Badrun sudah bersiap di gerbang pondok pesantren untuk menunggu Gus Salim karena memang begitulah yang di pesankan padanya agar tidak ada yang melihat kepergian mereka. Sudah setengah jam Badrun menunggu, tapi Gus Salim tak kunjung datang. Lalu, ia beristirahat untuk menelpon putra Kyai nya itu.
"Astaghfirullah, aku lupa bawa ponsel." Badrun menggerutu sendiri karena mau tak mau ia harus tetap menunggu.
"Kang Badrun, ngapain di sini?"
Badrun kaget bukan kepalang karena yang menegurnya adalah Hamidah yang tengah bersama Azizah.
"E—Nduk Hamida, kang Badrun jadi kaget. Kok ada di sini?"
"Kok kang Badrun malah ganti nanya. Emangnya kang Badrun ngapain di sini?"
"Nggak, nggak lagi ngapain-ngapain."
"Bener? Kok kayaknya menunggu seseorang?" tanya Hamida. Namun tiba-tiba nampak lah Gus Salim membuka gerbang pesantren dan langsung kaget melihat Hamida dan Azizah ada di sana.
"Hamida? Azizah?"
"Kok Mas Salim kaget melihat kita berdua? Memang ada apa?" tanya Hamida melihat kakaknya gugup.
"Nggak ada apa-apa. Kalian berdua dari mana?"
"Dari pasar, belanja sayur sama ikan. Soalnya mbak Azizah ingin melihat-lihat suasana pasar disini. Jadi ya, saya antar. Mas sendiri mau ke mana?"
"Nggak kemana-mana, cuma mau ada urusan sebentar."
"Urusan apa?" Hamida menelisik karena menurutnya ada yang aneh pada diri kakaknya.
"Sudahlah Hamida, mungkin Gus Salim memang ada urusan. Kasihan kamu tanyain terus," kata Azizah membela Gus Salim meski dalam hatinya memang ada yang aneh pada Gus Salim, karena untuk apa dia pergi sembunyi-sembunyi kalau tidak ada sesuatu.
"Ya sudah, tapi jangan lupa lho Mas, nanti malam Mas di undang tausiyah di masjid An-Nur kampung Tegal Sari. Soalnya kalau sampai nggak datang saya nggak enak. Saya kan terlanjur mengiyakan waktu DKM masjid datang ke abi."
Waktu itu memang Gus Salim tidak sedang tidak ada di rumah dan dihubungi Hamida lewat ponsel juga tidak di angkat olehnya. Sedang abinya, Kyai Abdullah, sedang sakit jadi tidak bisa datang bila ada panggilan ceramah.
"Insya Allah, Mas pasti datang. Ya sudah, Mas pamit dulu. Ayo Badrun kita berangkat! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Hamida dan Azizah melepas Gus Salim pergi bersama dengan Badrun, asistennya.
Sepeda motor Badrun memang tua, tapi karena sepeda motor empat tak nya selalu ia rawat jadi masih nyaman di pakai.
"Kita mau ke mana, Gus?"
Angin yang berhembus kencang sewaktu mengendarai sepeda motor membuat suara Badrun tidak terlalu jelas.
"Apa?!"
"Kita mau ke mana?"
"Kita ke SMA IT GENERASI SOLEH."
"Kok mau ke sana?"
"Sudah turutin aja perintah ku."
"Ya sudah."
Mereka pun terus melaju menuju SMA IT GENERASI di mana Nabila mengajar.
"Setop! Kita berhenti disini!" teriak Gus Salim memberi aba-aba pada Badrun.
"Lho, katanya ke SMA IT GENERASI SOLEH. Kok malah berhenti di sini?"
"Sudah diam saja kamu. Ayo kita ke warung kopi itu." Gus Salim menunjuk sebuah warung kopi yang letaknya tidak jauh dari sekolah itu dan Badrun pun mengarahkan motornya ke arah warung kopi tersebut.
"Assalamu'alaikum." Gus Salim dan Badrun memasuki warung kopi itu yang di sambut baik si pemilik warung yang seorang ibu-ibu setengah baya.
"Wa'alaikumussalam. Silahkan Mas-mas, monggo, silahkan duduk, mau pesan apa?"
"Kopi Bu, dua gelas," jawab Gus Salim. "Ya, tunggu sebentar saya buatkan." Ibu penjual pun membuat dua gelas kopi dan menyajikannya pada Gus Salim dan Badrun.
"Bu, maaf saya mau tanya. Kalau SMA IT GENERASI SOLEH itu pulang sekolahnya jam berapa ya?" tanya Gus Salim setelah menyeruput sedikit minuman kopinya.
"Jam empat sore Mas. Memangnya ada apa?"
"Tidak ada apa-apa Bu, saya cuma tanya." Gus Salim melihat jam tangannya yang masih menunjukkan pukul satu siang, berarti dia menunggu lama sampai Nabila pulang.
"Guru-gurunya juga kadang suka mampir ke warung kopi saya." Ibu penjual mulai bercerita pada Gus Salim, ia pun serius mendengarkan.
"Oh ya? Guru perempuan apa laki-laki?"
"Laki-laki kalau perempuan ndak pernah. Cuma pernah sekali mampir nyari muridnya yang bolos."
"Kalau boleh tahu siapa, Bu?"
"Itu bu guru Nabila, orangnya cantik dan sopan. Dia nyari muridnya yang bolos ke warung saya dan semenjak itu muridnya itu nggak pernah ke sini lagi. Kata guru-guru lain sudah nggak bandel lagi anaknya."