Suara dering telpon seluler Nabila berbunyi, saat Nabila hendak bersiap pergi mengajar ke sekolah. Buru-buru ia meraih telpon genggamnya yang ia letakkan di kasur tidurnya. Di telpon seluler itu tertulis nama Saefudin. "Assalamu'alaikum," sahut Nabila sembari membenahi kerudungnya di depan meja rias. Ia letakkan telpon selulernya itu di depannya dan ia me-loudspaker suara telponnya, agar ia bisa segera bersiap.
"Wa'alaikumussalam."
"Ada apa ya pak, kok pagi-pagi nelpon saya?"
"Nggak ada apa-apa, bu. Oh ya, gimana kalau saya jemput hari ini? Kita bareng berangkat ke sekolah."
"Nggak usah repot-repot."
"Nggak repot kok, bu." Pak Saefudin sedikit memaksa. Nabila tahu sebenarnya pak Saefudin punya maksud lain pada dirinya. Namun, ia belum yakin apakah pria itu yang akan ia pilih sebagai teman dalam hidupnya.
"Maaf pak, tapi hari ini saya akan berangkat dengan saudara saya, yang ingin bekerja sebagai tukang kebun sekolah." Nabila ingin mengakui bahwa Ponidi adalah saudaranya agar sahabatnya itu dihargai dan tidak diremehkan orang lain di sekolahnya.
"O... begitu. Kalau begitu saya tunggu di sekolah saja. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Nabila menutup sambungan teleponnya. Segera ia bergegas keluar dari rumah, di depan rumah Ponidi sudah menunggu dan pak Haji Kartono sudah mengeluarkan motornya untuk di pakai oleh Ponidi.
"Gimana Mas Pon, udah siap?" tegur Nabila.
"Sudah, Bil."
"Ya udah kita berangkat. Pak, Nabila berangkat dulu."
"Iya, ati-ati. dan kamu Pon jangan buat malu Nabila."
Ponidi mengangguk dan mengikuti jalannya motor Nabila dari belakang. Dalam hatinya terharu terhadap sikap Nabila, ia tidak pernah sombong, apa adanya dan tidak suka meremehkan orang lain, tidak seperti gadis lain. Cantik sedikit saja, gayanya sudah selangit dan kerap mengaku kalau berasal dari keluarga kaya, padahal kedua orangtuanya tidak mampu.