil. Di luar sana pasti juga banyak sekali yang ingin keluar dari rumah lama, ternyata saat masuk dalam rumah baru, bayang-bayang ketidaknyamanan masih ada,” tutur Nurani.
Kami tak menyangkal sebab kenyataan lebih sering bicara begitu.
Obrolan ini harusnya membahas bagaimana proses di balik layar terpilihnya rumah Nurani menjadi rumah sehat dan nyaman yang akan mewakili Kota Pensiunan di tingkat provinsi. Faktanya, proses Nurani membangun rasa nyaman dalam rumah ini butuh belasan tahun yang panjang. Bukan tentang pembangunan konstruksi rumah atau proses menumbuhkan pohon-pohon peneduh atau soal perawatan tanaman hias, tanaman obat serta hewan-hewan peramai rumah. Ini tentang pemosisian status, penerimaan diri dan pembebasan.
Rencana pembicaraan santai siang ini mulai menguap. Isu tentang pemosisian status, penerimaan diri dan pembebasan sudah pasti memancing perbincangan yang dalam dan berat. Ternyata benar, pertanyaan selanjutnya yang kami lempar pada Nurani soal siapa saja yang tinggal di rumah ini jadi gerbang yang mempersilakan kami merasakan lika-liku perjalanan Nurani.
“Aku, dua anak perempuanku, ibuku, ibu mertua dan mbak ipar di tembok sebelah. Suami kerja di luar kota. Kami LDR-an sejak anak pertama lahir sebelas tahun lalu. Sebulan cuma empat hari ketemu suami. Nikah tapi rasa pacaran.”
Tawa ringan Nurani justru tumbuh jadi rasa iba di hati kami. Sebagai sesama perempuan yang hidup di rentang generasi sama, kami tak bisa bayangkan hidup di posisinya. Kenapa Nurani tidak tinggal bersama suaminya saja yang kerja di kota besar? Kenapa dia memilih tinggal di Kota Pensiunan yang notabene hanya kabupaten terpencil yang diapit gunung dan justru membangun rumah di kampung?
Di usianya yang baru tiga tahun menginjak kepala tiga dan umur putrinya yang sudah sebelas tahun, kami simpulkan Nurani menikah di usia muda. Anehnya gurat beban di wajahnya minim sekali, terlihat dari perbandingan tingkat awet muda kami dengannya. Nurani masih tampak seperti mahasiswi semester pertengahan sedangkan kami yang belum menikah justru terlihat seperti ibu dengan empat anak berjarak sembilan bulanan.
Mungkin lingkungan berpengaruh. Nurani punya banyak kantong-kantong penyedia udara bersih dalam wujud pohon-pohon peneduh yang subur. Tanaman bunga aneka warna bermekaran berseling dengan dedaunan yang menyehatkan mata. Jajaran tanaman herbal yang siap direbus atau ditumbuk sebagai tameng penyakit. Belum lagi anabul lucu bermanja-manja di kaki, gemericik kolam ikan dan ramai cericit burung liar yang sengaja diberi sarang di cabang-cabang pohon sebagai media penghiburan.
Tanpa berniat mengulik masalah finansial keluarganya, Nurani terlihat jauh dari kata kekurangan. Dia seperti punya kebebasan melakukan banyak hal di rumah. Dia tak perlu bergelut dengan status pekerja kantoran di kota besar dengan risiko stres yang tinggi atau ibu rumah tangga yang berjuang melawan kebosanan serta bayang-bayang depresi.