Bukan Ayat-ayat Cinta

Nikmatul Choeriah
Chapter #8

Bab 8

Suasana kantin sekolah begitu ramai di penuhi para siswa dan siswi, jam 10 adalah waktunya untuk istirahat. Yudi dan Faesal tampak duduk di deretan bangku-bangku kantin yang tertata rapi.

"Kenapa sih kamu nggak mau terus terang aja pada ibu guru Nabila kalau pak Saefudin yang sudah mukul kamu?" Yudi menepuk pundak sahabatnya itu.

"Nggak, aku mau belajar sabar seperti ibu guru Nabila yang ngajarin ke kita."

"Bener-bener sudah berubah kamu."

"Aku harus berubah. Karena aku ingin nanti setelah bunda ku kembali pulang ia akan melihat ku menjadi anak yang baik, walau ayah sudah menyakitinya."

"Kamu sudah dapat kabar tentang bunda mu?"

"Alhamdulillah, bunda dalam keadaan sehat dan sekarang bunda di rumah adiknya di Surabaya."

"Syukurlah, aku ikut senang dengerinnya."

Faisal dan Yudi terus mengobrol dengan asyiknya sampai mereka terkejut ketika ibu guru menghampirinya.

"Kalian di sini, Ibu cari-cari dari tadi lho."

"Memangnya ada apa, Bu?" tanya Yudi antusias begitu juga dengan Faesal yang ingin tahu kenapa ibu guru Nabila mencarinya.

"Teman Ibu membuka rumah Tahfiz Quran dan katanya kalian berdua boleh bergabung disana. Kalian bisa singgah disana setiap libur sekolah hari sabtu dan minggu, gimana kalian berdua mau nggak? Kan, katanya waktu itu kalian ingin lebih belajar Al-Qur'an dengan lebih baik."

"Alhamdulillah, saya mau, Bu. Kamu Yud, mau nggak?" Faesal menengok pada sahabatnya dan berharap ia juga berminat dengan tawaran ibu guru Nabila supaya ia ada yang menemani.

"Insya Allah, aku mau," jawab Yudi dan Faesal pun tersenyum lega.

"Alhamdulillah, kalau begitu nanti saya share loc lewat WhatApps dan jangan lupa kalau sampai di sana kalian bilang, bahwa kalian berdua murid Ibu."

"Iya Bu, makasih." Faesal ingin mencium tangan ibu guru Nabila, taou Yudi buru-buru menepisnya.

"Hush, celamitan. Bukan muhrim!"

"Masa cium tangan aja nggak boleh." Faesal pun kesal pada sahabatnya itu. "Maaf ya Bu, temen saya memang celamitan orangnya." Yudi menyikut badan Faesal sampai ia pun teriak. "AUUU!!"

Sedang ibu guru Nabila tertawa melihat tingkah ke dua muridnya.

Selesai mengajar, Nabila melihat ponselnya yang berbunyi. Ia mendapat pesan dari pak Saefudin bahwa hari ini ingin menemuinya sepulang sekolah. Di sebuah kafe yang tak jauh dari sekolah, dalam pesannya pak Saefudin mengatakan ada hal yang penting yang akan ia bicarakan dengan dirinya. Nabila merasa segan menemui rekan kerjanya itu, tapi ia merasa tak enak bila menolaknya.

Nabila memakirkan sepeda motornya di parkiran sebuah kafe, lantas berjalan masuk dan menemui pak Saefudin yang sudah menunggu.

"Assalamu'alaikum," sapa Nabila sembari duduk di kursi seberang pak Saefudin. "Wa'alaikumussalam, saya kira Ibu tidak akan datang," kaya pak Saefudin sembari menyodorkan daftar menu pada Nabila. 

"Nggak usah Pak, soalnya saya tidak bisa lama-lama takut terjadi fitnah, langsung saja Pak ada perlu apa ya?"

Pak Saefudin diam sejenak dan mulai berkata-kata. "Bu, saya ingin berterus terang akan sesuatu kepada Ibu."

"Iya Pak, silahkan."

"Saya…." Pak Saefudin mencoba meraih tangan Nabila, namun sebuah teriakan mengehentikannya.

"Jangan! Ibu jangan percaya pada Pak Saefudin. Dia tidak pantas untuk Ibu!" Suara Faesal mengejutkan pak Saefudin dan Nabila. "Apa-apaan kamu?!" Pak Saefudin tidak terima dengan perkataan Faesal. "Bu, ibu guru mau tahu siapa yang memukuli saya waktu itu? Dia Bu orangnya!" Faesal begitu marah melihat pak Saefudin mendekati ibu guru Nabila. Sedang Yudi berdiri dibelakang Faesal menyiapkan diri takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

"Apa benar, Pak? Kok Bapak tega melakukan itu?" Mata Nabila berkaca-kaca. Ia tidak menyangkal pak Saefudin sampai memukul Faesal. Namun, pak Saefudin hanya diam.

"Bu, Pak Saefudin benar-benar terobsesi sama Ibu." Faesal kembali menjelaskan pada gurunya itu. "Pak, kita boleh suka atau bahkan mencintai seseorang, tapi tidak dengan gelap mata dan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita mau. Saya rasa Pak Saefudin lebih mengetahui ketimbang saya." Kali ini Nabila meneteskan air mata, ia merasa karena dirinya lah semua ini terjadi.

"Saya minta maaf Bu, sama kamu juga Faesal. Saya benar-benar khilaf, sekarang saya sadar Bu, saya memang tidak pantas mencintai Ibu guru Nabila. Faesal mau maafin saya?" Pak Saefudin mengulurkan tangannya pada Faesal, namun Faesal diam tak bergerak. Melihat itu, Nabila pun memberikan nasihat pada Faesal.

"Faesal, barang siapa yang berbuat baik pada orang lain, sebenarnya dia tengah berbuat baik pada dirinya sendiri."

Dan Yudi pun ikut mendukung Faesal agar memaafkan pak Saefudin dengan mengangkat tangan kanan sahabatnya itu untuk bersalaman pada pak Saefudin.

"Ya, saya maafkan." 

Pak Saefudin tersenyum. Ibu Nabila dan Yudi pun turut bahagia. 

"Bagaimana kalau kita makan dan minum bersama di sini. Saya yang traktir," usul Nabila bersemangat. "Tapi Bu, Ibu kan perempuan sendiri," kata Yudi mengingatkan gurunya itu. "Nggak apa-apa, sesekali. Toh, di sini kan rame dan masih sore juga," jawab Nabila membuat semua tersenyum.

"Bu, saya boleh pesan yang mahal nggak?" canda Yudi. "Huuu… maunya!" sela Faesal dan semua pun tertawa.

Dan sore itupun begitu indah mereka rasakan, karena mereka telah saling memaafkan dan ada keakraban terbangun diantara mereka. Pak Saefudin tak lagi terobsesi pada Nabila, ia sadar bahwa Nabila tak akan pernah mencintainya. Begitupun dengan Faesal, sesungguhnya perasaan pada guru cantiknya itu hanyalah sebatas kekaguman dan hanya rasa ingin diperhatikan oleh orang lain karena di rumah ia tidak mendapatkan itu. Juga Nabila, dirinya lega karena tak lagi menjadi sumber permasalahan bagi yang lain, sedang untuk Yudi ia juga bahagia karena tak pernah merasa sedekat ini dengan pak Saefudin. Dan ternyata baginya pak Saefudin tak seburuk yang ia pikirkan selama ini.

Seminar di pesantren Darul Muttaqin.

Suasana sibuk di gedung serba guna pesantren Darul Muttaqin. Begitu terlihat kursi-kursi telah tertata rapi, dan begitu juga podium telah di dekor sedemikian rupa. Para ustad dan santri berharap acara ini akan berjalan lancar serta para pemateri pun bisa hadir semua. Karena akan ada sekitar lima ratus peserta seminar yang akan datang.

Gus Salim beranjak dari duduknya ketika ia melihat Azizah dan Hamida terlihat menghampirinya dalam keramaian kegiatan seminar kali ini.

"Assalamu'alaikum." Hamida menarik tangan Azizah agar lebih dekat dengannya. "Wa'alaikumussalam, gimana kamu juga mau jadi pemateri di seminar ini?" tanya Gus Salim pada Azizah yang terlihat begitu cantik hari ini. "Nggak Gus, saya ke sini hanya ingin jadi peserta, " jawab Azizah sembari tersenyum. 

"Oke, nggak apa-apa. Kalian boleh cari tempat duduk di mana saja terserah."

Lihat selengkapnya