
Setelah lonceng pulang sekolah dibunyikan, kami bertiga tidak langsung pulang. Aku, Aram dan Wahid menuju ke kantin. Wahid yang paling semangat, sebab sejak tadi pagi, dia tidak sempat ke kantin. Ada-ada saja masalahnya.
Meskipun sudah jam pulang, kantin Quart School tidak sepenuhnya tutup. Bangunan kantin ini sendiri unik sekali. Kantin Quart School seperti lapak di pasar tradisional, para pedagang terkotak-kotak dan memiliki toko masing-masing yang disekat dengan kawat. Ada banyak sekali kedai, warung atau apapun itu sebutannya. Kantin Quart School adalah kawasan terluas di sekolah ini, di dalamnya ada lebih dari 20 kedai dan warung. Beragam pula yang dijajakan, makanan tradisional sampai modern. Nanti aku jelaskan lebih lanjut.
“Ayo Az, kau mau memesan apa?”
“Pesankan teh es saja,” sahutku sambil mengambil tempat duduk agak keluar. Kami bertiga mampir di warung yang menjual gorengan. Warung biasa saja, tidak istimewa, tapi merupakan salah satu tempat paling ramai di kantin Quart School.
“Makannya?”
“Bakwan saja, ambilkan dua buah.”
“Oke.”
Kubiarkan saja Wahid mengurus pesanan, sementara aku menikmati angin semilir sambil melihat orang berlalu lalang. Murid-murid dari berbagai lokal dan tingkatan sedang bergerak pulang ke rumah masing-masing. Ada lebih dari 300 murid Quart School, jadi saat jam pulang, jalanan ramai bukan main.
“Hei, kau melamunkan siapa, Az? Ada adik kelas cantik baru lewat ya.”
“Jangan sembarangan bicara, Ram.” Aku melambaikan tangan pada Aram yang mengambil duduk di sebelahku. Yang ada, Aram-lah yang mata keranjang. Tak bisa melihat adik kelas yang cantik, langsunglah matanya berkedip-kedip. Teknik asmara tingkat tinggi.
“Kau jangan menilai aku begitu, Az. Aku bukan orang yang mata keranjang. Ketinggian itu penilaianmu. Yang ada, orang-orang sekarang, melihat ke arahku dengan pandangan jijik.”
“Ada-ada saja kau, Ram.”
“Hei, aku serius Az,” sahut Aram sengit. Saat itulah Wahid datang dengan menenteng tiga gelas teh es di tangan kirinya, dan sepiring gorengan di tangan kanannya. “Makanan datang, kawan-kawan.”
“Terima kasih banyak Hid. Kau sungguh kawan yang penge...”
“Bayar sendiri-sendiri, Ram,” Wahid bergegas memotong, membuat Aram berdecak, “sialan.”