
Istirahat kedua, aku kembali tak ke kantin. Ada setidaknya dua insiden yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, ada sekitar sembilan orang yang kurang beruntung di ujung kelas Matematika tadi dan harus ikut Pak Farhan ke kantin untuk mendapat minuman istimewa. Wahid tidak termasuk di antara sembilan orang itu, dia berhasil menyelesaikan tugas dengan baik, aku membantunya, dan ini membuat dia ogah ke kantin.
“Tak mau aku, Az. Nanti kalau aku ke kantin, ketemu Pak Farhan, malah disuruh beliau minum jus petis itu. Tak mau aku,” ujar Wahid sambil memasang wajah jijik.
Baiklah, kalau Wahid tak mau diajak, kukira aku bisa ke kantin sendiri, menyusul Aram yang pasti sedang nongkrong santai di warung gorengan kesukaan kami. Begitu pikirku sementara. Namun, tepat saat aku melangkahkan kaki ke pintu, Aram muncul dengan wajah tertawa-tawa. Seolah dia sangat puas sesuatu telah terjadi.
Itulah insiden kedua yang menahanku tidak ke kantin hari itu. Mendengarkan cerita dari Aram.
“Ada apa Ram?”
“Seperti kataku Az, aku telah menyelesaikan masalahku sendiri dan sekarang aku sangat senang.”
“Itu bukan jawaban Ram,” sela Wahid yang juga penasaran dengan apa yang terjadi.
“Aku berhasil membalas perbuatan Nadia dan Okta. Sekarang mereka berdua juga harus merasakan bagaimana rasanya menghabiskan hari ini dengan baju lengket beraroma kopi. Kopi hitam lagi.” Di ujung kalimatnya Aram tertawa lagi. Lewat tawanya itu, kami bisa merasakan betapa puasnya dia.
“Kau bisa-bisa kena masalah, Ram.”
“Bodo amat Az. Yang terpenting aku bisa membalas perbuatan mereka. Berikutnya aku akan membalasnya di The Class Champions. Gadis-gadis itu harus tahu bagaimana rasanya berurusan dengan Aram. Aku akan membalas sampai ke akar-akarnya.”