Bukan Ayat-ayat Cinta

Nikmatul Choeriah
Chapter #6

Bab 6

Gus Salim menyelesaikan dzikir malamnya di masjid pesantren, tampak pula para santri-santri yang lain tengah beribadah di tengah malam. Suasana hening dan khusyuk begitu terasa. Hari ini Azizah sudah tiba di pesantren Darul Muttaqin, tapi Gus Salim belum juga menemuinya. Ia masih ragu dengan langkah yang akan ia ambil, rasanya ia tak ingin mengecewakan orangtuanya. Namun, ia masih saja terbayangkan gadis yang di temuinya waktu itu. Bagaimana cara ia bisa menemuinya lagi? Dalam benaknya berpikir, bagaimana ia bisa kembali ke jalan itu dan menunggunya disana? Barangkali ia bisa bertemu kembali, tapi perasaannya hanya angan-angan belaka karena terbawa emosi ingin segera menikah. Sementara Gus Salim terdiam dalam duduknya di serambi masjid menatap bintang-bintang malam yang berdampingan dengan bulan sabit. Betapa sempurna Allah menciptakan alam semesta ini, menciptakan semua dengan berpasang-pasangan, ada siang dan malam, ada bulan dan ada pula matahari serta semua makhluk hidup di bumi ini pun diciptakan berpasang-pasangan. Lalu, siapakah pasangan hidupnya? Dalam batinnya ia berbisik. Ia pun tersenyum sendiri, sungguh kasihan diriku ini.

Sampai menjelang azan Subuh di kumandangkan, Gus Salim pun segera mengambil wudu dan menjadi imam salat Subuh. Karena Kyai tengah terbaring dan rencananya jam 9 pagi nanti ia akan mangantar abinya berobat ke dokter spesialis jantung. Rencana ini di rekomendasikan oleh dokter yang berpraktek di pesantren Darul Muttaqin.

"Assalamu'alaikum, Bi." Gus Salim mamasuki kamar Kyai Abdullah dengan langkah pelan. Ia menghampiri abinya yang terbaring lemah di peraduannya. Sayu matanya melihat orangtuanya yang hanya tinggal seorang diri itu. Ia terus memegangi dada kiri sambil bibir melafalkan kalimat dzikir memuji nama Allah subhana wa ta'ala. "Wa'alaikumussalam." Pelan suara Kyai Abdullah menyambut kedatangan putranya.

"Bagaimana keadaan Abi sekarang?"

"Alhamdulillah, Abi tidak apa-apa."

"Jangan berkata begitu Bi, Abi harus berobat sekarang. Sekarang ayo kita berangkat ke rumah sakit, kita harus periksakan jantung Abi."

"Kamu sudah temui Azizah? Ia sudah datang dan nenginap di rumah adik mu, Hamida."

Hamida adalah anak ke dua dari Kyai Abdullah. Rumahnya berada dalam kawasan pesantren Darul Muttaqin dan sudah memiliki dua orang putra.

"Bi, soal Azizah nanti saja, setelah kita pulang berobat. Insya Allah, saya akan menemuinya."

"Tidak Nak. Abi tahu umur Abi tidak akan lama lagi. Berobat ataupun tidak, akan sama saja hasilnya. Besar harapan Abi agar bisa melihat mu menikah sebelum malaikat maut menjemput." Air matanya pun menetes di pipinya yang keriput, dan Gus Salim menyekanya dengan penuh kasih sayang.

"Bi, saya akan segera menikah. Saya janji Bi, akan segera mewujudkan keinginan Abi." 

Kyai Abdullah meraih tangan putranya, lalu ia genggam kuat seakan percaya bahwa putranya akan menepati janjinya.

Gus Salim berhasil membujuk abinya untuk berobat di rumah sakit. Ruang tunggu di ruang dokter spesialis jantung dipenuhi dengan antrian orang-orang yang hendak berobat, maklumlah hanya ada dua dokter spesialis jantung di kota ini. Setelah lama menunggu giliran, tibalah nama Kyai Abdullah dipanggil oleh seorang perawat, alat-alat perekam jantung pun mulai dipasangkan. Selesai menjalani pemeriksaan, dokter pun menjelaskan bahwa Kyai Abdullah mengalami pembengkakan pada jantung.

"Jadi, bagaimana keadaan orangtua saya dok?" tanya Gus Salim seraya menerima resep dari dokter jantung yang kebetulan seorang perempuan. "Iya, sebenarnya telah terjadi pembengkakan jantung pada orangtua Anda. Namun, belum terlalu parah dan masih bisa di sembuhkan dengan rajin minum obat dan menjaga pola makan seperti memperbanyak makan sayur dan buah-buahan, hindari makanan yang berlemak, serta kurangi penggunaan garam pada makanan."

"Baiklah dokter, terima kasih." Gus Salim dan Kyai Abdullah meninggalkan ruangan.

Dua anak laki-laki Hamida berlarian dalam rumah. Mereka berkejar-kejaran merebutkan mainan, umur mereka terpaut hanya dua tahun. Kakaknya, Arief, berumur 6 tahun dan adiknya, Ali, berumur 4 tahun. Mereka berdua tampak lucu dan menggemaskan. Sudah semalam Azizah menginap di rumah Hamida. Ia bersedia tinggal di rumah itu sementara waktu, karena suami Hamida yang seorang perwira TNI tengah bertugas di luar kota. Sehingga, ia tak akan merasa sungkan dan risih.

"Sudah jangan lari-larian lagi sayang." Hamida menangkap kedua putranya satu-satu dan kedua putranya tertawa geli karena kelitikan ibunya.

"Udah, Umi!" Arief berteriak. Namun, salam Gus Salim menghentikan mereka. "Wa'alaikumussalam," balas Hamida yang kemudian mencium tangan kakaknya. Gus Salim menggendong kedua keponakannya, dengan Arief di tangan kiri. Perlahan suara pintu kamar terbuka, Azizah keluar menghampiri Gus Salim yang tengah bercengkrama dengan adik dan dua keponakannya. "Assalamu'alaikum," sapa Azizah. "Wa'alaikumussalam." Gus Salim pun tersenyum. Namun, semua tampak sama dan tak ada yang berbeda. Dalam hatinya, Azizah hanyalah seorang teman sewaktu kuliah dulu. Sebenarnya Azizah adalah gadis yang manis, berkulit sawo matang, matanya yang lebar dan berbulu mata lentik juga hidungnya yang mancung, membuat orang yang memandangnya memastikan dia keturunan India. Tapi memang benar, kakeknya adalah seorang keturunan India-Arab yang sudah lama menjadi penduduk Indonesia dan mendirikan pesantren di Jember.

Azizah dan Hamida juga Gus Salim, duduk di sofa ruang tamu. Hamida menyuguhkan teh manis dan sepiring biskuit untuk dinikmati mereka bertiga. Sementara Arief dan Ali, ia suruh bermain di kamar agar tak mengganggu perbincangan mereka. "Kamu sekarang lagi sibuk apa?" Gus Salim bertanya kepada Azizah untuk membuka perbicangan di antara mereka. Azizah menjawab dengan menunduk karena memang begitulah adab seorang muslimah kepada yang bukan muhrim.

"Seperti biasa membantu Abah mengajar di pesantren."

"Lalu, bagaimana kabar Abah mu?"

"Alhamdulillah baik, beliau titip salam kepada mu."

"Wa'alaikumussalam."

Kebisuan pun kembali terjadi di ruangan itu, rasanya Gus Salim sudah tak punya pertanyaan lagi untuk Azizah. Namun, ia harus menghargai tamunya itu.

"Oh ya, akan ada seminar di tanggal 29 Februari nanti. Saya harap kamu bisa hadir atau bahkan bisa jadi pemateri."

"Insya Allah, tapi kalau untuk jadi pemateri saya belum bisa," jawab Azizah sambil sesekali membenahi kerudungnya seolah takut bahwa rambut yang jadi aurat akan terlihat. "Sudah ikut aja kak Azizah, saya yakin Kakak juga bisa jadi pemateri yang baik. Soalnya kan, kakak pintar," ucap Hamida yang mencoba bergabung dalam perbincangan itu. "Nggak dek Hamida, saya belum pantas." Azizah tersenyum pada Hamida dan Hamida membalasnya. "Baiklah, ini sudah mendekati azan Ashar. Saya pamit dulu, assalamu'alaikum." Gus Salim pun berpamitan, namun Hamida adiknya mengingatkan agar bisa makan malam bersama di rumahnya nanti.

Lihat selengkapnya