
Gambar hanya ilustrasi, terima kasih DALLE Open AI
Baru pagi hari, kawan, hatiku sudah berbunga-bunga. Mungkin sudah suratan takdir, atau sengaja memang Yang Maha Tinggi menjebakku dalam situasi ini. Apapun itu, aku sangat berterima kasih.
Tadi, sesaat setelah meletakkan sepeda motorku parkir di tempat yang sesuai, aku baru menyadari, kalau orang yang parkir tepat di belakangku, sekitar enam atau tujuh langkah di depan sana, adalah gadis yang belakangan mengisi pikiranku. Dialah Syifa, gadis bermata cemerlang.
Dia sepertinya tidak menyadari keberadaanku. Setelah membuka helm, mengambil tote bag, memastikan tidak ada yang tertinggal di sepeda motor, dia langsung berjalan cepat ke arah lorong. Dengan sikap yang keren, seolah tidak disengaja juga, aku mengikutinya. Toh arah ke lokal kami sama.
Tidak kawan, aku cuma mengekor langkahnya. Aku belum berani berjalan di sebelahnya dan mengobrol beberapa hal. Aku masih gugup. Mungkin benar kata Lia, efek tidak pernah pacaran, aku jadi kikuk dalam situasi-situasi intim dengan seorang gadis.
Terus kuikuti Syifa sampai dia tiba di lokalnya. Dia masuk, sementara aku bengong melihatnya. Syifa baru saja masuk ke ruang lokal 5. Aram benar, gadis itu berasal dari lokal yang sama, dengan Nadia dan Okta. Ah, tidak mengapa. Mereka cuma teman sekelas. Itu tidak akan menghalangiku untuk mendekati Syifa.
Baru saja hatiku memutuskan sikap, saat Aram muncul di depanku dengan wajah jengkel.
“Kau sedang memandangi apa, Az?”
“Eh tidak apa-apa,” aku menggelengkan kepala, menghindar dari tatapan Aram dan hendak masuk ke kelas, tapi Aram menahan langkahku.
“Kau camkan baik-baik, Az. Jangan dekati gadis itu, demi kebaikanmu sendiri. Kau tidak akan senang kalau melihat Nadia dan Okta ikut campur dalam urusanmu.”
Aku diam saja dan berkeras masuk ke kelas. Biarlah Aram mau mengoceh seperti apa, anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Namun Aram masih punya segala macam jurus untuk membujukku mengikuti ide nyentriknya dalam memboikot Lokal 5. Saat istirahat pertama, saat aku sudah memutuskan untuk diam saja di dalam lokal, Aram memaksaku pergi ke kantin bersama-sama.
“Ayo Az, kita datangi lagi kedai Paman Pirates.”
Aku langsung menyernit kening. Siapa yang sedang dimaksud Aram? Paman Pirates? Nama macam apa itu. Parahnya kawan, Aram baru saja mengeja namanya dengan Pi-ra-tes, sesuai pengucapan bahasa Indonesia.
“Kedai warung yang kemarin itu lho, Az.”