Bukan Badboy Penyelamat Sekolah

Muhammad Azhar
Chapter #10

Mozaik 10 : Pertemuan yang Mengubah Takdir



Masih di hari yang sama. Hari ini mata pelajaran terakhir untuk lokal 4 adalah mata pelajaran ekonomi. Kelas Ekonomi (ini bukan tentang tiket kereta), dipegang oleh Bu Indah. Beliau bukan tipikal guru nyentrik macam Pak Farhan, atau guru yang terlalu konservatif seperti Bu Hartini. Bu Indah adalah guru konvensional yang selalu mengikuti sistem.

Quart School membolehkan muridnya bolos, ya beliau bolehkan. 

Quart School menugaskan beliau mengajar, ya beliau lakukan. 

Quart School menyuruh beliau memenuhi standar kurikulum khusus, beliau sesuaikan. Bu Indah adalah tipikal guru yang manut, baik hati dan sopan. Namun justru karena itu, tidak ada daya tarik dalam pelajaran beliau. Aku yang pada dasarnya memang tidak suka pelajaran Ekonomi, bisa membayangkan siang ini bakal jadi siang yang amat membosankan. Harinya panas pula. 

Ah enak kali ya, jika aku membolos saja kali ini. Kebetulan, Ekonomi juga bukan mata pelajaran utama yang kuambil sebagai syarat mengikuti Mid Test dan Final Test. Ah pas sekali itu. 

Sayang sekali, aku tidak mendapatkan partner untuk menjalankan rencana bolosku. Wahid yang kuajak ke kantin, menolak mentah-mentah. 

“Sudah habis uangku Az.”

“Nanti kutraktir.”

“Malas aku ke kantin, nanti ketemu Nadia, Okta dkk. Lebih mending aku di kelas saja. Bu Indah adalah guru yang longgar, aku bisa curi-curi waktu untuk tidur di kelas.”

Gagal membujuk Wahid, aku ganti membujuk Aram. Ketika kuajak dia membolos ke kantin, Aram melotot. 

“Bolos Az? Bolos kamu bilang? Jangan sembarangan kamu Az. Ekonomi ini pelajaran yang paling penting. Nanti kalau aku sudah berkeluarga bersama Bu Indah, eh maksudku, kalau nanti aku sudah menikah dan berkeluarga, ekonomi ini adalah ilmu pertama yang terpakai. Ini ilmu untuk seumur hidup, Az. Betapa pentingnya pelajaran ekonomi. Tak mau aku membolos, Az.”

Seperti kata Lia, kawan, jangan sedikit pun percaya dengan kata-kata Aram itu. Aku sudah duduk sebangku dengan Aram sejak pertama masuk Quart School. Aku tahu persis, mengapa dia tidak mau membolos, ya sebab dia ingin bertemu Bu Indah, memandanginya dan menyimpan bayangan Bu Indah dalam-dalam di pikirannya. Sebab Bu Indah adalah guru muda yang cantik dan seksi. Kurasa kata seksi itu sudah cukup untuk mewakili, tak perlulah kusinggung soal lingkar bokong dan buah dada. Maafkan aku menteri Pendidikan, tapi soal ini aku buka-bukaan saja.

Derap langkah Bu Indah sudah mulai terdengar di ujung lorong, itu artinya waktu untuk kabur bolos semakin sempit. Jadilah aku, di detik terakhir, terpikir untuk mengajak Nasri. Meski agak gila, sebab Nasri jarang sekali bolos jam pelajaran. 

“Nas, mau ikut ke kantin?”

Dia langsung menggeleng. Habis sudah harapan. 

“Baiklah. Kalau tidak ada yang mau, ya sudah, aku ke perpustakaan saja deh.”

“Tunggu, apa? Perpustakaan? Aku ikut.” Nasri tiba-tiba berdiri. Aku menatapnya tidak percaya. “Ya, aku mau berganti suasana. Di sini terlalu membosankan. Ayo.”

Sementara di depan sana, Bu Indah sudah berjalan, berlenggok indah (sesuai nama beliau) masuk ke kelas. “Selamat siang semuanya.”

Lihat selengkapnya