Kedua adik Gus Salim, Hamida dan Farida menjemput di antar sopir pribadi mereka. Hari ini mereka akan membawa Nabila ke rumah Gus Salim untuk di kenalkan pada keluarga besar mereka. Ada rasa bahagia juga sedih yang kini Nabila rasakan, seandainya saja kedua orangtuanya masih hidup pastilah ia tak akan sendirian pergi ke sana.
"Boleh saya ajak mbak Sri?" Nabila menatap wajah kedua calon adik iparnya.
"Boleh, Mbak...," jawab Farida.
"Mbak Sri, ayo ikut!" Nabila menoleh ke arah mbak Sri yang ada di sampingnya.
"Ndak usah Nduk, mbak Sri malu...," jawab mbak Sri.
"Mbak, nggak usah malu Mbak, anggap kami sebagai keluarga Mbak Sri." Hamida merangkul mbak Sri membuat mbak Sri sampai terharu melihat Hamida dan Farida yang bersikap baik dan ramah pada dirinya.
"Baiklah, kalau begitu. Mbak Sri tak ganti baju dulu." Jawaban mbak Sri membuat Nabila, Hamida dan Farida senang.
"Nah, gitu dong," celetuk Farida dan membuat semua tertawa.
Nabila tidak menyangka kalau rumah kediaman keluarga almarhum Kyai Abdullah begitu besar. Ia bersama Mbak Sri di ajak masuk oleh Hamida dan Farida. Di rumah megah yang terletak persis di tengah pesantren dan bersebelahan dengan masjid besar milik pesantren Darul Muttaqin itu sudah ramai di penuhi oleh keluarga besar Gus Salim.
Seorang ibu paruh baya berkerudung panjang berwarna hitam langsung menghampiri dan mencium pipi Nabila.
"Oalah...lha wong cantik begini, gimana nggak kepincut to dek Salim.... Oh ya, kenalkan saya kakak sepupunya Gus Salim Salim. Nama saya Ruqayah, panggil saya Mbak Ruqayah ya...."
Semua tampak bahagia menyambut Nabila, sedang Gus Salim hanya tersenyum mencoba menyembunyikan kebahagiaannya.
Nabila menengok ke belakang ketika sebuah tangan menyentuh bahunya.