Bukan Ayat-ayat Cinta

Nikmatul Choeriah
Chapter #13

Bab 13

Sudah 4 tahun lebih Nabila meninggalkan rumah dan desanya. Kini ia rindu dan ingin kembali, sekarang ia telah menjadi wanita yang lebih kuat dan sudah mampu menerima setiap takdir hidup yang ditulis Sang Ilahi.

Sebuah mobil travel yang sama, yang dulu pernah ia tumpangi sewaktu pergi meninggalkan rumahnya, kini mengantarkannya kembali pulang. Di sepanjang jalan, Nabila menikmati indahnya pemandangan alam yang hijau menyejukkan mata, melihat kokohnya gunung Merapi yang berdampingan dengan gunung Semeru dan semua masih tetap sama seperti dulu. Dan hanya saja, yang berubah yaitu rumah-rumah penduduk beradat Jawa banyak yang di renovasi menjadi rumah berarsitektur modern. Namun, sudah tak sedikit pula yang masih mempertahankan bangunan rumah yang berbentuk limasan.

Mobil travel itu berhenti tepat di depan rumah yang sejak kecil ia tinggali. Nabila segera turun dengan membawa sebuah tas koper dan tas cantik kesayangannya di bahu kiri. Dengan perlahan Ia membuka kunci gembok pagar.

"Assalamu'alaikum, bapak...ibu... Nabila pulang." Air matanya menetes memandangi halaman rumahnya yang bersih dan bunga bunganya pun masih tumbuh segar seperti dulu saat ia tinggalkan. Nampaknya Mbak Sri mengurusnya dengan baik. Dengan berlinang air mata Nabila membuka kunci pintu rumahnya, sayup-sayup ia seolah mendengar tawa almarhum ibu dan bapaknya yang tengah bercanda. Seandainya saja, ia bisa bertemu lagi dengan kedua orangtuanya sebentar saja, buka hanya foto-foto keluarga yang terpajang di dinding ruang tamu yang bisu tak bersuara.

Seperti biasanya mbak Sri datang ke rumah Nabila setiap pagi. Namun, ia heran ketika hendak membuka pintu pagar rumah. Karena bentuk pintu pagar tidak terkunci juga pintu rumah yang setengah terbuka, seketika itu ia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Mbak Sri mulai melangkah pelan menuju pintu. Ia yakin Nabila sudah pulang karena rumah itu hanya punya dua kunci dan salah satunya di pegang oleh Nabila.

Dada Nabila berdegup kencang memasuki kamar tidurnya, di ranjang tidur ia melihat banyak kuntum bunga mawar yang sudah kering dan kini ia melihat amplop putih yang ditindih sekuntum mawar merah yang kelopaknya sudah terlepas menandakan sudah lama amplop putih itu ada di sana.

Nabila membuka amplop itu yang ternyata berisi sebuah surat.

Assalamu'alaikum...

Untuk Nabila.

Nabila saya harap suatu saat nanti kamu bisa membaca surat ini. Saya benar-benar minta maaf atas segala yang terjadi. Nabila...kabar yang kamu dengar tentang pernikahan saya dengan Azizah itu sama sekali tidak benar. Azizah membatalkan pernikahan kami sebelum hari pernikahan kami. Ia ingin saya kembali kepadamu, karena ia tahu hanya kamu lah yang saya sayangi. Namun setelah saya kembali ke rumah ini, kamu sudah pergi. Maafkan saya kerena tidak dapat menghadiri pemakaman kedua orangtuamu, karena orangtua saya juga meninggal di waktu yang hampir bersamaan.

Nabila... seandainya kamu nanti pulang, saya ingin kamu mau kembali pada saya lagi dan kita hidup bersama. Mawar-mawar itu adalah bukti bahwa saya sangat mencintaimu. Setiap kali menitipkan mawar-mawar itu kepada mbak Sri untuk ditaruh di tempat tidurmu dan saya bukan tidak pernah mencarimu...saya sudah bertanya-tanya pada teman-teman saya yang berada di Mesir, juga saya pernah mencarimu ke sana. Namun, tak pernah saya temukan. 

Nabila...aku masih menunggumu.

Dari Gus Salim.

Wassalamu'alaikum..

Nabila terduduk di kursi kamar. Ia terisak menggenggam surat dari Gus Salim. Ia tak menyangka kejadiannya akan seperti ini. Seandainya dulu dia sedikit lebih sabar, mungkin kini ia telah bahagia dengan Gus Salim.

"Nabila...." Terdengar suara Gus Salim memanggilnya dan ia pun menoleh ke arah pintu kamar. Ia melihat Gus Salim dan mbak Sri Tengah berdiri berdampingan. Gus Salim masih tampak seperti dulu, sedangkan Mbak Sri rambut keritingnya kini sudah banyak ditumbuhi uban dan sedikit terlihat lebih tua dari yang dulu.

"Maafkan aku, Gus…." Nabila semakin terisak dan mbak Sri memeluknya karena sesungguhnya mbak Sri juga sangat merindukannya.

"Kamu nggak salah Nduk, Gus Salim juga tidak salah. Semua ini adalah takdir Allah untuk kalian." Mbak Sri pun kini terisak-isak mengenang nasib anak almarhum majikan yang selalu baik pada dirinya, yang tak pernah sekalipun menganggapnya seorang pembantu.

Gus Salim mendekat dan duduk dipinggiran tempat tidur. "Kamu ingat kisah Nabi Adam dan Hawa, kan? Jalan mereka pun berliku-liku untuk dapat bersatu. Nabila, sekarang kamu sudah kembali, saya ingin kamu menikah dengan saya. kita tidak akan terpisah lagi, kita akan bahagia. Kamu mau, kan?" 

"Mbok jawab mau gitu lho…." Mbak Sri mencubit kedua pipi Nabila dan menggoyang-goyangkannya ke kanan dan ke kiri sambil tertawa, walau air matanya masih menetes.

"Iya...saya mau…." Nabila tersenyum begitupun dengan Gus Salim yang merasa lega. Akhirnya, penantiannya itu tak sia-sia, doa-doanya kini pun sudah terjawab tidak ada lagi yang kurang dalam hidupnya kerena di matanya saat ini hidupnya sudah sempurna.

Sudah lima hari Nabila tinggal di rumah, kenangan demi kenangan tentang masa kecil hingga dewasa yang ia lewati bersama orangtuanya masih terekam jelas dalam memori pikirannya dan hari ini ia ingin mengunjungi makam di mana kedua orangtuanya menghabiskan tidur panjangnya. Ia ingin mengabarkan bahwa dirinya telah kembali dan akan menikah dengan pujaan hatinya, Gus Salim. Walau, ia sadar orangtuanya tak akan bisa berkomunikasi dengannya. Namun, ia yakin bapak dan ibunya pasti melihat dan mendengarnya.

Pemakaman itu tak begitu jauh dari rumahnya, jaraknya hanya berkisar 600 meter. Dengan ditemani mbak Sri, ia berjalan menyusuri pinggiran jalan desa, sawah-sawah yang hijau tampak seperti permadani hijau yang di gelar Allah begitu luasnya juga burung-burung yang berterbangan. Ku lantunkan tasbih-tasbih memuji naman-Nya, sapa para penduduk yang ramah. Ketika bertemu dengan-Nya membuatnya merasa lebih bahagia, mereka juga tak pernah lupa pada orangtuanya bahkan banyak yang masih memuji-muji kebaikannya, sungguh ini suatu yang membahagiakan.

Sampai di pintu pemakaman, air mata Nabila mulai menetes. Ia dan mbak Sri mengucapkan salam untuk para ahli kubur dan mereka berdua berjalan menuju kedua makam ibu dan bapaknya. Seketika ia terkejut karena melihat Ponidi sedang berada di sana.

"Mas Ponidi."

"Nabila…."

Lihat selengkapnya