Bukan Ayat-ayat Cinta

Nikmatul Choeriah
Chapter #14

Bab 14

Jam 10 pagi Nabila dan mbak Sri berbincang di dapur rumah sambil menyiapkan makan siang nanti. Nabila meminta mbak Sri untuk memasak yang banyak agar bisa di bawa pulang untuk suami dan anaknya, supaya ia tidak repot-repot lagi masak di rumahnya lagi.

"Nduk, coba nih cicipi sopnya udah enak belum?" Mbak Sri mengulurkan sebuah sendok berisi kue ke Nabila.

"Udah Mbak, udah enak," jawab Nabila setelah menyeruput kuah sop di sendok. Namun, perhatian mereka kini tertuju pada suara pintu yang terketuk.

"Tu Nduk, Gus Salim lagi. Wes...wes...namanya juga wong lagi kasmaran, kangen terus tiap hari, baru saja kemarin dateng sekarang dateng lagi." Mbak Sri berceloteh sembari membolak-balikan daging ayam yang tengah di gorengan.

"Saya ke depan dulu ya, Mbak Sri." Nabila beranjak dari tempat duduknya menuju pintu rumah yang masih terkunci, tapi alangkah terkejutnya ketika ia tahu siapa yang datang.

"Faesal?"

"Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumussalam. Kita ngobrolnya di teras saja ya. Nggak enak kitakan cuma berdua."

"Siap Bu. He...he...he...."

"Kamu masih suka bercanda aja."

"Nggak ada yang berubah, Bu, semua masih sama."

"Menurut saya tidak, sekarang kamu terlihat lebih dewasa."

"Oh ya, Bu. Terima kasih. Ibu sekarang juga banyak berubah."

"Pasti. Ibu tambah tua, kan?"

"Nggak tambah tua Bu, tapi tambah cantik."

"Mau gombalin Ibu ya kamu?

"Kalau Ibu mau."

"Nggak, Ibu nggak mau."

"Ya sudah, berarti saya nggak jadi gombalin Ibu."

"He...he...he...kamu tuh ya ngelucu aja."

Faesal bahagia bercampur rasa sedih karena sudah lama sekali tidak melihat dan mendengar tawa ibu Nabila. 

"Bu, boleh nggak sekarang saya panggil Nabila saja pada Ibu?"

"Kenapa?"

"Saya kan, sekarang sudah dewasa. Saya sudah mapan dan mandiri. Dan itu, mobil yang terparkir di halaman itu saya beli dengan uang saya sendiri."

"Saya lebih tua dari kamu Faesal. Kalau tidak mau memanggil saya Ibu, panggil saya Mbak."

"Saya tidak mau, saya tetap akan panggil Nabila."

"Kenapa?"

"Selama ini saya memendam rasa perasaan yang dalam sama kamu, Nabila...."

"Tolong Faesal, jangan melampaui batas!"

"Apakah saya berdosa memiliki perasaan terhadap kamu, Nabila."

"Setop, panggil saya Nabila!"

"Oke, jangan marah Nabila, tapi tolong jelaskan apakah saya salah bila mencintai kamu?"

"Nggak ada yang salah, Faesal. Kita ini sangat berbeda."

"Maksudnya berbeda apa? Saya lebih mudah jadi tidak bisa memiliki kamu?"

"Faesal-" Nabila mencoba menjelaskan kepada Faesal, tapi Faesal memotong pembicaraannya.

"Baik, Nabila saya akan pulang, tapi saya mohon pikirkanlah kembali tentang perasaan saya ini."

"Faesal kamu harus tahu bahwa…." Ucapan Nabila tidak didengarkan lagi oleh Faesal dan berlalu pergi dengan mobil sedan hitamnya.

Nabila terdiam dalam kamar. Ia menyoroti kertas dan tak jelas menulis apa. Sekarang ia berpikir tentang karirnya yang menurutnya masih jauh dari kata sukses, semoga kelak setelah menikah Gus Salim tak membatasinya dalam berkarir. Doanya dalam hati.

"Nduk, pak Paimo dan pakde Ompong datang. Katanya ingin menemuimu." Mbak Sri menghampiri Nabila yang masih bermalas-malasan di tempat tidur di tempat tidur.

"Iya, Mbak, entar saya ke sana. Mbak Sri tolong buat kopi saja dulu untuk mereka berdua. "

"Oh ya, Nduk, pak Paimo dan pakde Ompong ada di teras rumah. "

"Iya, Mbak…." Nabila merapikan kerudungnya sebelum beranjak ke luar kamar.

Di teras rumah, pak Paimo dan pakde Ompong menunggu Nabila sambil bercanda agar suasana jadi menyenangkan dan tawa mereka pun sampai terdengar dari dalam rumah titik rumah. Sampai akhirnya terdengar Nabila mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawab pak Paimo dan pakde Ompong.

"Gimana kabarnya pak Paimo dan pakde Ompong?"

"Alhamdulillah, kami baik-baik saja," jawab pak Paimo.

"Iya Nduk, kami baik-baik saja. Lha, gimana kabarmu, kamu sekarang? Kelihatannya lebih kurus." Pakde Ompong merasa prihatin dengan keadaan Nabila sekarang.

"Itu perasaan Pakde Ompong saja, makan saya banyak lho Pakde."

"Nduk, kedatangan kami ke sini sesuai amanah almarhum bapak mu, agar kami menjaga rumah ini dan juga kamu." Wajah pakde Ompong terlihat sedih.

"Tapi, Pakde, Nabila belum bekerja jadi belum bisa ngasih gaji sama Pak Paimo dan Pakde Ompong. Nanti saja ya Pakde, kalau Nabila sudah kerja. Pak paimo dan Pakde ompong bisa kerja lagi di rumah ini."

Jawaban Nabila membuat kedua orang itu tambah sedih.

"Oalah Nduk, kamu itu ndak usah mikirin soal itu, yang penting kamu setuju kami jadi penjaga rumah ini lagi itu sudah cukup," ucap pakde Ompong membuat Nabila semakin terharu.

"Iya Nduk, rasanya kebaikan-kebaikan orang tua mu terutama almarhumah bu Haji Kartono itu benar-benar tidak bisa kami lupakan. Dulu, sewaktu anak pak Paimo sakit kena demam berdarah, ia membayar biaya rumah sakit ya Ibu mu, Nduk." Mata pak Paimo berkaca-kaca.

"Kebaikan pak Haji Kartono waktu hidup juga tidak bisa saya lupakan. Walaupun bapakmu itu kelihatannya galak, tapi hatinya baik lho, Nduk. Waktu rumah Pakde mau disita bank... Ya bapakmu yang nolongin. " Cerita Pakde ompong yang membuat Nabila yakin Allah pasti merahmati kedua orangtuanya di alam sana.

"Baiklah, Pakde Ompong dan Pak Paimo boleh kerja di sini lagi."

"Alhamdulillah," ucap pak Paimo dan pakde Ompong bersamaan.

Gus Salim hari ini membawakan Nabila seikat bunga mawar merah dan berharap Nabila menyukainya. Dengan jantung yang berdegup kencang dari sebelumnya ia menyetir mobilnya menuju rumah Nabila. Wajah Nabila kian menari-nari di matanya, sampai ia tak sadar telah menginjak gas mobil lebih kencang yang dan berteriak sekencang mungkin karena mobilnya tak bisa dikendalikan. Dan akhirnya ia menabrak sebuah pohon besar di pinggir jalan.

Lihat selengkapnya