"Cucunya sudah berapa, Jeng?"
Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang tidak muda lagi itu hanya bisa tersenyum menanggapi pertanyaan dari temannya. Ia tidak mampu menutupi rasa iri hatinya terhadap teman-temannya yang sudah memiliki cucu.
"Ya, tidak apa-apa, Jeng. Tuhan pasti memberi suatu hari nanti," ucap sang kawan yang tulus.
"Amin, Jeng Fitri." Ibu Ningsih tersenyum tipis seraya melihat seseorang yang mendekat ke arahnya.
"Bu, apa sudah selesai pertemuannya?"
Wanita tua itu mengacuhkannya lalu pergi keluar dengan diikuti sang menantu di belakangnya. Ibu Ningsih malas bicara dengan menantu yang dinikahi anaknya tujuh tahun silam. Andai saja peristiwa tersebut tidak terjadi, ia tidak akan menikahi anaknya dengan seorang wanita dari perjodohan.
"Untuk apa kamu datang ke sini?" Raut wajah Ibu Ningsih menunjukkan rasa tidak sukanya secara jujur pada menantunya.
Arimbi hanya bisa tersenyum menanggapi mertuanya yang tak pernah menyukainya sedari awal.
"Arimbi disuruh Mas Bayu, Bu. Dia tidak bisa menjemput Ibu," sahut Arimbi membuka pintu mobil untuk sang mertua.
Arimbi memang seorang wanita yang mandiri. Meskipun, ia sudah bersuami yang bekerja sebagai dokter jantung terkenal, ia bukan tipe wanita yang berdiam diri saja di rumah. Dari hasil membuka kafe, sebuah mobil telah dimilikinya.
"Kalau Bayu tidak bisa menjemput, suruh saja Pak Burhan datang."
Arimbi tahu Ibu Ningsih tidak menyukai kedatangannya di acara arisan. Ia akan digosipkan oleh teman sang mertua, karena tak kunjung hamil.
"Pak Burhan mengantar ayah ke perkebunan," jawab Arimbi seraya menyalakan mobil lalu melajukan pelan.
Ibu Ningsih mendengkus kesal lalu mengumpat pelan, Arimbi mendengarnya, tetapi ia acuhkan. Selama pernikahannya dengan Bayu yang sudah hampir tujuh tahun berjalan, tak pernah sekalipun ayah atau ibu mertua memperlakukannya baik.
"Kamu tahu ibu tidak suka kamu datang ke sini. Ibu selalu menjadi bahan gunjingan atau cibiran karena menantu yang tak kunjung hamil."
"Lalu untuk apa ibu masih mempertahankan Arimbi sebagai menantu?" tanya Arimbi pelan, tetapi menusuk hati Ibu Ningsih.
Ibu Ningsih menatap tajam ke arahnya tanpa mau menjawab. Jika bukan karena rasa malu-nya yang terjadi pada sang putera yang bercerai mendadak, tak akan pernah mau ia menikahkan Bayu dengan Arimbi.
Beda hal dengan Arimbi, ia mengganggap sang mertua masih mempertahankan dirinya karena suatu sebab. Ayah maupun paman Arimbi adalah orang penting di kota ini yang disegani oleh masyarakat.
"Turunkan ibu di sini. Lebih baik naik taxi daripada semobil denganmu," kata Ibu Ningsih ketus. Ia merasa tersinggung karena ucapan Arimbi.
"Jangan, Bu. Ini masih jauh dari rumah," sanggah Arimbi yang tidak mau mertuanya naik taxi. Ia akan dimarahi Bayu nantinya.
"Turunkan ibu atau ibu akan melompat?"
Ibu Ningsih memang tak main-main dengan ancamannya, sejak dulu jika perintahnya tak dilakukan maka akan berbuat nekat. Akhirnya Arimbi menepikan mobil dan mempersilakan sang mertua turun.
"Dasar punya menantu mandul."
Arimbi pedih mendengar perkataan ibu mertuanya, ia tidak mandul dan kandungannya dalam keadaan baik-baik saja. Wanita mana yang tak menginginkan buah hati dalam pernikahannya?