Pagi ini pak Haji Kartono duduk di teras rumah. Wajahnya masih sedikit pucat dengan menggunakan sweater biru dan syal hijau tua. Beliau ingin menikmati pagi yang segar di desanya.
"Pak, kok Bapak duduk di luar?" Nabila menghampiri bapaknya dan bersimpuh di lantai, ia tampaknya ia sudah siap pergi mengajar hari ini.
"Bapak sudah sembuh Nduk. Cepet berangkat ke sekolah. Anak-anak murid mu sudah menunggu." Pak Haji Kartono mengelus-elus punggung Nabila dengan penuh kasih sayang dan Nabila pun tersenyum.
"Nabila pamit ya, Pak. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Oh ya, Nduk menurut kamu Agus itu orangnya gimana?" Pak Haji Kartono mengehentikan langkah Nabila.
"Kenapa Bapak tanya seperti itu?"
"Ndak apa-apa. Sudah sana berangkat." Pak Haji Kartono melepas senyuman pada anak perempuan yang sangat di sayanginya dan Nabila pun membalas senyum bapaknya dengan senyum yang manis.
"Anak ku cantik," gumam pak Haji Kartono.
Gus Salim sampai di rumah pak Haji Kartono ketika Nabila baru saja berangkat. Ia memperhatikan sekitar berharap bertemu Nabila.
"Kamu itu nyari opo to Agus? Sini, duduk sini," sapa pak Haji Kartono ketika melihat Gus Salim sampai di rumah dengan menggunakan motor bututnya.
"Assalamu'alaikum." Gus Salim mencium tangan pak Haji Kartono.
"Wa'alaikumussalam. Kenapa celingak-celinguk, kamu nyari Nabila?" Pertanyaan pak Haji Kartono membuat Gus Salim gugup.
"E-Enggak Pak Haji."
"Sudahlah, aku tahu kamu suka sama anak saya." Ucapan pak Haji membuat Gus Salim semakin gugup dan binggung dari mana beliau tahu kalau ia jatuh hati pada putrinya.
"Iya Pak Haji...tapi saya sadar, siapa saya."
"Sebenarnya saya juga suka sama kamu. Kamu orang yang baik masalah kamu orang kaya atau bukan masalah saya ndak tahu apa Nabila juga sama kamu."
Bagai di terpa angin surga, hati Gus Salim begitu bahagia dan damai. Bunga-bunga surga pun tampak mekar indah di matanya.
"Oh ya, hari ini kita tidak ke mana-mana. Jadi, kamu boleh pulang, tapi besok kamu antar beras ke kota di temani pak Paimo karena dia sudah pulang."
"Pak Paimo sudah pulang?" Gus Salim begitu kaget mendengar bahwa pak Paimo sudah pulang karena pasti penyamarannya sebagai supir di rumah ini akan diketahui oleh pak Haji Kartono. Buru-buru ia pamit dan mencari rumah pak Paimo untuk meminta bantuan padanya agar mau menyembunyikan jati dirinya. Sungguh beruntung Gus Salim, ternyata pak Paimo sudah mengenalnya karena sering mengikuti pengajian di pesantren Darul Muttaqin. Akhirnya, Gus Salim merasa lega akan hal itu.
Di dalam kamar, Azizah menangis mendengar cerita Hamida tentang Nabila. Ia merasa sudah putus harapan untuk mendapatkan Gus Salim, namun Hamida mencoba untuk menghiburnya.
"Jangan menangis Mbak Azizah. Gus Salim pasti cuma main-main dan nggak serius. "
"Nggak, Hamida. Saya yakin dia pasti menyukai gadis itu, saya melihatnya waktu di seminar."
"Saya jadi bingung, Mbak."
"Apa yang akan saya katakan pada abah tentang hubungan saya dan Gus Salim. Saya bisa menerima semua ini, tapi Abah pasti marah karena Kyai Abdullah lah yang meminta agar abah mau berbesan dengannya."
"Iya Mbak, saya juga takut kalau hubungan abi dan abahnya Mbak Azizah jadi meregang. baiklah, kalau begitu nanti saya bicarakan dengan abi. Semoga abi punya solusinya."
Kemudian mereka pun terdiam dalam kekalutan pikiran. Azizah tak menyangka Gus Salim tidak menginginkannya, walau ia telah berusaha menyenangkan hatinya dengan memberikan banyak perhatian. Dan bagi Hamida ini adalah pertaruhan untuk harga diri orang tuanya karena abinya lah yang memulai semua ini.