Bukan Ayat-ayat Cinta

Nikmatul Choeriah
Chapter #7

Bab 7

Hari Minggu, tiba saatnya hari libur untuk Nabila melepas penat setelah selama enam hari. Ia habiskan waktu liburannya untuk mengajar dan memberi bimbingan EKSKUL ROHIS di hari sabtu.

Rasanya sudah lama ia tak menikmati pemandangan di depan rumahnya. Pemandangan yang indah di mana sawah hijau membentang bak permadani hijau yang di bentangkan, burung-burung yang beterbangan kesana-kemari juga suara-suara ternak kambing, kerbau dan sapi yang di biarkan memakan rumput di tepian jalanan sawah.

"Nduk, telpon mu bunyi!" Ibu Haji berjalan menuju Nabila yang tengah berdiri di seberang jalan rumahnya. "Kamu tu ngapain to Nduk di situ? Nih telpon mu."

Nabila meraih telpon genggamnya yang sedari tadi berbunyi.

"Halo, assalamu'alaikum," sapa Nabila dan ibu Haji Kartono pun berlalu meninggalkan Nabila.

"Wa'alaikumussalam." Terdengar suara pak Saefudin di seberang sana.

"Iya pak, ada apa?"

"Lagi sibuk nggak, bu?"

"Tidak. Ada apa ya?"

"Boleh nggak saya main ke rumah ibu?"

Nabila berpikir sejenak. Ia berpikir tidak enak bila ia menolak pak Saefudin untuk berkunjung ke rumahnya, tapi ia tahu bapaknya juga sedang uring-uringan karena si Bejo, ayam jago kesayangannya mati di makan musang, yang masih banyak terdapat di lingkungan sana. 

"Boleh pak, silakan." Suara Nabila terdengar berat.

"Tapi, bener nggak apa-apa, bu?"

"Silahkan, pak!"

"Baik, sekarang saya ke rumah ibu."

"Ya, saya tunggu. "

"Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam." 

Nabila menggelumbungkan angin di kedua pipi dan terus meniupkannya, seolah kedatangan pak Saefudin adalah beban baginya.

"Bu!!! Coba Ibu tidak membuka kurungan, si Bejo pasti nggak bakalan mati di makan musang." Pak Haji Kartono dari halaman belakang rumah berteriak. Ia terus mengelus-elus kandang si Bejo ayam kesayangannya. "Oalah...Bejo-bejo nasib ku itu lho kok sial banget, dari kecil kamu tak openi sekarang kamu mati...." Pak Haji Kartono terus meratapi kepergian si ayam jagonya dan Bu Haji Kartono juga mulai kesal.

"Wes to Pak, cuma ayam aja. Mbok ya beli lagi di pasar, buanyak! Mau ayam kate, ayam kampung apa yang ayam bangkok."

"Tapi, kan, nggak ada yang sama kayak Bejo. Ibu mudah aja bilang begitu karena Ibu ndak ngerasain susahnya melihara si Bejo."

"Alah, susah opo. Lha wong tinggal di kasih makan juga hidup, cuma ayam."

"Sudahlah Bu, Pak. Nabila capek dengernya dari kemarin kok cuma ngeributin ayam." Nabila datang melerai kedua orangtuanya yang terus berseteru masalah ayam jago. "Nabila itu libur kerja pengen di perhatiin Ibu sama Bapak, tapi malah ayam aja yang di openin." Nabila ingin bapak dan ibunya tak lagi meributkan soal ayam yang sudah mati itu. "Iya, ndok maafin, Bapak." Pak Haji Kartono tak berdaya bila anak perempuannya itu sudah mulai merajuk. "Lha wong, bapak mu itu lebih sayang ayam dari pada kamu." Ibu Haji merasa belum puas memarahi suaminya. "Sudahlah Bu, Nabila capek dengernya." Dan Nabila pun berlalu meninggalkan kedua orangtuanya dan bersiap untuk mandi, karena pak Saefudin sebentar lagi akan datang. Sebab, tak enak bila menemui tamu sedang badan masih kotor.

Jam dinding menunjukkan angka sepuluh. Nabila telah selesai mandi dan berdandan ala kadarnya, karena tak penting terlihat cantik atau tidak di hadapan pak Saefudin. Ia menyiapkan kue-kue kering yang ditata dalam toples kaca untuk nanti ia hidangkan pada tamunya itu. 

"Itu buat siapa, Nduk?" tanya ibu Haji Kartono ketika melihat anak perempuan sibuk di dapur.

"Buat temen Nabila, Bu."

"Sopo to temen mu?"

"Itu, guru di sekolah tempat Nabila mengajar."

Lihat selengkapnya