
“Kenapa kamu tidak setuju, Nas?” tanya Lia.
“Aku cenderung bersimpati pada Aram dalam topik ini,” ucap Nasri tenang, “bagiku dia adalah korban, dan dia pantas untuk dibela.”
Korban? Pantas dibela? Kenapa Aram jadi terdengar seperti orang yang terlibat dalam kasus pemerkosaan itu? Dan sebagaimana sebuah kasus pemerkosaan, reaksi pertama yang dilontarkan oleh perempuan adalah seperti yang dikatakan Lia.
“Ah Aram itu kan laki-laki, Nas. Sudah begitu, dia suka iseng, mencari-cari celah agar orang lain kesal. Dengan tabiat seperti itu, pantaslah Aram mendapatkan balasan dari orang yang sanggup membalas perbuatannya, dan Nadia adalah orang yang sanggup tersebut.”
“Ya, dan wanita adalah spesies yang egonya paling sulit untuk dilacak.”
Aku dan Lia langsung terdiam. Kalimat Nasri itu terlalu canggih. Belum pernah aku mendengar kalimat semacam itu, atau menemukannya di buku-buku teks. Soalnya, dimana-mana, selalu dikatakan pria adalah makhluk berego tinggi, bukan wanita.
“Apa korelasinya dengan topik pembicaraan kita sebelumnya, Nas?” tanyaku.
“Coba kau bayangkan, Az. Apa yang terjadi, jika sejak awal, Nadia tidak perlu menanggapi tindakan Aram. Maksudku, biarkan saja dia melakukan apa yang dia suka.”
“Maksudmu biarkan saja Aram menyiramkan air es teh padanya begitu?” Lia bertanya, setengah tersinggung.
Sekarang aku juga mulai tidak nyaman. Takut kalau naskah novel ini dikritik dan diserang oleh kaum pembela feminis dan berujung pada tertangkapnya aku dengan tuduhan penyelundupan kepiting liar.