Pagi yang cerah selalu menghampiri sebuah desa yang hijau nan sejuk, seperti pagi ini semua nampak bersahaja dan bersemangat melakukan kegiatan sehari-hari yang kebanyakan di habiskan di sawah dan ladang. Di sebuah rumah joglo yang berukuran besar dan terletak di tepian desa tampak beberapa orang tengah menjemur padi di halaman rumah yang di alasi berlembar-lembar terpal.
"Bu, kopinya mana? lama bener!" teriak pak haji Kartono sang pemilik rumah kepada istrinya yang tengah duduk di serambi rumah bersama kedua tamunya. Pak Haji Kartono adalah seorang juragan di desanya, para petani biasanya akan menjual padinya yang sudah siap di panen pada pak Haji Kartono.
"Iya Pak. Sabar ini baru selesai di bikin." Terlihat seorang perempuan paruh baya keluar dari pintu rumah dengan membawa tiga gelas kopi dan satu piring singkong goreng, wanita itu berkulit putih dan berkerudung, tanda-tanda kecantikan di masa muda masih terlihat jelas dari wajahnya.
"Bu Haji, kok repot-repot," sapa salah seorang tamunya yang bertubuh kurus, berkaos putih bergambar capres nampaknya itu sebuah kaos yang di dapat saat pemilu presiden tahun lalu. "O, ndak, cuma kopi sama singkong goreng," jawab bu Haji Kartono, beliau dan suaminya memang sudah berhaji sejak lama. "Makasih ya Bu, lha wong kami cuma sebentar," jawab tamu yang satunya lagi, berbeda dengan tamu yang tadi, tamu yang satu ini berbadan gemuk dan gigi-gigi depannya tampak sudah tanggal. Namun, justru itu menjadi ciri khas dari dirinya hingga orang-orang desa memanggilnya pakde Ompong.
"Udah, ndak usah basa-basi, di minum aja kopinya. Itu-itu... singkong gorengnya di makan!" Pak Haji menunjuk kopi dan gorengan dengan menaik-naikan ke alisnya sambil matanya melirik ke istrinya, memang pak Haji di kenal dengan mulutnya yang pedas, ceplas-ceplos, galak dan sering tidak memperdulikan perasaan orang lain, namun sebenarnya beliau muslim yang taat hanya saja kurang bisa mengendalikan sikap dan bicaranya. Itulah yang sering membuat istrinya malu dan kesal.
"Bapak ini kalau ngomong yang sopan to, maaf ya Pak Paimo…, Pakde Ompong…, monggo di unjuk kopi sama gorengan singkongnya." Bu Haji Kartono mempersilahkan kedua tamunya lalu kemudian berpamitan, "ya sudah, saya tinggal dulu silahkan diteruskan ngobrolnya."
Kedua tamunya itupun menganggukkan kepala tanda mengiyakan.
"Oh ya, cerita kita tadi sampai mana?" tanya Pak Haji. "Itu sampai genduk Nabila kuliah di Mesir," jawab pakde Ompong. "Oh ya, setelah Nabila selesai kuliah di Mesir kan pulang, lah kan lewat bandara Soekarno-Hatta. Tahu ndak toiletnya buersih kinclong, ndak sama kaya dapurmu yang juorok itu."
"Pak!...." Bu Haji Kartono berteriak dari dalam rumah seolah mengingatkan suaminya agar tidak kelewatan dalam berbicara. "Ya...ya, maaf. Eh, tahu ndak sekarang genduk Nabila itu sudah di terima mengajar di SMA IT yang bagus namanya SMA IT GENERASI SOLEH jadi guru agama di sana."
"Alhamdulillah, genduk Nabila memang pinter, terus anaknya juga solehah ndak kayak bapaknya, " jawab pak Paimo.
"Jadi maksudmu aku ini ndak soleh?!"
"Maaf Pak Haji saya keceplosan."
"Keceplosan. Yang boleh keceplosan itu cuma saya, kamu ndak!"
"Pak!...." Terdengar lagi suara Bu Haji Kartono dari dalam rumah.
"Iya...iya…." Pak Haji Kartono tak bisa berkutik bila istrinya sudah bicara. Karena takut istrinya mutung, jika sudah mutung bisa tiga harian tidak mau bicara dengan dirinya.
"Assalamu'alaikum." Seorang gadis cantik berkulit putih, berhidung mancung dan berlesung pipit datang keluar dari dalam rumah.
"Wa'alaikumussalam," jawab ketiga orang yang sedang duduk di serambi rumah. Mereka menengok ke arah gadis itu. "O, genduk, mau kemana? Kok udah rapi?"
"Nabila mau ke rumah Tiara Pak."
"Mau ngapain ke sana?"
"Nabila cuma mau main."
"Kenapa ndak Tiaranya yang ke sini?"
"Pak, Nabila kan juga pengen ke luar rumah. Lagi pula kan Tiara kemarin sudah ke sini, sekarang gantian Nabila yang ke sana."
"Biar di anter Pak Paimo."
"Ndak Pak, Nabila juga kan bisa bawa motor sendiri."