
Selamat datang di The Quart School!
Bukan, bukan kawan. Ini bukan sekolah luar negeri. Sekolah ini malah terdampar di sebuah tempat nun terpencil dimana di sekelilingnya banyak terdapat orang yang bahkan tak cakap naik sepeda. Nama sekolah ini memang agak nyentrik, lain daripada yang lain, tapi titel yang disandangnya jauh lebih nyentrik lagi.
Sekolah terbaik di Indonesia.
(Mohon diingat bahwa dalam buku sejarah sekolah ini tidak pernah dijelaskan siapa yang menyematkan titel bergengsi itu, dan bisa saja sekolah kami memakainya seenaknya saja tanpa mandat dari menteri pendidikan).
Apapun itu kawan, sekolah kami ini istimewa. Nanti kuceritakan lebih lanjut. Sebelum itu, kita harus bergegas ke kelas dulu. Ada PR yang belum sempat kukerjakan.
“Azka! Ah akhirnya, ini dia orangnya!” seseorang meneriakkan namaku dari pojok sana begitu melihat aku nongol di depan pintu. Namun aku tidak menggubrisnya, aku langsung saja menuju bangkuku, meletakkan tas, dan mengeluarkan buku PR matematika. Mulutku langsung sibuk berdecak, menyalahkan keteledoranku sendiri, kenapa sampai kelupaan PR sepenting ini. Kamu tahu bukan kawan, di beberapa tempat, kelupaan PR matematika bisa sama mengerikannya dengan bertemu setan.
“Astaga, halaman berapa, halaman berapa,” mataku sibuk membolak-balik buku, tanganku belepotan, makin gugup aku saat melihat jam. Astaga tinggal 25 menit sebelum bel masuk dan matematika adalah pelajaran pertama.
“Az, kau juga belum mengerjakan, astaga. Tadinya aku ingin menyontek,” temanku yang tadi menyapaku pertama kali, mendekat sambil menenteng buku tulisnya.
“Iya aku belum. Pergi sana, hari ini tidak ada contekan. Aku juga mau mengerjakan,” aku mengibaskan tangan, menyuruhnya menjauh.
“Astaga Az, mana mungkin aku mengerjakan sendirian. Bisa keriting otakku memikirkan soal-soal ini. Susah minta ampun.”
“Tanya Nasri saja sana,” ujarku, sekali lagi mengibaskan tangan.
“Dia juga belum tuh.”
“Eh?”
Otomatislah aku kaget. Nasri itu murid paling pintar di kelasku, kawan. Ah bukan kelas. Kami lebih suka menyebutnya lokal. Ya, lokal yang kutempati adalah lokal 4. Bagaimana Nasri si murid paling pintar di lokal 4, juga belum mengerjakan PR matematika ini.
“Wajar saja. Lupa bisa menimpa manusia manapun,” terdengar suara Nasri menyahuti. Lalu dia kembali fokus mengerjakan. Nasri duduk tepat di depanku, tapi lantaran terlalu panik, tadi aku tak sempat menengok ke arahnya.
“Ayolah Az, kalau kau tak mau menyontek, kita kerjakan sama-sama saja, bagaimana? Tinggal 20 menit nih waktunya.”