Sudah satu jam Gus Salim menunggu di parkiran, ia mulai gelisah karena takut terlambat datang di acara pengajiannya. Terdengar ponselnya berbunyi, dan terbaca nama Badrun di layar ponselnya.
"Assalamu'alaikum, Gus. Gimana kok belum sampai di rumah? Jangan lupa Gus, acara pengajiannya."
"Wa'alaikumussalam, iya sebentar lagi. Gini aja, kamu bawakan baju saya, lalu kamu pergi ke tempat pengajiannya pake mobil saya. Minta kuncinya sama bi Kokom." Bi Kokom adalah asisten rumah tangga di kediaman Kyai Abdullah.
"Ya sudah, jangan sampai telat ya, Gus."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Pak Haji Kartono dan istrinya juga Nabila telah sampai di parkiran rumah sakit usai membesuk mbah Rejeb dan segera masuk ke mobil bersama Gus Salim. Mobil yang mereka tumpangi melintasi jalan-jalan kota dan Gus Salim mulai menancap gasnya lebih kencang dan ketika telah memasuki jalanan desa menuju rumah Nabila yang terlihat sepi, lalu ia menancap gas lebih kencang lagi menjalankan laju mobil.
"E...e... mbok ya pelan-pelan kalau terjadi apa-apa gimana?" Bu Haji Kartono ketakutan.
"Lagian kamu kok ya kenceng-kenceng bawa mobilnya, kayak takut ketinggalan kereta aja." Pak Haji Kartono ikut menimpali.
"Maaf, Pak Haji. Saya sebenarnya ada urusan, sudah di tunggu teman."
"Tapi, mbok ya ati-ati."
"Iya, maaf Pak Haji," jawab Gus Salim sembari melirik Nabila lewat kaca depan mobil. Ia takut Nabila marah padanya.
Setelah sampai, Gus Salim pun bergegas pamit dan menuju lokasi di mana ia harus bertausiyah. Di ujung jalan terlihat Badrun tengah berdiri di sebelah sebuah mobil sedan hitam menunggu dirinya. Ia segera masuk ke mobil dan berganti pakaian, sedang Badrun kini bergantian menaiki sepeda motornya mengikuti Gus Salim dari belakang
Gus Salim dan Badrun sangat bersyukur karena tidak terlambat dalam acara pengajian itu dan rasa syukur pun bertambah karena acara berjalan dengan lancar, meski harus pulang larut malam.
Sampai di kediaman, rasa lelah mulai dirasakan Gus Salim. Ia merebahkan diri di peraduannya, matanya menatap langit-langit kamar dan terlukis wajah Nabila disana. Ia pun tersenyum, tapi matanya perlahan mulai terpejam dan ia pun terlelap dalam tidur.
Seusai salat Subuh, Gus Salim ingat bahwa ia sekarang tengah bekerja sebagai supir di rumah Nabila. Sepertinya ia harus cepat bersiap-siap agar tidak terlambat. Ia mencari-cari Badrun di asrama putra untuk meminjam motornya lagi. Ia sangat senang setelah menemukan Badrun tengah mencuci motor di dekat toilet asrama putra.
"Gus, Gus. Sampean kok yo nekat jadi sopir to?" Badrun menyesali perbuatan Gus Salim setelah mendengarkan ceritanya.
"Sudahlah, pinjami aku motor mu."
"Ya sudah, nih kuncinya. Dasar orang lagi jatuh cinta. Terus gimana tugas-tugas Gus Salim di pesantren?"
"Sementara kamu yang ambil alih."
"Teganya...."
"Amal!!"
"Yowes, ati-ati."
"Ya, makasih. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Nabila tengah duduk di teras rumah ketika Gus Salim sampai di rumahnya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Suara Nabila terdengar pelan. "Sibuk?" tanya Gus Salim.
"Nggak, hari ini hari minggu jadi nggak sibuk. Maaf saya masuk dulu."
"Iya." Gus Salim mengangguk sambil mengatupkan bibirnya. Ia senang Nabila tidak jadi marah padanya.
Pak Haji Kartono datang dari halaman belakang dan senang ketika melihat Gus Salim telah sampai di rumahnya.
"E...e... Sopir ku sudah datang. Oh ya, sekarang kamu bawa mobil, anterin saya bawa padi dari sawah!"
"Baik, Pak Haji. Mobil pick-up ya Pak Haji?"
"Ya iya lah, orang mau bawa padi masa pake mobil yang bagus. Udah cepet sana!"
"Baik, Pak Haji."
Ketika ia tiba di sawah yang padinya telah di beli oleh pak Haji Kartono, para pekerja telah selesai memasukkan bulir-bulir padi yang telah di pisahkan batangnya dengan mesin pemisah padi dalam karung-karung yang besar. Semua pekerja yang jumlahnya lima orang, mulai mengangkuti karung-karung berisi padi tersebut. Entah apa yang ada dalam pikiran Gus Salim. Sepertinya ia ingin dilihat oleh pak Haji Kartono. Tiba-tiba saja, ia mengangkat sebuah karung di dekatnya untuk di masukkan ke bak mobil. "Masya Allah, beratnya!" Ia berteriak dalam hati. Ia sampai mengejan mengangkat karung itu.
"Kamu kuat nggak?" tanya pak Haji Kartono, sedang Gus Salim malu bila ia tak meneruskan pekerjaannya.
"Kuat, Pak Haji." Ia merasakan punggungnya begitu kaku karena menggendong karung padi yang beratnya 50 kg. Namun, apa daya ia lagi-lagi terjebak dalam situasi yang ia buat sendiri.
Pak Haji Kartono dan Gus Salim sampai di rumah bersama kelima pekerjanya. Kemudian, karung-karung padi pun di angkat ke dalam gudang di belakang rumah. Gus Salim duduk di teras melepas rasa lelah. Namun, semua terbayar setelah melihat tawa Nabila yang tengah bercanda dengan seorang teman wanitanya di halaman rumah. Dan tak lama kemudian, temannya itu pun pulang dengan mengendarai motor matic berwarna merah.
"Teman kamu?" tanya Gus Salim pada Nabila ketika Nabila hendak masuk ke dalam rumah.
"Iya, dia teman saya namanya Tiara. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Cuma tanya." Gus Salim tersenyum dan berharap senyumnya itu di balas oleh Nabila. Benar saja, Nabila membalas senyumnya, tapi senyumannya itu seolah meledeknya karena Nabila melihat Gus Salim sangat kelelahan.
"Masih kuat jadi supir bapak saya?"
"Kamu ngeledek saya?" Gus Salim tersenyum lagi mendengar pertanyaan Nabila yang menurutnya menyindir dirinya. "Nggak, cuma tanya. Sabar ya... selamat menikmati." Nabila tersenyum meledek Gus Salim lagi dan kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Sedang Gus Salim tertawa kecil melihat kepergian Nabila.
Jam dinding kediaman Kyai Abdullah menunjukkan pukul 10 malam. Ketika Gus Salim masuk, lampu-lampu rumah sudah di matikan. Gus Salim berjalan pelan agar tidak berisik hingga membuat Kyai Abdullah terbangun.