#2
Di Balik Kesunyian
Hari itu, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Dewi duduk di ruang tamu, memandang langit-langit dengan pikiran melayang. Ia baru saja pulang dari sekolah, dan seperti biasa, tak ada yang menunggunya dengan pertanyaan penuh semangat. Sigit sibuk di ruang kerja, Lastri tengah memasak, dan Mirna belum pulang dari kegiatan ekstrakurikuler.
Dewi menghela napas panjang. Ia tahu, ia tak bisa terus seperti ini. Tetapi setiap kali ia mencoba memulai percakapan atau meminta perhatian, seolah ada dinding tak terlihat yang menghalanginya. Kata-kata yang ingin ia sampaikan terperangkap, terjebak dalam keraguannya sendiri.
Ketika akhirnya Mirna pulang, suasana rumah kembali berubah. Tawa Mirna mulai memantul ke dalam ruangan, dan orang tuanya pun langsung keluar dari tempat mereka masing-masing untuk menyambut si anak pertama. Dewi hanya bisa melihat dari kejauhan. Ia merasa seperti bayangan di sudut ruangan, tak terlihat dan tak terdengar.
"Dewi, bantu ibu di dapur," suara Ibu memanggilnya, memotong lamunannya.
Ia bangkit perlahan, melangkah ke dapur sambil menundukkan kepala. "Ada apa, Bu?" tanyanya dengan suara pelan.
"Potong sayuran ini, ya. Oh, Mirna tadi cerita kalau dia akan tampil di acara sekolah. Kamu juga datang, kan? Kita semua harus mendukung Mirna," kata Lastri dengan nada ceria, tanpa menyadari wajah Dewi yang berubah muram.
"Ya, Bu," jawab Dewi singkat, sambil mengambil pisau dan mulai memotong sayuran. Ia ingin mengatakan bahwa ia juga sedang mempersiapkan sebuah presentasi penting di sekolah, tetapi ia tahu percuma. Perhatiannya sudah sepenuhnya tertuju pada Mirna.
---
Malam itu, setelah makan malam, Dewi kembali ke kamarnya. Ia mencoba menyibukkan diri dengan membaca buku, tetapi pikirannya terus kembali pada perasaan yang mengganjal. "Apa gunanya aku berusaha jika tak pernah ada yang peduli?" pikirnya, pahit.
Ia memandang ke arah meja belajarnya, di mana piagam dan penghargaan kecil yang pernah ia raih tertata rapi. Tidak sebanyak milik Mirna, tapi ia tahu ia sudah berusaha keras untuk mencapainya. Namun, mengapa ia selalu merasa itu tidak cukup?
Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Mirna masuk dengan senyum di wajahnya. " Dewi, besok aku mau latihan nari sebentar. Kamu mau lihat?" tanyanya.
Dewi menggeleng, tanpa menatap Mirna. "Aku lagi capek. Mungkin lain kali," jawabnya singkat.
Mirna tampak ragu sejenak, lalu mengangguk. "Oke, nggak apa-apa. Kalau mau mengobrol, bilang saja, ya," katanya sebelum menutup pintu dengan pelan.
Dewi merasa sesak. Bukan karena Mirna melakukan kesalahan, tetapi karena ia merasa terlalu lelah untuk menjelaskan apa yang ia rasakan.
"Iya," balasnya lirih.
---
Keesokan harinya di sekolah, Dewi mencoba mencari pelarian. Ia menemui sahabatnya, Lina, di kantin, berharap bisa mengalihkan pikiran sejenak. Lina adalah satu-satunya orang yang benar-benar mengerti perasaan Dewi, tanpa ia harus banyak menjelaskan.
"Aku nggak tahu lagi harus gimana, Lin," kata Dewi dengan nada lesu. "Di rumah, aku merasa nggak ada tempat. Orang tua selalu membicarakan Mirna, dan aku? Aku cuma dianggap sebagai pelengkap."
Lina menatapnya dengan penuh simpati. "Dew, kamu udah berusaha keras. Mereka mungkin nggak lihat sekarang, tapi itu nggak berarti usahamu sia-sia. Kadang, kita harus belajar untuk menghargai diri sendiri dulu, meski orang lain nggak melihat."
Dewi menghela napas. "Aku tahu, tapi itu susah. Aku merasa nggak pernah cukup."