"Aku mandi dulu."
Bayu memungut pakaiannya yang berserakan di lantai lalu melangkah ke kamar mandi. Ia tidak tahu perasaan sang istri yang begitu terluka. Arimbi tahu bahkan sangat tahu jika ia hanya dianggap sebagai pemuas nafsu saja bagi suaminya. Bayu akan bersikap lembut jika ia menginginkan haknya, tetapi keseharian sang suami tak pernah memandang Arimbi itu ada.
Arimbi bangun dan memakai kembali pakaiannya. Ia akan mandi di luar bukan di kamar mandi yang ada di dalam. Bayu tidak menyukainya. Pria yang sudah hampir menginjak usia 30 itu bisa dikatakan 'anak mama' . Semua keputusan selalu ada di pihak sang ibu mertua.
"Siapkan pakaian kerjaku sebelum kamu mandi."
Arimbi hampir saja membuka kamarnya saat ia diperintah untuk menyiapkan pakaian Bayu. Ia membalikkan badan tanpa berkata.
"Bisa cepat? Aku terlambat ke rumah sakit."
Berkata tanpa meminta tolong, itu kebiasaan Bayu yang sering didengar Arimbi. Arimbi patuh dan secepatnya mengambil baju yang ada di lemari.
"Aku pergi dulu. Jangan lupa pulang ke rumah jam enam."
"Maaf, Mas. Arimbi tidak bisa. Di kafe banyak acara."
Bayu menatap tajam, tetapi ia diacuhkan Arimbi yang sudah keluar untuk mandi. Bayu tak pernah sekalipun mencintai Arimbi, baginya pernikahan ini menakutkan. Jika bukan karena permintaan sang ibu untuk menikah lagi, tak mungkin ia lakukan.
*****
Di kamar mandi inilah tempat bagi Arimbi bisa bernapas lega. Di setiap sudut rumah selalu ada bayangan ibu mertuanya yang menghantui lewat perkataan pedasnya. Tak ada yang membela Arimbi di sini sehingga ia harus menjadi wanita kuat dan tegar.
"Kalau suami pergi kerja, kamu harusnya mengantar bukannya mandi!" Itu suara Ibu Ningsih, sang mertua.
"Arimbi mandi, Bu. Mas Bayu sudah tahu."
"Kamu saja yang alasan. Ibu tahu kamu tidak mau ke depan, karena ada ayah mertuamu, kan?"
Ibu Ningsih bersidekap sambil memandang Arimbi yang rambutnya basah.
"Bukan seperti itu, Bu."
Percuma saja jika dijelaskan detailpun, ibu Ningsih tak akan percaya. Arimbi tak memedulikan teriakan mertuanya yang menggema. Toh ... ini bukan pertama kalinya ia diperlakukan seperti itu.
Bagaimana mungkin ia harus mengantarkan sang suami ke depan jika ia merasa tubuhnya lengket semua, karena keringat? Bayu tidak menyukai bau.
Setelah selesai merias diri, Arimbi segera mengambil kunci mobil untuk ke kafe. Hari ini ada di kafe-nya ada acara ulang tahun anak SMA. Ia menangani semuanya sendiri.
"Ayah, Arimbi pamit pergi dulu."
Tak ada jawaban sama sekali. Meskipun seperti itu, Arimbi tetap mengucapkan kalimatnya. Di awal pernikahannya, ia merasa tersakiti dengan sikap keluarga suaminya. Namun seiring waktu berjalan, hal itu sudah menjadi kebiasaan.
"Kamu tuh nggak pernah masak buat suami malah masak buat orang lain," sindir ibu Ningsih.