Buitenzorg

Yohana Indriani
Chapter #1

Prolog

Sekumpulan manusia menyemut tak lama usai kapal SS Buitenzorg berlabuh di pelabuhan Paramaribo, Guyana. Wajah-wajah lelah, badan lusuh, pakaian kumal menjadi pemandangan umum hampir di setiap sudut dermaga. Di antara orang-orang itu, seorang gadis mengenakan kebaya putih dan kain batik motif jlamprang tampak celingukan mencari sesuatu. Di sebelahnya, seorang gadis dengan penampilan tidak jauh berbeda menatap bingung pemandangan baru yang tersaji di depannya. Kegelisahan tercetak jelas di wajah-wajah itu.

Gendis dan Nala, nama gadis-gadis itu, menepi di salah satu sudut lalu mengamati setiap orang yang turun dari bahtera. Saat petugas kolonial Belanda membagikan ransum, mereka dengan suka cita menyambutnya dan segera melahapnya tak tersisa. 

Mereka butuh asupan makanan setelah terombang-ambing di lautan selama lebih dari dua bulan. Hanya itu satu-satunya cara untuk bertahan. Kendati mulut terus mengunyah, mata mereka tidak fokus pada apa yang sedang dia lakukan. Netranya justru terus berputar memindai satu per satu orang yang melintas di hadapan. Namun, hingga semua penumpang turun, orang yang dia cari tidak ditemukan. 

Mereka menyesal. Mereka merutuki kebodohannya. Terdampar di negara entah berantah tanpa membawa apapun. Hanya baju yang melekat di tubuh, berkalang keringat dan bau menyengat. 

Nasi telah menjadi bubur. 


Pesisir Tegal, 1924

Nala, gadis berkepang dua mengenakan kebaya putih dan jarik berkeliling menawarkan dagangannya kepada penumpang kapal yang bersliweran di sekitar dermaga. Selain Nala, ada beberapa wanita lain dari berbagai usia yang menjemput rejeki di sana. Namun, penampilan Nala tampak mencolok dibandingkan lainnya. Kain batik persegi panjang menutupi rambut dan separuh wajahnya tak pernah lepas dari kepala.

“Nasi jagung, Tuan,” tawarnya kepada lelaki dewasa mengenakan pakaian cheongsam krah sanghai yang tengah duduk di tepi dermaga. Huan, pria bermata sipit berhidung mancung itu tak merespon, tetap fokus menatap kapal memperhatikan lalu lalang manusia dengan bermacam-macam ras dan warna kulit. Nala tak patah semangat. Sekali lagi ia mencoba peruntungannya.

“Nasi jagung, Tuan. Masih hangat,” tawarnya lagi.

“Yang ini lebih enak, Tuan,” timpal Mirah, perempuan bertubuh montok, berhidung pesek dengan tahi lalat besar di bawah bibir. Ia sengaja mendorong tubuh Nala dengan lengannya, supaya gadis itu menyingkir.

“Aku duluan,” protes Nala.

Mirah melotot. “Berani kau denganku? Sudah kubilang jangan berjualan di sini. Bagaimana kalau belatung di wajahmu itu berjatuhan. Orang-orang disini bisa jadi tak doyan makan. Pergi sana!” teriak Mirah. Nala menolak. Keduanya bersitegang saling menyodok. Mirah hendak menarik kain yang menutupi kepala dan sebagian wajah Nala, namun Nala berhasil menghindar. Lekas-lekas ia kencangkan ikatan kain itu agar tak lepas.

Huan mulai terganggu.  “Hei, kalian berdua kemari,” panggil lelaki berdada bidang itu, melambaikan telapak tangan memberi sinyal untuk mendekat.   

Lihat selengkapnya