**
"Lihat anak kita, Pak!"
Seperti biasa, di pagi hari tanpa pembuka kalimat memuji yang merujuk ke Mirna, anak sulung dan paling di agung-agungkan.
Pagi itu, Dewi duduk di ruang makan sambil mengaduk-aduk makanannya dengan tidak sabar. Ia mendengar suara langkah kaki Mirna yang masuk ke ruang makan, diikuti oleh suara tawa ceria Mirna yang sedang menceritakan pengalamannya di sekolah. Seperti biasa, perhatian orang tua Dewi langsung tertuju kepada kakaknya.
"Mirna, hari ini ujian apa?" tanya bapak mereka dengan senyum lebar, penuh perhatian.
Mirna tersenyum bangga, "Ujian matematika, Pa. Tadi aku jawab semuanya dengan cepat, jadi aku yakin bisa dapat nilai bagus." Matanya bersinar saat ia menatap ibunya juga.
Dewi menundukkan kepala, berusaha mengabaikan rasa cemas yang mulai merayap di dadanya. Ia tahu, seperti biasa, hari ini akan menjadi milik Mirna.
"Tapi, Dewi, kamu belum cerita apa-apa?" ujar Ibu, akhirnya menoleh ke arah Dewi setelah lama tak memperhatikannya. "Ada yang baru di sekolah?"
Dewi terdiam, merasa kata-katanya terhambat. Ia tahu apa yang orang tuanya harapkan, tapi hari ini, ia merasa perasaan itu semakin berat. "Aku... aku baru selesai mengerjakan proyek ilmiah," katanya pelan, mencoba meredakan gejolak di hatinya. "Tapi, ya, mungkin nggak seberapa."
Ibu mengangguk sambil kembali menatap Mirna yang sudah sibuk dengan ponselnya. "Wah, bagus, Dewi. Semoga hasilnya bisa bagus. Kalau tidak malu kami, kalau nilai kamu dibawah rata-rata.Contoh kakakmu,. Mirna. O iya, bagaimana dengan rencana kamu minggu depan? Ada lomba kan?" Ibu bertanya penuh perhatian.
Dewi merasa tenggelam. Ia tahu ini akan terjadi. Meski ia sudah berusaha keras, selalu ada yang lebih menarik perhatian. "Kenapa nggak pernah ada perhatian lebih untuk aku?" hatinya berteriak, tapi mulutnya tak sanggup mengucapkannya.
Tiba-tiba, Dewi bangkit dari meja makan, meninggalkan piring makanannya yang hampir penuh. Langkahnya cepat dan tegas, namun di dalam hatinya penuh rasa kecewa yang tak tertahan. Ia tahu ia harus mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu tak kunjung keluar.
Sigit yang melihat Dewi pergi dengan tergesa-gesa, menggelengkan kepala. "Dewi kenapa? Kenapa selalu begitu kalau kami membicara tentang kakaknya?"
Lastri seakan tak perduli, ia kini fokus kepada Mirna saja,.
" Sudahlah Pak. Mungkin dia merasa selalu diabaikan. Tapi Mirna memang lebih banyak berprestasi. Kamu juga tahu, kan?" Ujar Lastri tanpa beban.
Dewi ternyata mendengarkan ucapan ibunya itu. Hatinya semakin teriris
"Lalu, apa aku harus selalu berada di bayang-bayang Mirna?" suara Dewi terdengar dari pintu yang hampir tertutup, dengan nada yang penuh kepedihan." Aku juga anak kalian, apa karena aku bukan anak pertama?"
Dewi bergegas berkemas, ia berjalan cepat, tanpa terasa air matanya hampir jatuh. Ia merasa cemas dan kecewa, namun tidak tahu harus kemana. Di kejauhan, ia melihat Mirna keluar dari rumah, tampaknya ingin mencari sesuatu.
"Kak," Dewi memanggil dengan suara parau.
Mirna berbalik, melihat Dewi yang tampak sangat marah dan sedih. "Dewi, kenapa? Kenapa kamu pergi begitu saja tadi?" tanya Mirna, terlihat bingung.
Dewi menghapus air matanya, berusaha keras untuk tidak menangis lebih lanjut. "Kenapa aku selalu harus berada di belakangmu? Kenapa perhatian orang tua selalu hanya untukmu? Aku lelah, Kak!"
Mirna terdiam. Ada keheningan sejenak di antara mereka. Mirna menatap Dewi dengan raut wajah yang sulit dibaca. "Aku nggak pernah tahu kamu merasa seperti itu. Aku nggak pernah ingin kamu merasa terabaikan, Dewi," jawab Mirna dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan.
"Tapi kenyataannya begitu, kan? Kakak selalu yang lebih dulu, dan yang selalu jadi anak yang membanggakan. Aku nggak pernah merasa dihargai, Mirna. Aku capek selalu mencoba dan nggak pernah mendapatkan apapun," Dewi hampir berteriak, suara kesalnya menggema di udara yang sunyi.
Mirna terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku nggak tahu harus bagaimana. Aku nggak pernah meminta semua ini, Dek.Aku juga... aku juga butuh perhatian." Mirna terlihat kebingungan, seolah-olah baru menyadari apa yang dirasakan Dewi selama ini.