Bujang Rantau

Muhammad irata
Chapter #1

Rindu

Bumi bagai di neraka. Panas!

         “Ibuu..!. Apa ibu tak tahu kalau toilet itu kamar buat berak?!

Bayanganku menyeruak ditengah langit membakar. Sosok perempuan tua depan tungku hitam menggelantung dipeluh pandanganku ke arah Teluk Tomini. Mendidih. Panas kali ini membuat pepohonan seakan meleleh. Hembusan nyiur melambai mendesau-desau ke setiap dedauanan. Debu bergulung-gulung. Panas menampar jalan-jalan. Meluap-luap.

Dari balik gunung sana aku lahir. Gunung Tilongkabila. Aku dapat melihatnya dari sini. Tak berubah sejak belanda singgah. Hijaunya menyuguh aroma surgawi tentang kehidupan orang-orang Ilengi. Orang-orang kebun. Hidup yang pikirnya buat makan. Juga sekolah anak lajang. Tak jauh-jauh seputar itu.

         “Maaf, nak. Ibu tak tahu. Ibu kira itu nama warung Koh Atong”.

         “Warung Koh Atong sumber pelet. Jauh sekali, bu” Aku menyeringai.

Asap tungku memudarkan tatapan perempuan tua yang paling kusayang. Agak berkaca “Jangan seperti ibu, nak. Kamu harus pintar. Sekolah tinggi-tinggi. Sukur jadi menteri pertanian”.

Nafasku menyeret. Begitulah kepolosan mereka. Orang-orang ilengi.

Suhu masih bertahan di titik 37 derajat celcius. Tetapi aku masih betah berlama-lama di atas menara. Menara keagungan Limboto, Gorontalo, sebutannya. Dari puncak menara 65 meter hingga pangkal. Dipucuk menara ada serupa kubah masjid. Konon, bercokol lampu sorot menjangkau 70 kilometer disitu. Ah ,itu tinggal memori. Mati akibat pemerintah tak acuh menaikan tagihan listrik.

Tiba-tiba..

“Woiii.. berhenti. Jangan lari..!!” Aku mengedar pandangan melacak arah suara. Di kaki menara lelaki lajang dikejar dua pria besar. Perempuan gempal terseok-seok dibelakang.

“Risiii..!!” Aku membuang suara. Ah, tak sampai.

Ya Allah. Pasti dia buat masalah. Kali ini apalagi!

Kearah terminal. Kata pedagang asongan menunjuk-nunjuk. Dari atas menara aku terengah-engah masuk sela-sela ruko seliweran.

“Sudah..sudah..! Biarkan dia”. Ibu gempal tampak termengah-mengah mengangkat dua tangannya.

“Tidak, Mama!. Dia harus dikasih pelajaran. Mampus kau...” Si pria besar tak acuh. Tangannya aktif mencari celah kosong buat gamparan.

“Sudah..cukup, Bang !!” Kataku berhambur setengah gagap. Aku peluk tubuh hitam mengkilat itu meleraikan.

“Hei..Zay.. Kakakmu itu suka ngutang, sudah dua bulan, ditagih tidak mau bayar” Pekiknya ditelingaku.

“I...iya Bang. Berapa utangnya?”

Ibu gempal mendekat dan agak terseok. “Urus kakakmu Zay, Hari ini sudah tujuh bungkus rokok”

Kulihat bibir kakakku merah. Mungkin ada gigi copot.

“Besok saya bayar, Bu Haji” Kataku menimpali. Risi diam saja. Ia mafhum aku bilang begitu pasti beres urusan.

“Sudah, tidak perlu. Awas kau..!”

Lihat selengkapnya